Penanganan kasus Kekerasan Seksual yang terjadi di Unhas menuai protes keras. Kecaman demi kecaman tak hanya dilontarkan oleh mahasiswa saja, tapi juga oleh masyarakat luas yang menilai terancamnya ruang aman di kampus kenamaan Indonesia Timur ini. Tak hanya itu, berkaca dari rentetan kejadian menyoal cara birokrasi Unhas menanggapi permasalahan-permasalahan kampus, mahasiswa juga menganggap Unhas, di bawah kemudi Jamaluddin Jompa, begitu anti kritik dan tak jarang merepresi mahasiswanya sendiri. Benarkah demikian? Apa saja yang terjadi selama Jamaluddin Jompa menjabat sebagai rektor?
ADA URUSAN APA POLISI KE RUMAH BUNGA DI MALAM HARI?
Klik! Pintu terkunci. Bunga telah mengemasi barang-barang yang ia perlukan untuk dibawa ke rumah aman. Ia merasa dirinya tidak aman. Oleh karena itu, orang-orang terdekatnya menyarankan agar ia pindah dulu. Belum sempat pergi, seorang perempuan lari menghampirinya. “Jangan ko dulu pergi, ada Polsek Tamalanrea mau datang,” Bunga sontak kaget. Ia tak mengerti kenapa kepolisian ingin mengunjunginya di tengah larutnya malam. Ia tak mengerti kenapa perempuan—yang merupakan salah satu dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas—itu menghentikan langkahnya. Apapun jawabannya, ia yakin ada yang tak beres.
OPERASI BENDUNG AIB
Jarum jam menunjukkan pukul 22.30 Wita ketika itu. Si dosen mengatakan polisi yang akan datang hendak masuk dan berbicara di dalam rumah Bunga. Bunga keberatan. Ia tak ingin polisi masuk ke rumahnya. “Nda mau ja juga kalau masuk ki (polisi) di rumahku,” kata Bunga.
Bunga menawarkan pertemuan itu diadakan di rumah si dosen saja. Si dosen sepakat. Sebanyak 7 orang polisi tanpa seragam dan surat tugas pun datang. Pembicaraan mereka akhirnya dimulai.
Suasana tegang. Sebelum bergeser ke rumah aman, ia terpaksa meladeni si dosen dan polisi. Di dalam rumah si dosen juga hadir suaminya. Salah seorang polisi bernama Tri memperkenalkan dirinya. Ia juga menyebut dua nama polisi lain, yakni Iqbal dan Kamal.
Di awal Tri menjelaskan maksud kedatangannya karena mendengar kabar bahwa Bunga tak ingin diganggu dan tak bersedia menerima tamu. Bunga membenarkan hal itu. Ia memang sedang tak ingin ditemui atau dihubungi siapapun, apalagi oleh polisi. Ia ingin menenangkan dirinya.
Berlainan dengan maksud di awal, Tri mendadak mengubah topik pembicaraan dan membahas aksi solidaritas yang menuntut pemecatan Firman Saleh—pelaku KS—dari Unhas. Aksi yang digerakkan oleh para mahasiswa FIB ini sendiri pada saat itu, Rabu, 20 November 2024, telah berlangsung selama dua hari. Ia tiba-tiba menghunjam Bunga dengan berbagai pertanyaan terkait hubungan antara Bunga dan massa aksi.
“Apakah ada tekanan dari pihak lain?”
“Atau ada teman-teman mahasiswa yang bilang, ‘tidak, haruski ribut ini. Haruski begini.’”
“Kalau aksinya teman-teman yang di kampus kita (Bunga) sudah tahu?”
“(Aksi) yang dua hari ini? ada yang konfirmasi ke kita?”
Bunga menjawab tidak tahu. Ia benar-benar tidak tahu. Aksi yang terjadi murni respons mahasiwa FIB atas kebejatan Firman Saleh. Salah satu mahasiswa FIB yang turut serta dalam aksi itu mengatakan, tanpa mengenal Bunga sekalipun, trauma yang Bunga rasakan telah menjalar ke semua mahasiswa yang menyoraki ketidakbecusan Unhas dalam menjamin ruang aman bagi mahasiswanya.
“Sanksi yang diberikan ke Firman menunjukkan ketidakseriusan Unhas dalam menangani kasus KS. Masalahnya bukan cuma kasus Bunga. Lihat mi di (departemen) Sosiologi, pelaku KS masih dibiarkan berkeliaran. Bagaimana dengan para korban yang takut untuk melapor? Putusan Unhas justru meringankan pelaku dan memberatkan korban,” ucap Anggrek, mahasiswa yang enggan disebutkan nama aslinya lantaran tak ingin diidentifikasi kampus. “Masalahnya Unhas sedikit-sedikit DO (drop out) mahasiswanya.”
Tak hanya menanyakan keterlibatan Bunga dalam aksi tersebut, Tri juga sempat membeberkan dugaan kampus mengenai aksi ini kepada Bunga. “Na bilang pihak kampus ini, kan, ada unsur politiknya di sini, apakah untuk jatuhkan satu orang, (atau) suatu instansi. Itu yang kemudian kita tidak mau sama-sama,” Bunga menirukan ucapan Tri. Oleh mahasiswa yang enggan disebutkan namanya tadi, dugaan Unhas adalah bukti lain ketidakseriusannya dalam kasus ini. “Alih-alih fokus ke kasus, mereka malah menyimpulkan hal yang tak berdasar. Kenapa kah ada kampus yang delusional dan suka parno sama mahasiswanya sendiri?” keluh Anggrek ketika diwawancarai pada Sabtu, 14 Desember 2024.
Bukan Tri saja, beberapa menit kemudian Kanitreskrim Polsek Tamalanrea, Muhammad Rijal, menyusul ke rumah si dosen dan ikut melontarkan pertanyaan-pertanyaan bernada sama kepada Bunga. Keberangkatan Bunga pun terhambat lebih lama.
Begitu tiba, ia meminta agar Bunga mau berbicara empat mata dengannya. Bunga berusaha menolak.
“Kalau untuk disuruhka lagi ceritakan…”
“Nda, bukan itu,” Rijal memotong kalimat Bunga. “Kalau kita mau korek ke situ tadi, harus datang dengan polwan, karena harus polwan yang tanya masalah itu.”
“Itupun belum tentu saya mau bilang, Pak, karena sesuatu hal yang akan berusaha saya lupakan,” balas Bunga.
“Makanya yang lain itu mau ditanyakan, toh?” Rijal ngotot ingin berbicara empat mata, sampai pada akhirnya si dosen ditawarkan untuk tetap ikut pembicaraan. Polisi-polisi lain setuju. Mereka sepakat menunggu di luar. Para polisi itu pun berbondong-bondong keluar dari rumah si dosen meninggalkan Rijal, si dosen, dan Bunga. Semua mereka lakukan tanpa memastikan persetujuan Bunga.
Berputar-putar, Bunga terus-terusan ditanyai perihal aksi oleh Muhammad Rijal. Bunga juga berkali-kali disarankan olehnya agar membawa kasusnya ke ranah hukum. “Kan, ini case-nya aib. Belum lagi menyebut viralisasi. Nah, di sana itu nanti saya rasa lebih bagus kalau mau ki pake upaya hukum.”
Kasus ini dianggapnya sebagai aib yang sebisa mungkin tak boleh tersebar. Dengan membawanya ke ranah hukum, laju aksi di FIB yang telah berlangsung selama dua hari pada saat itu ia pikir dapat dihentikan. “Kami hanya saran, toh. Semakin viral nanti, kan, nda bagus,” ucapnya.
Si dosen yang turut serta dalam pembicaraan tersebut ikut membenarkan pernyataan Rijal. Ia juga mengatakan pada kasus Firman Saleh, kampus hanya bisa memberikan sanksi administrasi skorsing sebab statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Pemecatan ASN urusan kementerian katanya. Prosesnya lama katanya. Tuntutan mahasiswa tak dapat diwujudkan kampus kata dosen yang mengaku menjadi bagian dari kelompok kerja (pokja) kemahasiswaan itu. Diketahui, Firman Saleh juga merupakan bagian dari pokja kemahasiswaan.
Selang beberapa hari, setelah beberapa kali aksi, rupanya kampus dapat mengupayakan terwujudnya tuntutan mahasiswa. Lewat konferensi pers yang diadakan di gedung rektorat, Farida Patittingi, ketua Satgas PPKS Unhas, menyampaikan bahwa Unhas telah merekomendasikan pemecatan atau pemberhentian kepada Firman Saleh dari statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Rekomendasi ini, katanya, diajukan ke Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. “Di situ ada 3 jenis sanksi administratif berat. Yang terakhir itu adalah pemberhentian dengan hormat sebagai ASN,” kata Farida (29/11/2024).
“Ternyata bisa ji kampus upayakan itu (pemecatan Firman Saleh sebagai ASN),” ujar Anggrek. “Pertanyaannya kenapa baru sekarang? Kenapa setelahnya pi DO dan bawa paksa mahasiswa sendiri ke kantor polisi baru kampus tempuh (pemecatan Firman Saleh sebagai ASN)?” tanyanya.
Farida, yang juga merupakan Wakil Rektor (WR) III bidang Sumber Daya Manusia, Alumni, dan Sistem Informasi Unhas, pada konferensi pers yang sama, mengaku bahwasanya Satgas PPKS Unhas telah mengadakan evaluasi mendalam dengan melakukan analisis terhadap seluruh proses pembuktian pada kasus ini. Hal ini ia lakukan lantaran respons dari dalam maupun luar kampus. Hasilnya ialah rekomendasi pemecatan atau pemberhentian kepada Firman Saleh dari statusnya sebagai ASN.
Pembicaraan Bunga, Rijal, dan si dosen berlanjut hingga pukul 23.30 Wita. Di penghujung, Rijal kembali menyinggung aksi di FIB dan menanyakan pendapat Bunga andai saja aksi para mahasiswa menyoal ruang aman di Unhas masih berlanjut.
“Kegiatan teman-teman untuk menyuarakan kejadian ini (membuat Unhas) semakin viralki nantinya. Itu yang kita ini (tidak inginkan), bagaimana caranya kita meredam itu (aksi)?” tanyanya kepada Bunga.
Menjawab Rijal, Bunga mengatakan ada tidaknya aksi tak bergantung kepadanya. Melainkan, kepada masing-masing orang yang ikut menyuarakan hal yang sama, tuntutan atas ruang aman. “Mungkin mereka kecewanya karena SK (surat keputusan skorsing Firman Saleh) sudah tersebar dan mereka yang lihat SK itu,” ujar Bunga.
Sebelum beranjak dari rumah dosen sekaligus pembicaraan yang menahan bunga, Rijal sempat mengajak Bunga untuk bertukar nomor telepon.
Bunga menolak.
“Kayaknya untuk sekarang saya nda mau dihubungi sama siapapun.”
Tak ada nomor yang tertukar malam itu.
Saat dikonfirmasi, Abdullah Sanusi selaku Direktur Kemahasiswaan Unhas mengaku sempat mendengar kabar mengenai kedatangan polisi ke rumah Bunga. Akan tetapi, ia mengatakan tidak mengetahui detailnya dengan pasti.
Abdullah Sanusi juga mengatakan Unhas tidak terlibat dalam kedatangan polisi ke rumah korban. “Bukan inisiatif kampus, inisiatif polisi barangkali,” katanya saat diwawancarai pada Selasa, 4 Februari 2025.
Catatan Kaki telah berupaya menghubungi Kapolsek Tamalanrea, Muhammad Yusuf, melalui Whatsapp pada Selasa, 12 Februari 2025. Namun, hingga laporan ini diterbitkan, Catatan Kaki tak kunjung mendapatkan respons.
UNHAS TUTUP TELINGA, POLISI TURUN TANGAN
“Unhas menggunakan instrumennya untuk menakut-nakuti mahasiswa. Abuse of power,” begitulah pendapat Seruni (samaran). Ia merupakan salah satu mahasiswa Unhas yang gandrung menyuarakan keresahannya. Di antara berbagai demonstrasi yang pernah digelar oleh kawan sealmamaternya, aksi protes kenaikan uang kuliah tunggal (ukt) pernah menjadi salah satu tempatnya melebur dalam kerumunan massa yang menembakkan keresahan kepada birokrasi Unhas.

Kala itu, Seruni dan ratusan mahasiswa menuntut agar Jamaluddin Jompa, Rektor Unhas, turun dari gedung rektorat dan secara terbuka berdialog perihal kenaikan ukt dan persoalan-persoalan lain yang terpendam.
Berjam-jam menunggu, Jamaluddin Jompa tak kunjung turun. Para pejabat kampus yang mengaku mewakili rektor menjanjikan terselenggaranya dialog terbuka yang dituntut massa. Namun, setelah negosiasi yang alot, dialog di ruang terbuka yang dinanti massa aksi berganti menjadi dialog di ruang senat di lantai 2 gedung rektorat.
“Sebenarnya tidak cukup representatif ki dengan massa aksi, yang sebenarnya massa aksi membutuhkan dialog terbuka,” ucap Seruni.
Sejumlah mahasiswa yang kecewa memilih untuk membubarkan diri, sementara beberapa yang lain menyepakati ajakan dialog di ruang senat. Mahasiswa yang sepakat berbondong-bondong naik ke lantai 2 gedung rektorat.
Di sana, di depan pintu masuk ruang senat, telah berbaris satpam. Di antara mereka ada yang menggenggam ponsel dengan kamera belakang tersorot ke arah massa aksi yang masuk satu per satu ke dalam ruang senat. Massa aksi juga diharuskan menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) kepada barisan satpam. Catatan Kaki mengamati satpam mendokumentasikan wajah massa aksi. Pendokumentasian ini dengan acak dilakukan oleh para satpam sejak awal aksi dimulai di pelataran rektorat.
Ketika ditanyai perihal tujuan dari pendokumentasian yang dilakukan aparat kampus, Abdullah Sanusi malah balik bertanya, “Kalau mahasiswa merekam boleh, mereka (satpam) merekam nda boleh, itu bagaimana ceritanya?”
Seruni berpendapat, tindakan pendokumentasian ini adalah upaya birokrasi untuk menandai identitas massa aksi. Ia sendiri melihat beberapa perwakilan fakultas yang hadir pada saat itu turut melakukan hal yang sama.
“Hal seperti itu menurutku suatu keganjilan dalam proses dialog yang dia (birokrasi) buat,” ucapnya.
Sebelum melebur bersama ratusan mahasiswa dengan keresahan yang sama, Seruni telah lebih dulu menyuarakan pendapatnya dengan cara yang berbeda.

Ia menceritakan, setelah mendapatkan kabar tentang mahasiswa yang melakukan aksi simbolik lantaran tak mampu membayar UKT di depan pintu 1 seorang diri, ia bersama kawannya melampiaskan keresahannya dengan sederhana, yakni membuat pataka dengan tulisan bernada satir seperti “UKT MAHAL”, “#Unhasforsale”, hingga “#Unhastawwa”.
“Entah itu agitatif atau bagaimana, kalau saya sendiri tidak punya maksud untuk bikin tulisan yang agitatif. Kita cuma mau ji menuliskan apa yang betul-betul dirasakan. Unhas kan selalu punya tagline (seperti) unhas tawwa, jadi itu mi dituliskan. Apalagi kayak ukt mahal, kita juga mau respons itu,” ucap Seruni.
Setelah membuat lima pataka lengkap dengan isian satirnya, Seruni bersama kawannya memasang pataka-pataka tersebut di beberapa titik mengelilingi Unhas. Waktu itu jarum pendek jam hampir menunjuk angka enam. Belum ada aktivitas yang berarti di kawasan Unhas.
Usai memasang pataka terakhir di dekat gedung rektorat, Seruni kembali mengelilingi Unhas guna memeriksa pataka yang telah terpasang. Ia curiga patakanya bakal dicabut.
“Kita memang punya kecurigaan ini (pataka) mungkin tidak bakalan lama (terpasang). Siang mungkin hilang mi. Jadi baru ki pasang pataka terakhir di dekat rektorat, berniat maki untuk keliling,” ucapnya.
Dan benar saja, pataka pertama yang ia pasang tiba-tiba hilang dari tempatnya. Pataka kedua, ketiga, keempat pun sama. Berbeda nasib dengan pataka-pataka organisasi mahasiswa lain yang masih anteng di tempatnya. Ia dan temannya pun menarik kesimpulan bahwasanya mereka telah diikuti sejak awal oleh seseorang. Seruni kemudian berangkat menuju gedung rektorat guna memeriksa pataka terakhir yang ia pasang. Di sana, Seruni melihat satpam tengah berjibaku dengan pataka yang ia buat di pagi buta.
“Itu suatu keganjilan. Kenapa begitu? Itu kan salah satu bentuk ekspresi, toh? (dengan pencabutan pataka) Berusaha membungkam apa yang kita resahkan, apa yang betul-betul kita sadari,” keluh Seruni.
Menurutnya, cara mahasiswa menyuarakan pendapat dengan metode-metode seperti pemasangan pataka, poster, penyebaran pamflet, dan sebagainya, tak lain merupakan akibat dari keengganan birokrasi kampus untuk duduk sama rata dan berdialog dengan mahasiswanya sesama civitas academica.
“Cara seperti itu lahir karena sempitnya ruang dialog untuk bahas permasalahan (dalam kampus),” ucapnya.
Hal ini, menurutnya, tercermin pada sikap Unhas dalam menangani kasus KS dan rentetan demonstrasi yang menyertainya. Seruni mengatakan Unhas cenderung ingin terlihat bersih tanpa noda sedikitpun di hadapan masyarakat.
“Padahal sebenarnya, kan, apa salahnya ketika kita mengakui kalau kampus kita tidak aman, tidak baik-baik saja dalam persoalan kekekerasan seksual,” ucap Seruni.

Ia pun menilai rentetan demonstrasi yang terjadi di FIB dapat menjadi tolok ukur ketika birokrasi tak lagi mendengarkan aspirasi mahasiswa sebagai civitas akademica. Dengan adanya demonstrasi, mahasiswa dapat memberi tekanan kepada birokrasi kampus dengan memperlihatkan ke masyarakat bahwasanya Unhas tidak baik-baik saja.
“No viral no justice,” tegasnya.
Namun, penyampaian keresahan dan aspirasi oleh mahasiswa kerap kali dibalas dengan represif oleh kampus, baik melalui birokrasi secara langsung maupun lewat turun tangannya pihak kepolisian.
Sumber Catatan Kaki mengungkapkan, pasca rentetan demonstrasi di FIB silam, ada upaya pelacakan nomor orang tua mahasiswa yang terlibat aksi oleh Departemen Sastra Indonesia. Upaya ini melibatkan sejumlah dosen di departemen tersebut.
Seruni sebagai salah mahasiswa sastra Indonesia membenarkan hal ini. Ia lebih lanjut mengatakan pelacakan nomor orang tua bukanlah satu-satunya cara birokrasi dalam menebar ketakutan di kalangan mahasiswa. Cara lain, ungkap Seruni, adalah dengan menyebarkan foto-foto mahasiswa yang lantang menyuarakan keresahannya di grup-grup kelas. Dosen tersebut kemudian menanyakan siapa mahasiswa yang ada dalam foto itu.
“Itu bukan dalam motif untuk cari tahu siapa ini orang (mahasiswa di dalam foto). Kita anggapnya itu proses untuk menakuti mahasiswa lain. Dia (birokrasi) mungkin ketakutan kalau mahasiswa-mahasiswa lain terlibat,” katanya.
Mengenai upaya pelacakan nomor orang tua dan penyebaran foto mahasiswa, Munira Hasjim, Ketua Departemen Sastra Indonesia mengaku tak pernah mengupayakan hal tersebut. “Saya tidak tahu itu,” jawabnya ketika dihubungi via Whatsapp pada Rabu, 12 Februari 2025.
Tidak sendiri, Unhas juga melibatkan kepolisian dalam menangani permasalahan yang ada di kampus. Pada 28 November 2024, sebanyak 32 mahasiswa Unhas—termasuk 5 reporter CatatanKaki—ditangkap dan dibawa ke kantor polisi dalam insiden yang melibatkan aksi protes terkait isu kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Penangkapan mahasiswa ini dinilai Seruni sebagai jalan represif yang ditempuh oleh birokrasi Unhas.
“Peristiwa yang sangat parah. Betul-betul menggambarkan unhas tidak bisa mencerminkan (diri) sebagai lembaga pendidik,” ucapnya.
Ia berpendapat pelibatan kepolisian di dalam lingkungan kampus menandakan Unhas lepas tangan dari persoalan yang melibatkan mahasiswanya, yang notabene, bagian integral dari Unhas itu sendiri.
Padahal, menurutnya, jalan utama yang mestinya ditempuh oleh birokrasi ialah membuka ruang dialog yang inklusif untuk seluruh civitas academica kampus untuk bersama-sama memecahkan suatu permasalahan.
“Tapi itu tidak ada. Unhas tutup telinga,” ucap Seruni.
Tindak represifitas yang dilakukan oleh birokrasi Unhas, dengan atau tanpa melibatkan kepolisian, tidak hanya sekali terjadi. Sejak Jamaluddin Jompa dilantik sebagai Rektor Unhas pada 27 April 2022, berdasarkan berbagai sumber, Catatan Kaki merangkum beberapa peristiwa yang membuat Unhas dinilai anti kritik oleh publik.
- 27 April 2022
Jamaluddin Jompa dilantik sebagai Rektor Universitas Hasanuddin.
- 19 Agustus 2022
- 9 Februari 2023
Aksi protes UKT berujung tindak represif oleh aparat Unhas.
- 23 Mei 2023
- 25 Mei 2023
- 26 Mei 2023
- 7 Juli 2023
- 7 Agustus 2023
- 10 Agustus 2023
- 20 Oktober 2023
- 7 Mei 2024
- 18 Mei 2024
- 20 Mei 2024
Panggung bebas ekspresi 10 tahun PTN-BH, berujung diintimidasi lalu dibubarkan oleh satpam Unhas.
- 29 Mei 2024
- 29 Mei – 10 Juni 2024
- 10 Juni 2024
Didatangi Perwakilan Lembaga Mahasiswa, Dekan FEB Unhas, Abdul Rahman Kadir, menolak dialog. Pada kesempatan yang sama, Abdul Rahman Kadir juga mengumpat ke mahasiswa yang bertanya perihal dana kemahasiswaan.
- 11 Juni 2024
- 12 Juni 2024
- 26 September 2024
- 30 September 2024
Lapak baca yang digelar Kosaster FIB-UH dibubarkan secara paksa oleh satpam Unhas.
- 19 November 2024
- 20 November 2024
- 26 November 2024
- 28 November 2024
- 11 Desember 2024
Buntut Protes Kasus Kekerasan Seksual di Kampus, Presiden BEM FKM Dipanggil Komisi Disiplin.
KELINDAN UNHAS DAN KEPOLISIAN DALAM PENERTIBAN
Hubungan Unhas dan kepolisian nampaknya akan semakin erat. Unhas sendiri diwakili langsung oleh Jamaluddin Jompa pernah menerima dana pendidikan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diperuntukkan kepada 80 mahasiswa Universitas Hasanuddin di Ballroom Unhas Hotel and Convention (7/2/2024).
Dari pihak kepolisian penyerahan simbolis beasiswa ini dilakukan oleh Agus Andrianto, mantan Wakil Kepala Kepolisian Negara R.I., yang kini menjabat sebagai Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Indonesia. Pada kesempatan itu, ia menyampaikan pentingnya kolaborasi antara kepolisian dan lembaga pendidikan dalam memajukan pendidikan, penelitian, serta memperkuat kerjasama dalam berbagai aspek.
Belum lama, Unhas juga menerima kunjungan dari Arya Perdana, Kapolrestabes Makassar yang baru di ruang rapat Rektor, Gedung Rektorat Unhas, Selasa (21/1/2024). Pada pertemuan ini, Jamaluddin Jompa menyatakan akan memperkuat kerja sama Unhas dan kepolisian dalam menjaga ketertiban kampus.
“Kami sangat menyambut baik kehadiran Kapolrestabes yang baru, dan berharap kerja sama antara Unhas dan Polrestabes Makassar semakin solid. Keamanan kampus adalah prioritas utama, dan kami yakin dengan adanya sinergi yang baik dengan Polrestabes, berbagai masalah yang mungkin timbul bisa diselesaikan dengan cepat dan efektif,” ujarnya.
Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan oleh Direktur Kemahasiswaan Abdullah Sanusi. Ia menyatakan bahwasanya Unhas tidak memiliki hubungan kerja sama dengan kepolisian. Pada kunjungan Kapolrestabes Makassar yang baru pun ia menyampaikan hal yang sama. “Untuk Kapolrestabes baru datang, tidak ada ji juga dibahas,” katanya.
Menanggapi hubungan kampus dan kepolisian, Bakung (samaran), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, mengatakan keterlibatan kepolisian dalam ranah kampus hanya akan menimbulkan permasalahan baru yang lebih kompleks. Relasi kuasa yang timpang antara mahasiswa dan birokrasi kampus, menurut Bakung, akan semakin buruk dengan masuknya aparatus represif negara ke dalam institusi pendidikan.
“Kampus itu tempatnya bertukar pikiran. Tempatnya orang-orang merdeka baku adu gagasan. Visi tentang bagaimana bentuk suatu kampus yang ideal mestinya digapai bersama-sama melalui konsensus orang banyak. Dalam hal ini, warga kampus itu sendiri. Dan pastinya termasuk ke dalamnya para mahasiswa, dosen-dosen, staf-stafnya, cleaning service, tak lupa pula mace-mace kantin yang ikut menunjang keberlangsungan kampus. Itu kalau benar kampus berakar dari asas demokrasi yang kuat. Sayangnya, nda (ada) itu di unhas. Unhas bukan itu, setidaknya untuk saat ini. kalau sekarang kesannya kampus tutup telinga sendiri dan membungkam mulut mahasiswanya,” Ucap Bakung.
*Atas permintaan Bunga, identitas dosen yang menemani polisi tidak kami sebutkan.
Orchids
No Comment