Unhas Darurat Demokrasi, Aksi Protes Berujung Intimidasi Mahasiswa


Ilustrasi by Rahsala

Catatankaki.org-Fenomena kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi Indonesia akhir-akhir ini begitu marak terjadi. Beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia serentak menaikkan UKT, hal ini jelas menuai kontra dari beberapa pihak seperti mahasiswa. Serentak pula, aksi demonstrasi mahasiswa digencarkan, seperti di Universitas Hasanuddin (Unhas) yang juga mengalami kenaikan dan penambahan golongan UKT sebelumnya, dari tahun 2023.

Munculnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 2 Tahun 2024, yang menjadi akar permasalahan kenaikan UKT di beberapa Universitas. Keberadaan peraturan ini banyak mengatur tentang batas maksimal biaya kuliah di seluruh PTN.

Lain halnya dengan Universitas yang menyandang predikat Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum (PTN-BH), lewat peraturannya mereka dapat mengelola keuangannya secara mandiri dan tidak bertumpu lagi pada UKT mahasiswa. Sama seperti Unhas yang sudah 10 tahun menjadi PTN-BH dan mengelola keuangannya sendiri. Hanya saja, masih terjadi terus kenaikan dan penambahan UKT di Unhas.

Intimidasi Mahasiswa saat Aksi

22 hari berlalu sejak aksi demontrasi mahasiswa Unhas memprotes kenaikan UKT di Rektorat. Para mahasiswa yang datang menyuarakan keresahannya malah diintimidasi dan diancam oleh para pejabat kampus. Salah satunya adalah Arfan yang sempat mendapat tekanan dari Amiruddin selaku Dekannya, dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Arfan adalah salah satu mahasiswa Unhas yang sempat beorasi pada aksi itu. Usai menyuarakan keresahannya lewat pengeras suara, ia kembali bergabung bersama massa yang lain. Tiba-tiba panggilan nomor tidak dikenal muncul pada layar ponselnya. Panggilan tersebut berasal dari dekan fakultasnya.

Amiruddin menyuruh Arfan untuk bertemu dengannya dan saat menoleh ia mendapati dekannya berdiri tepat di belakangnya. Arfan terkejut. Keduanya mulai berbincang dan dekannya menyuruh agar Arfan dan sebagian massa fakultasnya tidak naik untuk berdialog bersama rektor, hanya beberapa saja katanya.

Lanjut dekannya mengatakan sesuatu yang membuat Arfan kebingungan. “Oke kalau mau ke atas (ikut dialog), saya pergi.”

Pikirannya semakin berkecamuk. Padahal ia hanya berorasi menyampaikan keresahannya terhadap kampus, namun yang ia peroleh justru berbagai upaya intimidasi dari dekannya. ‘‘Berorasi ja depan rektorat. Apa salahnya begitu we. Dan saya bawa diri ja (untuk mengutarakan keresahan pribadi).”

Setelah itu, Amiruddin menyuruhnya agar segera pulang seorang diri tanpa dilihat oleh teman-teman fakultasnya. “Pulang mako. Kalo mauko bicara ke ruanganku saja lebih ada isinya, kalo kau bicara di ruanganku.”

Arfan mengaku merasa terintimidasi oleh dekannya hingga ia memilih untuk tidak mengikuti dialog tersebut. Arfan pun secara psikis mengaku tertekan dengan intimidasi dekannya. “Nda berani ka naik (dialog). Kalau ancaman mungkin tidak ada ji, na suruh ja ketemu di ruangnya toh. Tapi, kan, menindaklanjuti secara empiris toh dekan ku bisa menskorsing 9 orang, 13 orang. Apalagi kalau 1 orang ji kaya saya.”

Di sisi yang sama, Bara dari Fakultas Pertanian juga mengalami intimidasi dari birokrasi kampus. Seusai berorasi, tiba-tiba saja ia dihampiri oleh dosen dari fakultasnya bersama dengan seorang pejabat kampus yang tak ia kenali. Dosen tersebut melempar beberapa pertanyaan seperti alasan Bara berorasi dan juga menanyakan berapa jumlah massa dari Fakultas Pertanian. Bara pun menjawab seadanya, lalu segera pergi, namun pejabat kampus yang berada di samping dosen itu langsung berceletuk.

Ko tau ji apa sudah ko kerja itu, siap siap ko saja itu di(lapor ke) komdis (Komisi Disiplin),” ucap Bara menirukan ucapan salah satu pejabat kampus yang mengancamnya.

Setelah menjauh dari kedua orang tersebut, Bara banyak dihubungi oleh teman-teman dari fakultasnya lantaran dirinya sedang dicari oleh pejabat fakultasnya. “Di mana ko dicari ko sama dosen di prodi, dicurigai ko pergi aksi.”

Bara tak sendiri. Dari fakultasnya yang ikut mendapat intimidasi juga ada Kahlil. Laki-laki berperawakan tinggi itu mendapati foto dirinya saat aksi beredar di grup angkatan yang telah diteruskan dari grup dosen di fakultasnya. Banyak teman-teman Kahlil mulai menghubungi dirinya sebab ia sedang dicari oleh pejabat di fakultasnya.

Atas hal yang dialaminya, Kahlil pun bertanya-tanya dengan kebingungan mengapa harus ada fotonya yang beredar saat aksi. “Kenapa ada foto (ku) yang tersebar dan buat apa itu foto?”

Setelah aksi, di keesokan paginya, Kahlil ditelepon oleh dosen pembimbingnya. Keduanya hanya berbincang santai dan dosen pembimbingnya pun mengerti keresahan Khalil sehingga masalah tidak begitu panjang.

Rena (red:samaran) salah satu massa aksi juga mengakui dirinya serta teman-temannya mendapat intimidasi dari fakultasnya. Ancaman tersebut menyasar pada ketua-ketua himpunan serta demisoner ketua Bem fakultasnya. Masing-masing mendapat telepon langsung dari kepala program studinya (Kaprodi). Namun, ketua himpunan Rena tidak mengangkat telepon tersebut hingga yang ia dapati setelahnya adalah chat beruntun dari Kaprodinya.

“Sempat ngechat kayak marah marah dari kaprodi nabilang ‘tolong diangkat, dek‘,” ucapnya.

Tak sampai di situ, saat aksi Rena berdiri di barisan massa paling depan lalu melihat satpam dari fakultasnya datang dan memotret massa aksi. Bukan hanya satpam, tetapi staf dari fakultasnya pun ikut datang setelah itu dan melakukan hal yang sama. Merasa terancam dengan yang dilakukan oleh fakultasnya, Rena dan teman-temannya memilih untuk mundur ke belakang saat aksi.

Beberapa saat kemudian muncul Wakil Dekan (WD) bidang 3 fakultasnya di lokasi aksi. Bertepatan dengan itu, nama Bem fakultasnya disebut untuk maju dan menyampaikan orasi keresahannya. Namun dua kali menggema, tak ada yang maju dari fakultasnya. Tak ada yang berani menampakkan diri karena adanya WD 3 tersebut. Gagal sudah Rena dan yang lain menyampaikan keresahan dari fakultasnya.

Bahkan sebelum dialog terbuka di dalam rektorat, Rena maupun massa fakultasnya tak bisa naik. Lagi-lagi sebab ketakutan akan intimidasi-intimidasi yang didapat sebelumnya.

Selain ketua himpunan Rena yang mendapat telepon dari Kaprodi, ada juga satu ketua himpunan lain dan demisioner ketua Bem fakultasnya. Keduanya berniat menyusul ke lokasi aksi setelah urusan pribadi mereka selesai. Belum sempat mengutarakan pendapat, keduanya sama-sama disuruh untuk ke kantor dan menghadap ke kaprodi masing-masing-masing.

“Dia (ketua himpunan dan demisioner ketua bem) disuruh ki ke kantornya ki (kaprodi), ditahan ki dikantor,” ungkap Rena. Saat menghadap, keduanya mendapat tekanan dengan serentetan pertanyaan.

Tak dipungkiri satpam ataupun pejabat-pejabat kampus banyak mengambil foto massa aksi saat itu. Berdasarkan pengamatan Catatan Kaki, hampir semua pejabat hingga satpam rektorat mengangkat gawainya untuk memotret mahasiswa-mahasiswanya.

Intimidasi Mahasiswa saat Dialog

Aksi yang menuntut diadakannya dialog terbuka bersama rektor ternyata tidak terwujud. Sebelumnya Direktur Kemahasiswaan telah menjanjikan pertemuan antara massa dengan rektor. Cukup lama menunggu, tetapi yang didapati adalah dialog tertutup di dalam rektorat, tepatnya di Ruang Senat Mahasiswa.

Untuk mengikuti dialog tersebut, massa diharuskan membuka masker ataupun penutup wajah dan memperlihatkan kartu tanda mahasiswanya (KTM). Jejeran satpam mengerumuni dan mengadang di pintu masuk rektorat, menahan mahasiswa untuk menunjukkan syarat sebelumnya.

Kahlil adalah salah satu mahasiswa yang tidak dapat ikut berdialog. Ia merasa jengkel karena adanya persyaratan dan sistem pilih-pilih untuk masuk dan mengikuti dialog. Tentunya Kahlil tidak dapat ikut karena KTM-nya sedang ia pakai untuk peminjaman alat penelitian.

Tak hanya Kahlil, Arfan juga bertanya-tanya mengenai persyaratan ketika masuk ke dalam rektorat. “Kenapa masuk di rektorat itu butuh KTM? Di mana landasan hukumnya itu, mahasiswa masuk rektorat butuh KTM?”

Padahal sejumlah massa rata-rata mengunakan atribut almamater sebagai penanda mahasiswa Unhas. “Nda cukup, kah, itu almamater? Nda cukup, kah, itu kita (mahasiswa) di situ?” tandas Arfan.

Lewat pengamatan Catatan Kaki saat di ruangan dialog, beberapa satpam lagi-lagi memotret massa. Tepat di pintu masuk Ruangan Senat Mahasiswa, dengan diam-diam satpam merekam setiap massa yang masuk ke dalam ruangan.

Selain itu, di tengah-tengah dialog berlangsung pun, reporter Catatan Kaki dan Identitas mengalami teguran saat sedang melakukan siaran langsung di Instagram. Keduanya ditegur oleh staf humas rektorat dengan dalih tidak meminta izin. Hingga keduanya memutuskan untuk segera mematikan siaran langsungnya.

Menurut Bara, berjalannya diskusi benar-benar tidak sesuai keinginan massa, bahkan mengecewakan. Pasalnya dialog tidak terjadi dua arah antara mahasiswa dan rektor, melainkan beberapa pertanyaan langsung dilempar kepada para dekan-dekan yang hadir. Sehingga rektor tak lagi menjawab.

Kehadiran para dekan juga dinilai oleh Bara menjadi salah bentuk ancaman ketakutan pada massa aksi. “Saya liat ki juga bagaimana psikologisnya massa aksi ketika dilemparki (pertanyaan-pertanyaan) ke dekan-dekan itu, tekanannya tambah tinggi ki karena semakin dekat dengan kita toh (massa), bisa ki ditendensi lewat jalur akademik (oleh dekan).”

Sejalan dengan itu, Tegar mendapat ancaman pasal Undang-undang oleh Hamzah Halim selaku dekan Fakultas Hukum (FH) dan Abdul Rahman Kadir selaku dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Lantaran saat dialog hampir ditutup ia sempat kembali melontarkan pertanyaan. Tegar menyinggung beberapa permasalahan seperti indikasi Pungutan Liar (Pungli) di beberapa fakultas termasuk di FH dan FEB.

Para dekan fakultas tersebut langsung menanggapi dengan menyebut nama serta fakultas Tegar. Hamzah Halim meminta pada Tegar untuk menyebut nama dosen yang terindikasi pungli. Jikalau ia tidak mampu membuktikan, maka akan dikenakan pasal 311 KUHP tentang fitnah dengan ancaman hukum 4 tahun. Tak sampai di situ, Rahman Kadir pun juga ikut menimpali perkara tersebut.

“Ikut ki (dekan FEB) juga di situ, kalau kau (Tegar) juga nda mampu juga buktikan itu, saya lapor kau juga kau itu,” ujar Tegar menirukan.

Tegar yang mendapat ancaman pasal dari dua fakultas tersebut merasa sedikit khawatir meskipun ada bukti. “Siapa yang tidak was-was tiba-tiba dilempari pasal seperti itu, dan masalahnya dari dekan lagi. Apalagi agak timpang ki relasi kuasanya jadi jelas agak was-was ki orang menyikapi hal tersebut.”

Ketakutan Rektor hingga Masuknya Polisi ke dalam Kampus

Dalam aksi kemarin, ada satu hal lain yang menyita perhatian, yakni sebuah mobil polisi yang terparkir jelas di depan jalan masuk rektorat. Hal itu dibenarkan oleh Tegar. Ia mengungkapkan adanya mobil polisi yang terparkir, bahkan sudah lama terparkir saat masih awal-awal aksi.

“Bahkan masih di awal-awal aksi toh, itu mi yang ada polisi memang na lihat teman-teman (massa) dari arah kanan toh yg samping gedung rektorat,” ujarnya.

Kehadiran polisi bersamaan dengan aksi demonstrasi saat itu menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak massa. Arfan sendiri mempertanyakan urgensitas kehadiran polisi saat aksi, padahal aksi tersebut adalah aksi damai yang menuntut adanya dialog terbuka bersama rektor. “Untuk apa itu (kehadiran) polisi, padahal mahasiswa ji mau ketemu rektornya.“

Padahal menurutnya ada pihak satpam yang seharusnya menjaga untuk menghindari keributan jika rektor ragu terhadap mahasiswa dalam aksi ini. Arfan menegaskan bahwa mahasiswa hanya sebatas menuntut dialog terbuka. Buktinya, mahasiswa telah menyiapkan pengeras suara, mikrofon, atau toa untuk melakukan dialog.

Menimpali hal tersebut, Bara setuju bahwa di kampus ada satpam yang seharusnya difungsikan sebagaimana mestinya. Menurutnya, hadirnya instansi-instansi pemerintahan seperti polisi dalam kampus, sudah menunjukkan kampus yang semakin jauh dari fitrahnya sebagai laboratorium pengetahuan. Datangnya polisi terutama saat aksi meskipun polisi tidak tampak secara langsung dihadapan mahasiswa, namun yang jelas akan menimbulkan kecurigaan, rasa takut serta tekanan psikologi secara tidak sadar pada massa. Adapun hal itu membuktikan ternyata kurangnya kebebasan berpendapat dalam Unhas utamanya saat melakukan aksi demonstrasi.

Pendapat yang sama muncul dari Tegar, ia menyebut dengan mengundang polisi ke dalam kampus, jelas akan mencederai kebebasan berakademik. Bahkan, secara tidak langsung ini menjadi upaya militerisasi dalam kampus.

“Belum pi lagi ini unhas yang beberapa tahun terakhir ini ada beberapa mi mahasiswanya yang na DO (Drop Out) dan na penjarakan toh,” sambung Tegar.

Ia pun mempertanyakan rektor yang takut untuk turun ke pelataran rektorat,  hingga dilakukan dialog tertutup.

‘‘Kenapa rektor takut (untuk turun) artinya dia sendiri tidak percaya dengan hasil didikannya (mahasiswa). Kalau rektor percaya dengan hasil didikannya otomatis berani ki turun. Artinya dia sendiri menyimpulkan ki bahwa ada yang sedang tidak beres dari kebijakan yang dia jalankan sekarang. Makanya dia takut ki ke bawah, takut ki dipukul,” tandasnya.

Selain itu menurut Khalil, hadirnya polisi dalam kampus saat aksi menjadi salah satu bentuk intimidasi terhadap massa aksi. “Hadirkan polisi di saat aksi (mahasiswa) Unhas itu, yah, bentuk intimidasi mi terhadap massa aksi.”

Lanjut, ia pun menyorot rektor yang tidak mau turun menemui massa. Kahlil mempertanyakan pula alasan rektor yang lebih memilih melakukan dialog di dalam ruangan.

‘‘Maksudku, ya, pemimpin ko (rektor). Harus siap turun ke bawah karena bagaimana dia tahu kondisi di akar rumput kalau dia tidak pernah turun ke bawah. Maksudku banyak permasalahan di akar rumput ini dan rektor dan pimpinan pimpinan fakultas maupun pimpinan universitas tidak tau kondisi di akar rumput.“

Dengan banyaknya serangkaian upaya intimidasi mahasiswa saat aksi, menjadi alarm bahaya ruang kebebasan berekspresi di Unhas. Semua massa yang ikut aksi sekadar ingin mengeluarkan keluh kesah, namun yang mereka temukan adalah upaya intimidasi. Apalagi yang telah dialami oleh Bara dan massa aksi lainnya. Rasa takut menjalar dalam diri Bara saat dirinya berorasi, itu semua muncul sebab ia merasa kampus tidak lagi aman untuk sebatas mengeluarkan pendapat.

‘‘Kalau dibilang kampus (Unhas) ki ini darurat demokrasi. Jelas sangat darurat demokrasi. (Kampus) kemudian cenderung mengintimidasi dan menghilangkan keberaniannya mahasiswa untuk berekspresi, berpendapat dengan kondisi saat ini.‘‘ terangnya.


Penulis: Anisa Pakulla’

Previous Berjuang Bersama, Warga Bara-Baraya & Apatis Makassar: Tolak Penggusuran & Biaya Kuliah
Next HGU PTPN XIV Berakhir: Petani Takalar Dorong Pemkab Selesaikan Konflik Agraria

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *