PERINGATAN: Liputan ini mengandung konten eksplisit berupa kekerasan yang berpotensi memberi tekanan emosional dan mental bagi pembaca. Kami juga lebih menyarankan liputan ini dibaca oleh polisi-polisi di Indonesia.
Ketika malam baru sebentar jatuh di kota Makassar, di hari yang sama dalam euforia Hari Buruh Sedunia alias May Day (01/05/2024), tragedi justru terbit dari Universitas Negeri Makassar (UNM). Pihak kepolisian secara brutal masuk ke area Kampus Gunung Sari dan membawa teror pada mahasiswa-mahasiswa yang berada di sana.
Nada (nama samaran) salah satu massa aksi dari UNM menceritakan kronologi penangkapan mahasiswa oleh pihak aparat. Seusai aksi May Day di sekitar Fly Over bersama aliansi Komite Rakyat Berdaulat (KERABAT) berakhir pada pukul 5 sore, massa aksi dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Hukum (BEM FIS-H) UNM pun berbalik pulang. Sebagian besar pulang dengan berjalan kaki, ada pula yang naik kendaraan. Sebagian yang sudah tiba duluan di depan kampus berkumpul dan menunggu massa lain yang belum tiba. Para massa aksi ini berencana masuk ke area kampus berbarengan dan membubarkan diri secara bersamaan.
Setelah semua terkumpul, mereka pun masuk ke area kampus bersama. Di saat yang bersamaan terdapat beberapa orang tidak dikenal sedang melakukan pembakaran ban di Jalan Pendidikan. Tetapi orang-orang tersebut bukanlah bagian dari massa aksi BEM FIS-H UNM sehingga mereka mengacuhkannya. Namun, di tengah kondisi yang terdapat banyak intel saat itu, keberadaan massa BEM FIS-H UNM disinyalir sebagai massa yang sama dengan orang-orang tak dikenal yang sedang beraksi tersebut.
Imbas dari hal itu, berselang beberapa lama, sekitar pukul 18.50 ketika orang-orang sedang beristirahat di dalam sekretariat masing-masing maupun bale-bale, tiba-tiba saja terjadi tembakan gas air mata secara mendadak dari arah luar ke dalam kampus. Sontak, semua mahasiswa terkejut akan hal tersebut. Akibatnya, mereka spontan bersembunyi di dalam sekretariat-sekretariat lembaga mahasiswa sembari mematikan semua pencahayaan di sekitar. Seketika, sunyi dan gelap menyelimuti area ini. Sekitar 5 menit kemudian, polisi menyisir masuk.
Tanpa surat penangkapan maupun motif yang jelas, polisi-polisi ini menendangi pintu-pintu sekretariat dengan membabi buta. Mereka mendobrak masuk pintu-pintu sehingga orang-orang mulai dihantui kepanikan serta ketakutan. Secara serampangan, para mahasiswa laki-laki—yang kebanyakan sedang mengistirahatkan diri sepulang aksi May Day—ditarik paksa dengan cara diteriaki, diseret, dipukul hingga ditendang. Beberapa diantaranya mengalami luka-luka di sekitar kaki dan kepala.



“Tiarap! Tiarap! Buka! Satu! Buka bajumu!” terdengar teriakan kasar aparat kepolisian sembari memboyong paksa keluar beberapa mahasiswa dari persembunyiannya di setiap sekretariat.
Tercatat, sekitar 43 orang ditahan dengan kondisi pakaian yang terlucuti. Selain dari FIS-H, ada juga beberapa mahasiswa yang ditahan berasal dari Fakultas Ekonomi & Bisnis (FEB) UNM. Kemudian, ke-43 wajah orang ini difoto satu per satu sambil dijambak rambutnya. Intimidasi terus berlanjut dalam bentuk interogasi mengenai identitas, nomor gawai, alamat sampai ancaman pelaporan ke pihak universitas. Selain itu pula, ada 3 orang mahasiswa diantaranya yang dites urinnya. Pemberlakuan tes ini hanya berdasar pada asumsi sepihak kepolisian bahwa mereka memiliki ciri fisik pengguna narkotika. Diketahui, ketiga orang ini mendapat hasil negatif (tidak menggunakan narkoba) dalam tes tersebut.
Nada juga mengaku resah dengan ketidakjelasan motif kepolisian memasuki fakultasnya malam itu. Terlebih, setiap oknum polisi yang ditanyai, sering mengeluarkan jawaban yang berbeda.
“Dia bilang bede, kenapa dimasuki, dianggapki massanya UNM itu diselundupi. Karena mereka anggap, yang melakukan kegaduhan di luar kampus, pembakaran ban di Pettarani itu bukan anak UNM. Akhirnya itu yang na cari,” tegas mahasiswa FIS-H tersebut.
Perempuan itu juga membagikan jawaban polisi yang lain seperti penertiban massa karena sudah lewat dari batas waktu aksi. “Na jelas, tidak adami massa,” katanya dengan suara geram.
Salah seorang mahasiswa yang tidak ingin disebutkan namanya, mengaku sempat mengalami penodongan senjata oleh salah satu aparat. Ia mengungkapkan kisah yang traumatik itu berawal ketika semua orang sudah berlindung di setiap sekretariat, dan suara-suara teriakan dan pukulan benda keras terdengar dari ujung bagaikan mimpi buruk.
“Pas mendekat ke sekretku, kan di situ pintu kaca, (jadi) otomatis dia senter ki dari luar dan saya tersenter terus dia (polisi) bilang ‘cewek itu di dalam’,” ujarnya ketika diwawancarai (2/5/2024).
Namun, pintunya tetap didobrak. Ia gemetar, rasa paniknya pun makin berkecamuk. Ia sempat ditodong senjata sebentar karena diduga mengadang polisi. Polisi yang telah masuk kemudian menyalakan lampu dan mengambil paksa tiap laki-laki yang ada di sekretariatnya.
Ia bahkan sempat menegur aparat-aparat tersebut karena tindakan represif serta tindakan tidak manusiawinya itu telah menyalahi aturan maupun prosedur. “Memohon-mohon ka (juga) sama teman-teman yang lain, bilang jangan pake kekerasan karena nda salah apa-apa ji di sini teman-teman. Tapi (polisi) tetap ji na teriaki ki,” sambungnya.
Sumpah serapah banyak terdengar dari mulut para aparat penegak hukum itu. Ia bahkan banyak mendengar bentakan dalam kata ‘sundala’ dan selebihnya teriakan untuk keluar, beserta perintah-perintah yang intimidatif, bercampur jerit panik para mahasiswa, menciptakan horor di fakultasnya malam itu. Tidak hanya dirinya seorang yang kena todong dan sumpah serapah, ada beberapa yang lain ikut terkena nasib serupa karena melindungi teman-temannya dari tangkapan polisi.
Menurutnya, segala bentuk penodongan, penangkapan, pemukulan yang terjadi di malam itu merupakan bentuk pelanggaran kompleks oleh institusi kepolisian dan negara terhadap hak asasi manusia. Ia beranggapan bahwa pelanggaran ini tentu saja tidak bisa ditoleransi, terlebih semua orang saat itu sedang dalam kondisi yang tidak bersalah dan tidak mengetahui apa pun.
“Apalagi tadi menjalankan jaki hak ta untuk menyuarakan aspirasi, tapi malah direnggut ji juga dalam bentuk represif,” imbuhnya.
Reporter: Erick Evangelista & Alicya Qadriyyah Ramadhani Yaras
No Comment