Hari demi hari, purnama demi purnama, Si Pandir telah menjadi penghuni gunung sudah sejak lama. Banyak yang mengatakan dia ada setelah Adam dan Hawa diterjunbebaskan ke bumi. Si Pandir mungkin saja salah satu anak mereka yang kehadirannya tak dikehendaki, hingga Adam dan Hawa memutuskan untuk membuang Si Pandir jauh sebelum kelopak matanya dapat berkedip sempurna. Tetapi, beberapa orang juga bilang Si Pandir ada di bumi sebelum Adam dan Hawa, bahkan sebelum sejoli itu diciptakan. Ia lebih dulu diciptakan tuhan sebagai penjaga bumi beserta jeroannya.

Namun, segelintir orang menolak kedua kisah sebelumnya. Mereka menganggap kisah itu mengada-ada. Mereka amat percaya bahwa kisah itu dibuat semata-mata untuk merendahkan Si Pandir. Mendapati kedua kisah itu tanpa sengaja menerobos ke telinga mereka saja akan membuat mereka meludah ke langit, dan membiarkan air ludah itu mendarat tepat di jidat mereka. Mereka percaya itulah ganjaran yang pantas mereka dapatkan usai mendengar kisah penuh dusta itu. Segelintir orang ini adalah orang-orang yang beriman kepada Si Pandir. Mereka yakin bahwa Si Pandir tidaklah ada sesudah ataupun sebelum Adam dan Hawa. Si Pandir bukan anak sesiapa dan juga tak beranak apapun. Si Pandir tidak diciptakan oleh Tuhan. Melainkan, ialah Tuhan itu sendiri.

Mahesa tersedak. Kisah yang ia ceritakan pun terhenti. Pisang goreng yang jadi bahan bakar laju dongengannya sepertinya tersangkut pada batang tenggorokannya. Tujuh pasang mata anak-anak yang masing-masing kulitnya layak dikatakan matang sempurna karena matahari kebingungan melihat Mahesa. Mereka belum tahu apa pertolongan pertama untuk orang yang tersedak, sekadar tahu Mahesa tengah tersedak saja belum tentu.

“A … Ai …,” gumam Mahesa dengan susah payah. Selain menyangkutkan diri pada batang tenggorokan Mahesa, rupanya pisang goreng durjana itu juga menahan huruf-huruf yang hendak keluar dari mulutnya. Bocah-bocah itu juga tak kalah susah payahnya menantikan apa yang ingin dikatakan Mahesa. Kebanyakan dari mereka berpikir kalau ini hanya salah satu  gimik yang biasa dimainkan Mahesa Ketika sedang berdongeng. Ternyata Si Pandir betul-betul sebodoh itu, pikir salah seorang dari mereka.

Di tengah pertarungan Mahesa dengan pisang goreng durjana, dan para bocah dengan rasa penasaran yang membuncah, suara ketipak-ketipuk sandal jepit menghampiri dangau tempat dongeng Mahesa mengalir ke telinga para pendengarnya. Chandra dengan tergesa-gesa melepas sendalnya, segera naik ke atas dangau, menerobos barisan enam bocah yang tengah asyik memperhatikan penderitaan Mahesa, lalu berjongkok di samping Mahesa.

“Mahesa, buka mulutmu!” ucap Chandra cemas.

Mahesa tak membutuhkan waktu lama untuk memahami instruksi sederhana yang diberikan Chandra. Ia menelan bulat-bulat instruksi itu dan dengan cepat membuka mulutnya. Tanpa aba-aba, Chandra melayangkan bibir gayung batok kelapa yang dibawanya dari sumur ke bibir Mahesa, lalu memiringkan gayung itu hingga menumpahkan air ke dalam mulut Mahesa. Agaknya cukup sembrono, karena air dari gayung itu tak hanya terjun ke dalam tenggorokan Mahesa, tapi juga bercucuran ke dagu, pipi, serta mengalir ke leher Mahesa. Kerah kemejanya pun basah karenanya.

Mahesa meneguk air yang diberikan Chandra seakan-akan air itu berasal dari mata air keabadian. Setelah memastikan bahwa pisang goreng durjana itu tak lagi tersangkut di tenggorokannya, ia mengatur napas. Menarik paksa udara lewat hidung, dan mengusirnya lewat mulut. Ketenangannya pun berangsur-angsur kembali. Para bocah yang sedari tadi menonton ajal yang membayangi Mahesa belum pulih dari kebingungan mereka. Apakah ini anti-klimaksnya? barangkali itu yang mereka pikirkan, entahlah.

“Sepertinya kisah ‘Si Pandir penghuni gunung’ harus berakhir disini, teman-teman,” ujar Mahesa. Sepertinya di samping membikinkan jalan untuk ajal, pisang goreng durjana itu juga mempercepat waktu, pikirnya. Setelah berhasil lolos dari jeratan pisang goreng durjana, ia sadar akan terpaan cahaya jingga yang menelisik dari balik gunung. Sembari mempersiapkan peralatan berladangnya untuk dibawa pulang, ia menasihati bocah-bocah yang masih dengan rapi bersila di hadapannya, “kalian  lebih baik pulang, hari sudah mulai malam.”

Para bocah itu jelas kecewa, beberapa dari mereka bahkan mendengus. Mereka belum puas dengan kisah yang diceritakan Mahesa. Akan tetapi, dibandingkan dengan kekecewaan dan rasa penasaran yang akan menyelimuti mereka, mereka lebih takut ditelan oleh gelapnya malam, ataupun hantaman ijuk yang bertenagakan kekhawatiran orang tua mereka yang menjelma amarah. Jadi, mereka memutuskan untuk pulang.

“Ingat, di lain waktu, kalau kalian melihat seseorang tersedak,” tutur Mahesa sambil mengangkat jari telunjuk tangan kanannya, “paling tidak berilah air untuk orang itu minum.” Para bocah itu tersenyum lalu mengangguk-anggukkan kepala seakan-akan paham. Padahal yang paham dan akhirnya menangkap kejadian yang terjadi tadi hanya seorang saja. Bocah-bocah itu pun bangkit dari persilaan mereka dan turun dari dangau. Mereka menyempatkan diri untuk saling melemparkan sendal jepit mereka satu sama lain, tawa pun pecah di bawah terpaan kilau jingga kekuningan.

Para bocah itu pulang bergerombol. Mahesa memperhatikan mereka dari jauh sambil memasang sepatu botnya. Dalam hati Mahesa memastikan jumlah mereka. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tu-tunggu, mana satunya? Mahesa cemas. Kemana perginya yang ketujuh? Seingatku ada tujuh bocah yang mendengarkan dongengku tadi, batinnya. Mahesa berdiri, menghitung kembali jumlah gerombolan bocah yang semakin kecil di pandangannya. Tidak salah lagi, salah seorang dari mereka tak ada pada gerombolan itu.

“Jangan khawatir, Mahesa,” sela Chandra. Mahesa menoleh ke belakang dan mendapati Chandra yang tengah berdiri dengan gayung batok kelapa tergenggam ditangan kirinya. Ia melangkahkan kaki ke samping Mahesa. “Aku masih mau mendengarkan ceritamu. Aku tidak mau mati penasaran. Kau kan berhutang nyawa padaku, sebagai gantinya, aku cuma minta kau melanjutkan dongengmu,” kata Chandra. Matanya menunjukkan api penasaran yang minta dipadamkan. Mahesa menghela napas. “Baiklah, karena aku berhutang nyawa padamu, aku lanjutkan ceritaku. Tapi, kau harus mendengarnya sambil berjalan. Aku tak mau didahului gelap malam,” ujar Mahesa dengan kaki kanan sudah menapak tanah.

Si Pandir penghuni gunung ini tetap dijuluki Si Pandir oleh siapapun, bahkan oleh orang-orang yang memujanya. Mereka menjulukinya demikian karena tak ada orang yang dapat memahaminya. Bahasanya belepotan, tak dapat dimengerti siapapun. Ia juga terkenal amat sangat bodoh, beberapa orang mengaku pernah melihatnya memakan tahinya sendiri. Namun orang-orang yang sama juga percaya kalau yang membuatnya dapat bertahan hidup hingga sekarang adalah tahinya itu, lagipula ia telah ada di gunung sejak lama. Mereka menganggap bahwa tahinya itu memiliki daya magis, atau mungkin, memakan tahi adalah kunci menuju keabadian. Orang-orang pernah meniru tingkahnya. Ada yang makan tahinya sendiri, dan ada juga yang menelusuri hutan demi tahi Si Pandir. Keduanya menghasilkan hal yang persis sama. Akan tetapi, bukan keabadian, melainkan sebaliknya.

Sekte penyembah Si Pandir Penghuni Gunung pun mulai muncul. Pendiri sekte ini yakin kalau Si Pandir bukanlah orang sembarangan. Bahkan, ia berpikir Si Pandir sudah pasti bukan orang. Mereka percaya di balik kepolosan Si Pandir, terdapat kesederhanaan yang agung. Mereka yakin bahwa Si Pandir tak lain dan tak bukan adalah jelmaan Tuhan. Tapi bukan hanya perangainya saja yang membuatnya berbeda. Penampilannya yang kasat mata juga. Banyak orang yang mengaku pernah melihatnya menggambarkan Si Pandir sebagai seorang raksasa. Matanya hanya satu, mulutnya membentuk garis tegak lurus hingga nyaris menyentuh mata, lubang hidungnya tetap dua, namun terletak masing-masing di sebelah mulutnya.

“Ia lebih mirip siluman kalau begitu,” Ucap Chandra ngeri. Kengerian Chandra memotong cerita Mahesa. Mahesa menghela napas, lalu melanjutkan ceritanya: “ini belum bagian terburuknya. Selain memiliki wajah yang aneh dan tubuh raksasa yang gempal serta berbau tak sedap. Ia juga memiliki 99 burung yang melingkar di sepanjang pinggangnya!”

“Burung?”

“Iya, burung yang ini,” ujar Mahesa sembari menunjuk selangkangannya sendiri. Kengerian yang tadinya nampak di air muka Chandra sirna, ia berhenti berjalan dan terlihat seperti sedang menahan sesuatu pada wajahnya. Matanya lekat-lekat memandangi mata Mahesa, sedangkan pipi kanan dan pipi kirinya menggelembung. Gelembung pada pipi Chandra pun pecah, menghasilkan suara tawa yang membahana di sekitar ladang. Chandra terpingkal-pingkal. Ia jadi tak memperhatikan sekitarnya hingga tersandung pada batu yang sepertinya ditakdirkan untuk membuatnya terjungkal.

“Saat pertama kali mendengar gambaran bentuk tubuh Si Pandir aku juga tertawa sepertimu,” kata Mahesa. Ia menghampiri tempat Chandra mendarat dan berjongkok di hadapannya. “Tapi percayalah, kau tak akan tertawa ketika melihat Si Pandir dengan kedua bola matamu sendiri. Karena sebelum kau berhasil tertawa, ia akan menelanmu hidup-hidup.” Mahesa mengulurkan tangannya kepada Chandra. Chandra menyambutnya dan seketika terangkat dari tanah. Ia menepuk-nepuk punggung, bokong, serta rambutnya untuk mengusir segala hal yang melengket dari pendaratannya tadi.

“Maksudmu belum pernah ada yang selamat setelah melihat Si Pandir?” tanya Chandra sembari memulai kembali perjalanan pulang.

“Tentu saja ada yang selamat. Merekalah yang menceritakan bagaimana bentuk dan rupa Si Pandir. Merekalah yang membuat Si Pandir di pikiran orang banyak memiliki 99 burung yang melingkar di sepanjang pinggangnya,” jawab Mahesa. Chandra hampir saja tertawa ketika kembali mendengar bagian ‘burung Si Pandir’. Tapi kali ini ia bisa menahan tawanya. “Tapi aku tak percaya dengan apa yang kebanyakan orang percaya. Aku tidak yakin orang yang mengaku selamat dari Si Pandir benar-benar berkata yang sebenarnya. Aku pikir mereka itu pembohong besar. Mereka sebenarnya tak pernah bertemu dengan Si Pandir walau hanya sekali. Mereka mengarang semua kisah itu demi suatu tujuan, yang entah apa, tapi kuyakini jahat.”

Chandra yang sedari tadi memperhatikan perkataan Mahesa menyadari perubahan suasana yang seketika menjadi serius. Ia juga  butuh waktu yang lebih lama untuk mencerna apa yang dikatakan oleh Mahesa.

“Apakah itu berarti Si Pandir tidak benar-benar ada?”

“Pertanyaan yang bagus, Chandra. Sebenarnya aku sendiri mempunyai sedikit keraguan akan keberadaannya, tapi itu wajar. Selama kau memiliki akal sehat, keberadaan Si Pandir di muka bumi ini akan selalu menjadi anomali dan sukar untuk diterima. Walaupun begitu, tidak semua hal dapat kau cerna dengan akal sehat. Contohnya seperti batu yang membuatmu terjatuh tadi. Tanpa akal sehat, batu itu sudah siap sedari tadi untuk menahan tumitmu hingga kau terjungkir ke belakang. Tanpa akal sehat manusia, segala-galanya telah berada di bumi dengan posisi yang semau-maunya mereka. Lantas, kenapa kita harus menepis kemungkinan akan adanya Si Pandir?”

Kali ini Chandra hanya menatap Mahesa kosong. Ia yakin waktu yang dibutuhkan untuk mencerna perkataan Mahesa adalah dua kali umurnya saat ini. Ia merasa seperti tengah mendengar penjelasan tentang sesuatu yang tak ia mengerti, yang disampaikan oleh profesor jenius yang biasa ia lihat di kartun hari minggu pagi. Mahesa bukannya tak sengaja mengatakan semua yang telah ia katakan, ia sengaja, dan bahkan sadar akan itu. Ia yakin Chandra akan memahami apa yang ia katakan, walaupun bukan sekarang saatnya.

“Jadi Si Pandir penghuni gunung itu ada atau tidak, Mahesa?” tanya Chandra sekali lagi seakan-akan penjelasan Mahesa sebelumnya bukan jawaban untuk pertanyaan yang ia berikan. Mahesa tersenyum, lalu menjawab pertanyaan Chandra: “Dia ada, Chandra. Aku yakin. Dan besok aku akan memastikan itu dengan mata kepalaku sendiri. Aku akan ke gunung mencari Si Pandir dan membawa pulang bukti keberadaannya untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa ayahku telah dimakan hidup-hidup olehnya.”

Keesokan harinya Mahesa berangkat ke gunung sendirian untuk menunaikan apa yang telah ia ucapkan. Ia membawa serta dengannya berbagai perlengkapan termasuk sebuah kamera. Chandra tahu bahwa Mahesa telah melihat Si Pandir dan memastikan keberadaannya dengan mata kepalanya sendiri. Chandra juga tahu bahwa Mahesa telah memegang bukti konkrit keberadaan Si Pandir. Tapi yang paling Chandra ketahui adalah ketidakpulangan Mahesa dan kegagalannya untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa ayahnya telah dimangsa hidup-hidup oleh Si Pandir. Malahan, mungkin saja, Mahesa justru ikut dimangsa oleh Si Pandir, hidup-hidup.

Sepuluh tahun telah berlalu semenjak kejadian itu. Dan sejak saat itu pula mimpi buruk membayangi Chandra. Hari demi hari, purnama demi purnama.


Penulis : San-Lee

Previous Merayakan Hari Perempuan Sedunia dengan Variasi Baru
Next Lara Si Dara dan Puisi-Puisi Lainnya

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *