Oleh: Mustafa Ostafal Taffa
Berbagai jenis insekta telah muncul di kota Makzat. Serangga bertelur dan berbiak di gedung pengadilan. Kelas artropoda yg hidup di darat, berkaki enam, tubuhnya terdiri dari tiga bagian (kepala, toraks, dan perut) tersebut tak banyak menimbulkan gangguan apapun di luar area gedung tersebut. Filum yang mencakup jenis invertebrata yang memiliki badan beruas-ruas itu, semuanya sudah memasuki tahap imago[1].
Dua bulan lalu, di pengadilan tersebut seorang pejabat negara menjadi terdakwa korupsi. Seperti biasa selalu ada pendemo antikorupsi di depan pengadilan. Saya ikut terlibat dalam demonstrasi di pihak antikorupsi. Lebih dari sepuluh meter dari arah kami, ada demonstran lain yang berpakaian seragam ormas pemuda parpol. Sebagian lainnya juga mengenakan kaos berwarna-warni mewakili masing-masing parpol yang mendukung para koruptor. Kami menggelari mereka rentodemo alias berdemo karena berbayar.
“Saya sebaiknya masuk menyaksikan suasana pengadilan!” Itu bukan permintaan dan minta izin pada siapapun, karena menjadi bagian dari protap saat berunjuk rasa di gedung tempat mencari kebenaran terakhir.
“Jangan lupa bawa KTP atau benda apa saja yang memastikan kau itu masih seseorang atau sesuatu! Ada pemeriksaan disana! Aku tak sempat menoleh, sekedar mengetahui siapa yang menyarankan kelaziman itu.”
Di depan pintu masuk sudah tersedia petugas polisi yang bertugas menjaga gedung pengadilan. Mereka juga bertugas melindungi para koruptor yang akan diarak keliling kota, selepas pembacaan vonis bebas. Birokrasi pemeriksaan KTP di pengadilan persis seperti cara pemda melaksanakan operasi yustisi pada kaum miskin kota. Di depan petugas, saya langsung menyodorkan KTP.
“Boleh saya masuk Pak?” Tanyaku. Tak ada jawaban dari mereka, tapi hanya sibuk membolak-balik KTP, tanpa membaca apapun yang tertulis di sana. Tak ada kesan untuk memeriksa, padahal saya memang bukan pemilik KTP tersebut. Mereka saling berbicara dengan bahasa yang tak pernah saya mengerti. Hebat, polisi sudah berhasil menciptakan bahasa sendiri, yang tak bisa kumengerti.
Bahasa mereka lebih rumit dari Esperanto[2], Bushmen[3], Navajo[4], dan Klingon[5]. Sebenarnya, saya tak yakin para polisi bisa secerdas itu dengan membuat bahasa tersendiri. Apalagi cara mereka berbahasa Indonesia yang paling jelas hanyalah melalui perangkat handy talky atau walky talky, berupa Siap Komandan, 86!
Mulut mereka memang terbuka dan seperti sedang bicara satu sama lainnya, tapi suaranya bukan suara manusia. Hanya terbetik seperti bunyi wereng coklat. Aku tak tahu pasti, apakah serangga perusak padi, itu memang berbunyi atau hanya suara kerakusan saja saat membantai tanaman berbulir gabah itu.
Sebagian lainnya tertebar berbicara seperti bahana hama penggerek batang padi yang sedang memotong-motong tangkai bulir buah. Saya tak mengerti, apa yang sedang terjadi. Jangan-jangan saya telah berhalusinasi akibat gejala heatstroke[6] saat demonstrasi tadi, sehingga kesadaranku mulai menapak turun.
Tanpa menunggu jawaban dari polisi yang bersuara bagai sejuta wereng coklat dan hama penggerek batang padi, saya langsung masuk dan berdiri di arah paling depan. Ke batas terdekat di belakang punggung terdakwa. Saat itu hakim ketua bersiap membacakan vonis atau tuntutan penghukuman. Seperti tadi, saya juga mendengar suara-suara aneh di pengeras suara. Suara hakim ketua, mirip derik belalang tua yang sedang makan daun.
“Nampaknya kali ini ada gangguan di peralatan tata suara, ya?” tanyaku hendak memastikan mungkin ada gangguan teknis pada kabel di mikropon, mike, loudspeaker, atau yang lainnya. Orang yang kutanyai juga bertutur tidak dalam bahasa yang lazim kudengar. Saya jadi kalut dan meninggalkan gedung bermeja hijau itu.
Di luar gedung pengadilan tak tampak lagi seorang pun demonstran antikorupsi. Cepat sekali mereka pulang, bukan seperti biasanya. Mereka hanya meninggalkan bentangan spanduk yang dijejer di seberang jalan gedung pengadilan. Kalian semua cuma serangga pemakan daun muda, Kutu busuk menggerogoti uang negara, dan Dasar kecoak dan kepinding[7] laknat para koruptor. Seingatku tadi tak ada kain rentang berbunyi demikian yang kami bawa. Lagi pula saya ikut terlibat langsung dalam pembuatan spanduk tersebut. Tak ada satu pun tulisan yang berkaitan dengan tema insektologi.
Saya memutuskan menemui para demonstran prokoruptor, untuk meminta informasi kemana perginya para demonstran yang berseberangan dengan mereka.
Demonstran yang antikorupsi, pergi kemana semuanya? Tanyaku pada pimpinannya. Ia menjawab atau lebih tepatnya seperti bersungut-sungut padaku. Sebagaimanai yang terjadi di gedung pengadilan, jawaban dan gerutuannya juga tak kumengerti. Ia pun bersuara bukan dalam bahasa mana pun. Orang-orang lainnya juga berbunyi seperti dengungan ribuan kepakan sayap belalang atau tawon. Onomatope atau tiruan bunyi yang nyaris sempurna.
Kini bukan hanya pendengaranku yang mulai aneh, pandanganku juga berubah. Di antara mereka sudah ada yang terlihat bertampang kecoak, kutu rambut, hama wereng, dan sebagainya. Kulitku berdenyut lebih bertenaga dari alur darah di jantung kala melihat semua demonstran rentodemo yang bermetamorfosa menjadi serangga. Mereka sepertinya bersikap ganas dan kanibal, dengan saling memangsa sesamanya. Saya berlari secepat mungkin. Sekitar dua puluh menit mengayun kaki secepatnya, semua rombongan demonstran antikoruptor sudah terlihat tepat di belokan jalan. Syukur, saya sudah melihat spesiesku berupa manusia.
“Kau baik-baik saja?” Seorang dari mereka, terlihat cemas melihatku.
“Entahlah! Penglihatan dan pendengaranku agak terganggu.”
“Kau memang agak pucat. Tolong panggilkan tim medis!” Beberapa orang berbaju putih, cepat mengangkatku ke atas tandu dan diangkut ke mobil ambulans. Setelah itu semuanya serba gelap, dingin dan senyap. Saya tak berada di alam yang kukenali lagi.
“Sudah siuman ya?“ Seorang perempuan berwajah manis, memberiku sapaan ternyaman pada hari entah apa dan waktu antah berantah.
“Apa yang terjadi denganku?” Tanyaku sambil menebak-nebak apakah dia dokter, suster, atau bidadari. Tebakan ini kuperlukan untuk memastikan kembalinya kesadaranku secara normal. Ini juga untuk memastikan siapa tahu saya sudah berada di sorga dan ketemu bidadari. Aku sendiri kurang yakin, apakah berdemonstrasi itu jenis perbuatan baik, yang mendapat pahala dan kalau mati bisa bebas tes ke suralaya. Saya merasa hampir mati di pengadilan. Syukur bila mati, langsung masuk di area seberang kematian dan ketemu bidadari.
“Anda terkena gejala keracunan!” Jawabnya singkat.
Aku tak menghendaki cuma empat kata itu saja, ucapan pertamanya. Aku ingin ia bicara terserah sepanjang satu halaman ensiklopedia, kamus, atau tesaurus. Pertama agar aku yakin, memang sudah berada di wilayah manusia, dan tentu saja, biar lebih lama didekatnya. Kuperhatikan di tanda pengenalnya, ia memang dokter yang berwajah bidadari. Ini berarti kesadaranku sudah mulai pulih.
Ternyata aku belum mati. Indikasi kesadaran yang belum pulih, bila masih susah membedakan mana suster atau dokter, apalagi bila mereka sama-sama ramah dan manis. Setelah menyaksikan dan mendengar suara-suara serangga, kini melihat dokter manis bervokal terindah. Sebuah pengembalian kesadaran yang melebihi kemanjuran semua obat-obatan.
Di ruangan UGD (Unit Gawat Darurat) nampaknya penuh dengan pasien. Ada yang berpakaian pengacara, jaksa, hakim, dan polisi. Ada juga orang yang mengenakan seragam parpol. Wajah, badan, kaki, dan tangan mereka kemerah-merahan dan penuh bentol-bentol. Terdakwa korupsi yang kulihat di dalam gedung pengadilan itu pun bernasib demikian pula. Mereka semua mengeluh dan mengerang, tapi suaranya tak seperti keluar dari rongga leher khalifah di bumi.
“Dok, apa yang terjadi dengan mereka?” Suara mereka terdengar sangat menakutkan.
“Mereka semua terkena serangan serangga di dalam dan di sekitar gedung pengadilan. Kemungkinan efek sengatan telah mempengaruhi pita suara mereka. Ini kasus yang pertama terjadi disini. Anomali yang jarang terjadi. Kemungkinan mirip dengan nasib tragis Namrud[8] yang sebelum mati, ia disiksa lebih dulu dengan adanya nyamuk yang bisa hidup di dalam otaknya!”
“Kalau saya keracunan zat kimia apa?”
“Keracunan insektisida. Tadi kamu menjadi sukarelawan pembasmi serangga, namun prosedur keselamatan dari efek racun serangga agak terabaikan. Efek racun serangga itulah yang mengganggu kesadaranmu, hingga pingsan.”
“Apa ada cara lebih mudah dan ramah lingkungan, selain yang kulakukan?”
”Lebih bagus pelihara kodok, minimal ada serangga yang bisa dijadikannya sarapan sehingga mengurangi populasi makhluk berkaki enam tersebut.”
“Berurusan dengan kodok nampaknya jauh lebih rumit daripada insektisida, Dok!”
“Lho, apa masalahnya?”
Aku alergi dan eneg melihat proses kehidupan makhluk amfibi, kala masih jadi kecebong! Dalam filsafat ilmu pengetahuan, kecebong menjadi lambang dan ikon dari piramida ketololan teratas. Tentu saja itu pemahaman filsafat di luar ranah buku teks.
Kala kusebut tentang berudu itu, ia memperdengarkan suara gurih dari pita suaranya. Ia memperlihatkan barisan giginya karena saat bersamaan, bibirnya terbuka membentuk bulan sabit. Apalagi bila menjadi makhluk dalam tempurung. Sahutku hingga akhirnya ia menyelesaikan rangkaian kerenyahan gelaknya dengan bibir melebar tiga sentimeter ke kiri dan kanan. Aku tak sempat berpikir, apa yang membuat ia tertawa saat kusebut tentang gerundang, sang pelanjut generasi kodok tersebut.
Orang-orang bersuara serangga ternyata kudengar juga di UGD. Kali ini saya pasti tak bermasalah dengan pendengaranku, karena dokter itu juga mengakui adanya orang-orang bersuara aneh seperti dalam film serangga alien antagonis di Starship Troopers dan Man In Black. Bedanya, serangga-serangga disini berada di pihak protagonis versus sindikat antagonis koruptor.
Saya sama sekali tidak ingat tentang keikut-sertaanku dalam tim penyemprot serangga. Seingatku tadi ikut berdemonstrasi dan manyaksikan pengadilan tindak pidana tersebut. Jika memang saya dalam tim itu, pastilah harus kusesali diriku membunuhi serangga.
Makhluk-makhluk hexapoda[9] tersebut telah berhasil melumpuhkan koruptor dan aparat hukum yang membelanya. Saya tak tahu pasti, yang mana mimpi atau kenyataan antara berdemonstrasi maupun menjadi sukarelawan penyemprot serangga? Saya mungkin telah berada di dua realitas pada saat bersamaan, yakni seperti yang kualami dan juga sebagaimana yang disampaikan dokter tersebut. Jangan-jangan aku memang sudah melewati portal dimensi antarwaktu dan ruang biner yang tidak di angka nol dan satu. Mungkinkah saya telah berada di realitas dunia paralel tempat serangga membasmi para koruptor. Realitas dunia paralel ala teori fisikawan dahriah, Stephen Hawking[10] mungkin telah terjadi padaku. Entah melewati lubang cacing atau lubang kelinci ala Alice in Wonderland.
Saya merasa sangat mengantuk dan kupastikan untuk tertidur. Semoga kali ini bermimpi indah untuk bertemu dokter cantik itu, dalam suasana yang tak dijejali para koruptor di setiap bangsal. Di dalam mimpi atau dunia paralel, akan kuajak dokter manis itu untuk bersatu bersama serangga memusnahkan sindikat koruptor. Apalagi yang kini harus dilakukan untuk melawan durjana yang korup, selain cuma dalam realitas suprafiksi kala sudah berninabobo. Hanya dalam area fiksi imajinatif di ruang tidur saja yang bisa membuat para koruptor dapat dibasmi. Itu pun harus butuh bantuan total serangan masif serangga. Itu pun perlu disahihkan dengan humor tentang kecebong di era pra-tempurung, yang membuat aku mendengar tawa tercantik di awal kesadaranku.●
Catatan Kaki :
[1] imago and Ant stadium dewasa sesudah metamorfose serangga (KBBI, 2008)
[2] Bahasa artifisial yang dibuat pada tahun 1887 oleh L.L. Zamenhof, seorang dokter mata dari Polandia, dan dimaksudkan sebagai bahasa internasional kedua. Zamenhof’s Fundamento de Esperanto, diterbitkan pada tahun 1905, yang berisi prinsip-prinsip dasar dari struktur dan formasi bahasa tersebut. (“Polish language.” Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2015.)
[3] San (orang), kelompok etnis yang sebagian besar hidup di Gurun Kalahari di Botswana dan Namibia. Di masa lampuk orang San disebut Bushmen oleh warga kulit putih Afrika Selatan; mereka kini sering disebut sebagai Khoi-San untuk merefleksikan pertalian kebudayaan mereka. Orang San berbicara dalam bahasa-bahasa Khoisan languages yang berciri khas dengan bunyi ceklekan. Kelompok linguistiknya meliputi Auen, Gwi, Heikum, Kung, dan Naron. Microsoft® Encarta® 2009. ©1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.
[4] Bahasa Indian Amerika Utara dari keluarga Athabascan, yang dipergunakan oleh orang Navajo people di Arizona dan New Mexico, yang berkaitan erat dengan suku Apache. Navajo merupakan bahasa bernada, yang maknanya bisa diketahui dari perbedaan titinada. (“Navajo language.” Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2015.)
[5] Bahasa alien di film Star Trek.
[6] Heatstroke, respons terhadap panas ekstrim yang ditandai adanya temperatur tubuh yang tinggi dan gangguan mekanisme berkeringat; biasa disebut sebagai sunstroke jika disebabkan karena lama terpapar sinar matahari. Pada heatstroke, kulit menjadi panas hot, merah, dan kering; denyut nadi menjadi kuat dan cepat; korban kemungkinan kehilangan kesadaran dan temperatur tubuh bisa mencpai 41° C (106° F) atau lebih tinggi. Sebelum kehilangan kesadaran, orang tersebut bisa mengalami kepeningan, pucat, gelenyar, dan kekacauan mental. (“Heartstroke” Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.)
[7] kepinding dan serangga yg baunya busuk, menghisap darah manusia, tempatnya di kursi atau tempat tidur.
[8] Dikenal juga sebagai Nemrod dan Nimrod atau Namrudz bin Kanan bin Kush bin Ham bin Nuh, yang diperkirakan hidup sekitar 2275-1943 SM. Raja Mesotopamia atau Babilonia. Ia sezaman dengan Nabi Ibrahim. Namrud bersama Semiramis, anak dan ibunya, mengalami kegilaan berganda karena sama-sama mengaku Tuhan. Ia bersama pasukannnya diserang oleh nyamuk, yang tak sekedar menyengat dari kulit tapi masuk ke rongga otak melalui lubang hidung.
[9] Penanda serangga diantaranya berkaki enam, selebihnya ada yang berkaki seribu, jika saja setiap kakinya dikonversi dalam hitungan seratusan juga sepuluhan.gan di atas ratusan.
[10] Stephen William Hawking, dia menggelontorkan teori tentang keganjilan ruang dan waktu juga adanya lubang hitam, Bukunya yang terlaris yakni A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes (1988), yang diterjemahkan menjadi “Riwayat Sang Kala: Dari Dentuman Besar”.
Penulis Merupakan Jebolan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Unhas.
No Comment