catatankaki.org — Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM KEMA FAPERTA) Universitas Hasanuddin menyelenggarakan diskusi terbuka di pelataran Baruga Andi Pangerang Pettarani. Diskusi ini diikuti kurang lebih empat puluh orang yang dimulai pada pukul 15.30 Wita sampai dengan 17.00 Wita, Kamis (13/09).

Diskusi ini mengangkat tema ‘Darurat Agraria’ yang mengulas kasus perampasan lahan, kekerasan terhadap petani, dan penguasaan ruang hidup yang terjadi di Indonesia. Serta mendiskusikan gagasan alternatif dalam metode perlawanan terhadap konflik agraria di Indonesia secara umum.

Diskusi ini dipandu dua pembicara yaitu Amri Wiper dengan Akmal Ashar. Keduanya memaparkan tentang bagaimana masalah konflik agraria yang terjadi di Indonesia secara umum. Menurut mereka, masalah ini tidak terlepas dari perang kepentingan kapitalisme dan bagaimana peranan negara dalam menstimulus jalannya korporasi dalam menguasai lahan- lahan petani – melalui regulasi dan kekuasaan negara dalam proses pengambilan tanah dan ruang hidup petani, serta menggunakan instrumen negara seperti aparat dan hukum.

Pemateri juga menggambarkan tentang perlawanan-perlawanan petani hari ini yang kerap mengalami kebuntuan dalam agenda perlawanan. Khususnya pengorganisasian dan pengadvokasian petani dalam melawan perampasan tanah oleh korporasi dan negara yang dilakukan oleh ‘hero hero’ (sebutan orang-orang yang tiba-tiba bagai superhero Avengers).

Masalah konflik agraria tidak lepas dari kepentingan ekonomi. Kasus seperti ini selalu ada pada perusahaan perusahaan, entah milik Negara atau swasta, menggunakan perpanjangan tangan makelar atau aparat. Konsekuensinya, perlawanan atas aksi perampasan tanah sering kali berbenturan dengan paradigma kacaunya bukti resmi kepemilikan tanah, data yang berbeda dari lembaga Negara dari berbagai tingkat, serta penipuan oleh makelar dan mafia tanah.

Salah satu bentuk kegagalan negara yang harus di pertanyakan kembali serta regulasi terkait terutama Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960.

Melihat beberapa momen atau kejadian  di Indonesia salah satunya seperti penggusuran yang terjadi di  Kulon Progo baru-baru ini, diskriminasi petani makanya isu agrarian terangkat karena konflik itu jika terjadi satu pertentangan dimana kondisi ideal tidak sesuai realita makanya angkat ki tema itu.

“Sasarannya mau ki kasi sadar ki teman-teman mau ki bentuk keberpihakannya yang dimana keberpihakan terhadap orang orang yang tertindas, harapannya kedepan banyak orang yang lebih sadar, banyak orang orang yang peka dengan apa yang kondisi yang terjadi sekarang , lebih banyak orang lagi yang berpartisipasi untuk memperjuangkan hak hak petani yang lebih dekat dengan kita isunya,” ucap Fadli Anggara selaku kordinator advokasi HIMAHI.

“Diskusi Momentuman tapi kita tidak liat satu momen baru kita bergerak karena ini isu yang dekat dengan keseharian yaitu isu konflik agraria, makanya butuh kita ruang pembasisan, pewacanan supaya orang tau begitu, ruang transformasi itu tidak dibatasi kita bukakan dengan ruang diskusi kayak begitu jhe,” lanjutnya.

Diskusi pun selesai setelah hampir dua jam berlangsung dengan harapan masih ada orang yang membicarakan masalah agraria hari ini, merebut yang telah dicuri, karena tanah adalah  ruang hidup, maka atas dasar itu semua orang harus memiliki ruang hidupnya masing-masing. Mari memulai dari diskusi ini, lalu turun ke jalan dengan semangat bernyawa kebebasan.(Don Fahmi/Manaf)

Previous Konsepsi Agamben terhadap Kedaulatan: NYIA & Warga Tergusur sebagai Homo Sacer
Next Penolakan PR ORMAWA Berlanjut, Mahasiwa Aksi Teatrikal

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *