Masyarakat di Tengah Pusaran Oligarki


Festival keadilan yang diselenggarakan oleh Social Movement Institute hadir di Makassar pada Rabu (27/03/24). Festival ini berlokasi di Universitas Negeri Makassar (UNM) tepatnya di taman FIS-H UNM, namun hujan mengguyur sehingga diskusi dipindahkan ke aula Gedung BU Ekonomi. Kali ini, festival tersebut mengusung tema diskusi bertajuk “Demokrasi Mundur, Oligarki Maju”. Dengan mengangkat beberapa persoalan di antaranya, reformasi hukum selama rezim Jokowi, anak muda dan gerakan hak asasi manusia, oligarki dalam pusaran kekuasaan, serta sejarah komite politik, visi dan perlunya membangun blok politik. Diskusi sore itu dihadiri oleh beberapa pembicara, yaitu Haris Azhar, Founder Lokataru Fundation; Fatia Maulidiyanti, Koordinator Kontras 2020-2023; Zainal Arifin Mochtar, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada; dan Eko Prasetyo, Founder Social Movement Institute.

Diskusi dibuka Zainal Arifin Mochtar, dengan menjelaskan persoalan yang membuat Indonesia terperosok ke dalam kemerosotan demokrasi seperti sekarang. Ia mengungkapkan bahwa ada persamuhan tiga kepentingan yang menjadikan Indonesia tidak demokratis.

“Yang pertama menurut saya adalah politisi yang pragmatis, yang kedua adalah politik dinasti, kehendak untuk melanggengkan kekuasaan, dan yang ketiga sebenarnya adalah oligarki,” ujar Zainal.

Zainal menerangkan jika politik dinasti semakin menguat dan yang menempati kursi legislatif atau jabatan tertentu dalam pemerintahan adalah orang dari kalangan tertentu saja, maka nyaris tidak ada perubahan yang berarti. Ia juga menilai sikap politik pragmatis partai, tidak akan pernah mengangkat Indonesia menjadi lebih demokratis, dengan mencontohkan kejadian pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2019 kemarin yang di sepakati oleh partai politik.

 “Partai yang sedang heboh bicara demokrasi, sebenarnya pada saat yang sama itu sedang mencoba bermesra-mesraan dengan pemenang pemilu,” ungkapnya.

Zainal juga menyoroti oligarki dalam pusaran kekuasaan khususnya pemilu kemarin. Menurutnya, oligarki nasional maupun lokal hanya mementingkan dirinya. Oligarki hanya peduli bagaimana kekayaannya terakumulasi dan membuat pemenang pemilu mau menghamba untuk kepentingannya mengakumulasi modal. Hal itu dapat dengan mudah merusak hukum dan demokrasi.

Melanjutkan Zainal, Fatia juga turut menyoroti bagaimana rezim hari ini meruntuhkan demokrasi. Ia menerangkan bahwa sistem pemilu yang demokratis justru telah melegitimasi lahirnya otoritarianisme juga menghilangkan kontrol masyarakat. Padahal semestinya peran masyarakat bukan hanya sekadar mencoblos di bilik suara. Seharusnya warga berhak menyuarakan keresahannya dan berhak untuk marah.

Fatia menjelaskan masalah yang dihadapi oleh masyarakat di beberapa tempat sekarang, yaitu proyek pembangunan yang digagas oleh pemerintah lewat Proyek Strategis Nasional (PSN). Ia menilai proyek strategis nasional bukan untuk memakmurkan masyarakat yang tertindas, namun untuk memakmurkan perusahaan para konglomerat. Menurutnya, proyek pembangunan hari ini tidak jauh beda dari proyek pembangunan zaman Orde Baru, menyengsarakan rakyat.

“Contoh kereta cepat Jakarta-Bandung, hutangnya banyak, pajak mau dinaikin sama menteri Luhut Binsar Panjaitan, pajaknya mau dinaikin, seluruh warga Indonesia yang harus menanggung, termasuk orang di papua yang enggak (merasakan) kereta cepat Jakarta-Bandung. Dia yang naik, kenapa kita yang repot. Katanya buat naikin soal kendaraan listrik, pajak kita yang dinaikin, kenapa kita yang repot, kita enggak bisa juga ngerasain,” terang Fatia.

Tidak cukup sampai di situ, Fatia juga membeberkan data mengenai tren pembungkaman di era rezim Jokowi. Setidaknya ada 62% orang Indonesia tidak mau menyuarakan pendapat. Hal ini diakibatkan oleh maraknya kasus-kasus kriminalisasi yang menjerat masyarakat melalui regulasi UU ITE dan KUHP.

“Namanya legalisme otokratik, itu adalah undang undang yang dibuat sebetulnya untuk kriminalisasi atau membatasi kebebasan sipil warga negara,” jelas Fatia.

Ia menilai di tengah ketakutan yang membuat masyarakat melakukan swasensor sendiri, penguasaan konglomerat atas media juga ikut memiskinkan kita akan informasi.

Melanjutkan apa yang disampaikan oleh Zainal Arifin Mochtar soal oligarki. Haris menjelaskan bahwa sebenarnya oligarki telah menguasai kita secara tidak sadar lewat apa yang selama ini masyarakat biasa konsumsi. Produk barang yang dikonsumsi masyarakat sebenarnya adalah hasil dari praktik oligarki.

“Oligarki itu bukan sekedar orang, bukan sekedar kelompok, dia juga menggambarkan praktek situasional. Ada suatu situasi yang terus berjalan, ada yang memiliki informasi, dan menceritakan informasi. Dengan informasi tersebut dia mendorong adanya kebijakan dan regulasi tentang apa yang harus dilakukan dan tidak harus dilakukan, jadi mereka yang menentukan,” jelas Haris.

Haris juga menyebut bahwa masyarakat selama ini hanya menjadi bahan bakar sekaligus sasaran dari praktik oligarki. Menurutnya, masyarakat hanya dijadikan konsumen segala produk yang dihasilkan oleh oligarki. Ia berujar bahwa seharusnya masyarakat harus lebih berani berbicara soal politik dan mampu menentukan permainannya sendiri dengan tidak di dikte oleh oligarki.

Tidak jauh berbeda dengan kondisi kampus, Eko Prasetyo menjelaskan kemelut yang tengah dihadapi kampus sekarang. Ia menyebut kampus hari ini membuat mahasiswi(a) bukan hanya terbebani akan biaya yang mahal, tetapi juga mengalami beban psikologis.

“Tekanan kuliah itu luar biasanya minta ampun. Angka bunuh diri di Indonesia mulai naik, dan itu kebanyakan oleh para mahasiswa, dari 5 angka bunuh diri 4 adalah mahasiswi kebanyakan,” terang Eko.

Eko juga menyoroti situasi kampus yang terang-terangan pro terhadap kekuasaan, pro terhadap modal, dan pro terhadap pasar. Ia menilai praktik di dalam kampus, salah satunya praktek Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang diprogramkan oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim itu seperti Balai Latihan kerja. Kampus hanya ingin menjadi bagian dari industri.

“Kualitas MBKM bukan untuk jadi mahasiswa, tapi jadi pekerja. Mahasiswa memiliki ruang otonomi kebebasan kalau pekerja harus ikut utusan atasan,” jelas Eko.

“Negeri ini sudah terlalu lama kehancurannya kita diamkan. Negeri ini sudah diporak-porandakan oleh oligarki dan pelanggar HAM, kita tidak mungkin berdiam diri. Kekuasaan itu makin otoriter, berarti kekuasaan makin takut terhadap kenyataan, rakyat mustahil akan diam, rakyat dan terutama anak muda tidak mungkin dikekang sedemikian rupa. Mari jadikan kampus sebagai pusat kekuatan oposisi,” tegasnya.


Reporter: Ahmad Adhitya Editor: Anisa Pakulla’

Previous Bob Marley "Redemption Song"
Next Taman yang Sepi dan Puisi-Puisi Lainnya

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *