Oleh: D U L

Sebuah Resensi Film Dokumenter L’ Amour et la Revolution (2018)

Yannis Youlantas sang sutradara menggambarkan secara eksplisit perjuangan rakyat dan para imigran melawan pemerintahan fasis Yunani di Exarcheia, salah satu wilayah di ibu kota Yunani, Athena. Film dokumenter yang berjudul “cinta dan revolusi” dalam Bahasa Prancis L’ amour et la revolution berdurasi lebih dari 1 jam menyajikan scene-scene tindakan represif polisi sebagai perangkat negara.

Perlawanan ini dilatarbelakangi krisis ekonomi di Yunani 10 tahun lalu, namun tidak pernah lagi diberitakan oleh media-media massa yang notabene dikuasai oleh pemerintah,  alasannya permasalahan ini dianggap sudah teratasi. Film dokumenter “love and revoulution” menyajikan hal yang bertentangan dengan informasi yang diberitakan media-media mainstream  dan membuka mata dunia bahwa krisis ekonomi pada tahun 2008 lalu tidak pernah usai hingga saat ini.

Alur cerita pada film ini mempertontonkan kita secara riil bagaimana bobroknya ekonomi Yunani. Banyak warga terutama homeless atau tunawisma yang kehilangan pekerjaan dan tak punya tempat tinggal bertahan hidup hanya bergantung pada dapur sosial.

Pada tahun 2012, di Exarcheia, para volunteer menyiapkan makanan hanya untuk 100-150 orang  namun beberapa tahun berikutnya jumlah itu terus meningkat dengan signifikan menjadi 1500-2000 orang.Ini menjelaskan bahwa Yunani dan krisis ekonominya masih menghantui rakyatnya. Jelas, resistence atau perlawanan akan muncul dari rakyat yunani karena tidak tahan lagi melihat kondisi mereka yang semakin hari bertambah buruk.

Rakyat Yunani tidak punya jalan lain selain memberontak menuntut hak-hak mereka yang dirampas oleh negara yang berkolaborasi dengan kaum-kaum kapitalis. Bagaimana tidak, subsidi terus dipangkas oleh negara, begitu juga uang pensiun dan rumah-rumah mereka diambil paksa oleh para bankir. Melihat ini, rakyat Yunani melakukan perlawanan masif terutama di wilayah Exarcheia.

Masyarakat yang tinggal di Exarcheia membentuk solidaritas kokoh sehingga wilayah ini menjadi pusat perlawanan. Negara dan perangkatnya terus melakukan represif di wiliayah ini, mengerahkan personil pengaman negara dengan peralatan lengkap untuk memukul mundur para demonstran di Exarcheia.

Solidaritas yang terbangun sangat kuat di kalangan rakyat membuat para perangkat pengaman negara (polisi) mundur dan menjadi orang paling dibenci di Exarcheia, bahkan banyak selebaran propaganda “lebih baik pengangguran daripada jadi polisi” yang tertempel di ruang publik Exarcheia.

Exarcheia, Simbol Perlawanan

Menjadi pusat perlawanan, Exarcheia memiliki sejarah panjang. 1967, mahasiswa pertama kali melakukan perlawanan, memprotes pemimpin diktator dan berhasil mengokupasi universitas-universita di Exarcheia. Pada tahun 1973 tank dikerahkan untuk mengusir para mahasiswa yang menduduki univeritas, pagar-pagar hancur oleh tank dan tentara mengusir para pelajar dengan kekuatan militer, informasi dari pemerintah mengatakan ada 30 korban dari aksi itu namun desas-desus di kalangan rakyat mengatakan sekitar 200 orang yang menjadi korban pada saat itu.

Setelah pemimpin diktator dilengserkan pada tahun 1974, rezim demokratis merayakan pemilihan umum pertama kali. Di sisi lain pasca rezim diktator digulingkan, Exarcheia berkembang menjadi rumah para gerakan-gerakan kiri, intelektual, dan aktivis. Saat ini, Exarcheia selalu menjadi pionir gerakan-gerakan anti fasis dan kapitalisme di Yunani.

November 1985, sekali lagi Exarcheia berada dalam kondisi huru-hara setelah polisi menembak mati Michalis Kaltezas, seorang anak berumur 15 tahun dalam memperingati gerakan November 1973. Kembali para mahasiswa dan masyarakat menduduki universitas.

Pada tahun 2008, dimana krisis ekonimi Yunani berada puncaknya, Alexandros Grigoropoulus anak berusia 15 tahun kembali ditembak mati di tengah-tengah aksi. Hal itu membuat Exarcheia penuh dengan huru-hara selama berminggu-minggu. Hal itu membuat Exarcheia menjadi pusat wilayah rakyat Yunani melakukan perlawanan terhadap pemerintah otoriter sampai saat ini.


Penulis adalah Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Hasanuddin.

Previous Kekerasan Kampus terhadap Massa Aksi GAWAT ORMAWA: Represi Satpam hingga Intimidasi WR III
Next GARIS TAKDIR DARI KOTA DUNIA DAN KEWAJIBAN UNTUK MEMBANGKANG

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *