Oleh: Nan

Dalam beberapa tahun terakhir, para mahasiswa disibukkan dengan permasalahan kampus yang semakin kompleks sejak diterapkannya Undang Undang Perguruan Tinggi (UUPT). Segera setelah beredarnya isu penerapan UUPT ini, sebagian besar mahasiswa langsung memandang UUPT ini sebagai usaha lainnya dari negara dalam melepaskan tanggungjawabnya terhadap pendidikan di Indonesia. Pandangan ini memang wajar mengingat sebelumnya pemerintah juga pernah mengadakan usaha demikian dengan mencoba menerapkan UU BHP di tahun 2008 silam yang mendapatkan reaksi yang keras dari para mahasiswa. Alhasil, UU BHP tersebut dibatalkan. Sebuah kemenangan gemilang dari para mahasiswa di masa tersebut, paling tidak dilihat dari skala pergerakan mahasiswanya yang cukup besar.

Dengan berbekal kemenangan yang lalu itu, kini para mahasiswa mencoba untuk mengulanginya lagi dalam menghadapi UUPT ini. Berbagai usaha perlawanan pun dilancarkan. Teriakan mengutuk UUPT semakin membuat bising rektorat universitas. Konsep pendidikan a la Paulo Freire terus didambakan. Berbagai label diterakan diwajah UUPT ini, mulai dari otonomisasi pendidikan tinggi, liberalisasi, komersialisasi, dan lain sebagainya. Label-label ini kemudian terjalin berkelindan dalam setiap perlawanan mahasiswa sehingga tidak dapat dibedakan lagi yang satu dengan yang lainnya. ‘Otonomi kampus’ kemudian menjadi istilah yang negatif bagi para mahasiswa dan kerap diteriakkan penolakan atasnya. Namun, apakah otonomi kampus betul-betul negatif bagi keberlangsungan pendidikan tinggi ataukah karena para mahasiswa saja yang terlanjur terjebak dalam kesalahan berpikir akibat repetisi jargon-jargon? Tulisan ini ingin memikirkan kembali istilah otonomi kampus itu dan mencoba melihatnya justru sebagai negasi yang akan membawa pendidikan tinggi menuju kehidupan yang lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Penulis akan memulai pembahasan dengan membicarakan penerapan konsep demokrasi dalam sistem negara berikut masalah yang dibawanya, dengan tujuan untuk membantu pembaca dalam memahami logika penulis dalam membahas otonomi kampus setelahnya. Terakhir, penulis ingin menawarkan konsep pendidikan tinggi yang harapannya dapat dipahami dan dijadikan solusi oleh para civitas akademika dalam mengadakan perlawanan atas liberalisasi kampus, mengingat minimnya tawaran solusi yang ada selain dari mereka yang bertendensi status quo.

KAPITALISME DIBALIK DEMOKRASI

Pada umumnya, sistem perekonomian kapitalisme menyusupi sistem suatu negara melalui topeng demokrasi. Seperti yang umum diketahui, konsep negara demokrasi merupakan bentuk sistem kenegaraan yang mengusahakan agar tercipta kebebasan bagi seluruh masyarakat untuk diperlakukan dengan adil. Namun, demokrasi segera menjadi masalah ketika konsep ini dipraktikkan didalam bidang perekonomian dalam bentuk kapitalisme, dimana kesetaraan hak bagi setiap orang untuk bersaing secara ekonomi untuk mencapai kesejahteraan dirinya sendiri adalah capaiannya, alih-alih menciptakan keadilan kemakmuran masyarakat tanpa harus menciptakan persaingan. Alhasil, kapitalisme ini membuat mereka yang lebih dulu mencapai kemakmuran ekonominya membuat batasan bagi orang lain agar tidak dapat menyaingi dirinya, menjaga agar orang yang lain lebih miskin. Sebab hanya orang miskinlah yang dapat dieksploitasi tenaga kerjanya sebagai buruh upahan karena tidak memiliki modal apa-apa untuk menghidupi dirinya. Terlebih, sistem ekonomi kapitalisme ini berlandaskan dari eksploitasi tenaga kerja yang darinya lah nilai lebih menjadi mungkin, sehingga dengan absennya para buruh yang menjual tenaga kerjanya maka sistem kapitalisme ini tidak akan berjalan. Jadi, demokrasi ekonomi ini berdampak pada terciptanya orang-orang miskin yang tidak dapat memperoleh hal-hal yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang beruntung dalam persaingan ekonomi.

Para intelektual yang merasakan kejanggalan ini kemudian mulai mempertanyakan keabsahan konsep negara demokrasi. Berangkat dari pandangan dialektika-historis, masyarakat terus mengalami perubahan setelah menemui titik kontradiksi didalam sistem sosio-ekonominya dan menciptakan sistem sosio-ekonomi yang sama sekali baru yang merupakan hasil sintesis dari sistem-sistem sebelumnya. Mereka mengatakan bahwa perlu diadakan pemisahan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi/ kapitalisme. Salah satu tawaran solusi yang ditawarkan adalah bahwa demokrasi harus diubah sistem perekonomiannya kearah yang lebih sentralistik dengan membiarkan demokrasi politiknya tetap dipertahankan. Perekonomian sentralistik berarti memusatkan aktivitas perekonomian kepada negara, dimana negara yang memegang semua alat produksi dan hasil produksinya dibagi secara merata kepada seluruh masyarakat berdasarkan intensitas tenaga kerja yang dikerahkan. Hanya dengan usaha inilah, menurutnya, demokrasi itu bisa berjalan dengan baik, dimana keadilan didalam masyarakat dapat benar-benar terealisasi.

NEOLIBERALISASI DIBALIK OTONOMI KAMPUS

Kini mari menganalisis permasalahan otonomi kampus sejalan dengan logika dari tulisan diatas. Pendidikan universitas merupakan tempat bagi masyarakat untuk betul-betul dapat meng-explore ilmu pengetahuan sebebas-bebasnya sejauh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah demi memajukan & mencerdaskan kehidupan masyarakat dalam bernegara. Jadi, kekuasaan negara (kepentingan rezim berkuasa) dan kepentingan golongan tertentu (ras, etnis, dan agama) sebisa mungkin dijauhkan dari kehidupan kampus sebab akan mengganggu kebebasan akademik ini. Hal ini berfungsi sejalan dengan prinsip demokrasi yakni agar masyarakat didalam suatu negara dapat menjalani hidup yang sejahtera dan berkeadilan tanpa kekuasaan sewenang-wenang dari mereka yang berkuasa.

Sebelum diserang oleh kebijakan otonomi kampus, kampus di Indonesia merupakan kaki tangan dari negara, dimana setiap rezim yang berkuasa memiliki kontrol penuh atas apa yang dapat diajarkan di kampus. Penataraan P4 adalah salah satu produknya yang muncul di rezim otoriter Soeharto. Kemudian, dengan bergulirnya rezim otoritarian orde baru yang membawa masuk angin liberalisasi, muncullah berbagai kebijakan yang mengusulkan ‘otonomi’ bagi kampus. Otonomi kampus idealnya adalah konsep yang mengusahakan kebebasan bagi kampus untuk menentukan sendiri kehidupannya tanpa ada intervensi dari pihak lain. Jadi tak ada lagi metode satu arah dari pemerintah (rezim berkuasa) seperti sistem yang dulu, kini kebijakan bagi kampus ditentukan oleh masyarakat kampus itu sendiri. Sampai disini, bila dibandingkan dengan sistem kampus sebelum liberalisasi, sistem kampus liberal yang diterapkan melalui UUPT ini lebih menguntungkan sebab tak ada lagi intervensi negara dalam mengatur kehidupan kampus.

Namun dalam praktiknya, otonomi kampus ini ternyata hanyalah topeng bagi liberalisasi sistem pendidikan/kampus. Yang kemudian terjadi adalah negara juga membuat perekonomian kampus menjadi otonom atau dengan kata lain memotong anggaran pembelanjaan negara untuk sistem pendidikan dan membiarkan setiap kampus untuk mencari penghasilannya sendiri. Alhasil para penguasa kampus semena-mena menjual berbagai aset kampus kepada para pengusaha/penanam modal, meningkatkan beban biaya para mahasiswanya, merekrut dosen-dosen berbiaya sewa murah dengan kualitas rendah dengan satu tujuan; mendapatkan pemasukan. Akibatnya, arah kebijakan yang dikeluarkan oleh kampus selalu berpihak kepada kepentingan pemodal, tanpa betul-betul dapat dikuasai untuk kepentingan masyarakat kampus itu sendiri. Yang menjadi kontradiksi utama yang mengemuka dalam kasus ini adalah otonomi kampus yang seharusnya diterapkan demi memberikan ruang lebih demi kebebasan akademis nyatanya justru membuat kehidupan kampus lebih terkekang, contohnya seperti pelarangan diskusi dan pemutaran film, masih kentalnya kepentingan golongan tertentu di setiap ruang intelektual, dosen yang terlalu diktator dan metode mendidiknya persis gaya bank yang dikutuk oleh Paulo Freire, kurikulum ilmu sosial dan Mata kuliah umum yang bertendensi fasis, serta aparatur represif negara yang semakin sering muncul di beberapa sudut kampus. Yang menjadi pihak paling rugi dari penerapan kebijakan otonomi kampus ini adalah para masyarakat kampus itu sendiri, alih-alih memperoleh kekuasaan dan kebebasan intelektualnya didalam kampus. Namun bagaimanapun, dengan masih adanya menteri yang duduk di kursi penentu kebijakan kampus/ MWA, dan DIRJEN DIKTI berisi politisi gendut yang masih berkuasa atas kebijakan kampus, istilah otonomi kampus yang keren ini dapat kita pahami sebagai hanya sekedar topeng liberalisasi kampus. *

Nyatanya terdapat kecenderungan dikalangan para akademisi untuk secara bulat menolak otonomi kampus dan lebih memilih untuk tetap bertahan pada sistem pendidikan yang lama. Padahal pada dasarnya, baik sistem kampus yang lama maupun yang liberal harus sama-sama ditolak dan kita harus mengusahakan terbentuknya sistem kampus yang sama sekali baru. Sebab bila dipilah dengan baik, terdapat perbedaan antara otonomi kampus dan komersialisasi/liberalisasi pendidikan. Oleh karenanya, daripada menolak bulat-bulat otonomi kampus, adalah lebih baik untuk mengubah arahnya dari otonomi yang berorientasi ekonomi-neoliberalisme menuju otonomi yang berorientasi keilmuan-berkeadilan. Jadi yang diharapkan, penolakan terhadap otonomi kampus merupakan penolakan terhadap otonomi keuangannya, namun mempertahankan otonomi keilmuannya. Pemerintah tetap bertanggungjawab terhadap pendanaan kampus, sedangkan para akademisi di kampus memiliki hak yang setara dalam menentukan arah pendidikan.

Segera setelah para akademisi bersepakat untuk menolak komersialiasi kampus dan mengambil alih konsep otonomi kampus, usaha untuk mengadakan perombakan terhadap pola-pola baru hasil dari penerapan otonomi kampus versi pemerintah harus segera dilaksanakan. Para mahasiswa dan para dosen yang sadar harus segera menduduki posisi penentu kebijakan di kampus, mendelegitimasi aktor-aktor yang menjadi kaki tangan pemerintah. Pola baru seperti Majelis Wali Amanat (MWA) yang sebelumnya dikuasai menteri dan para dedengkot-dedengkotnya harus segera dilengeserkan dan diganti oleh dominasi dosen dan mahasiswa. Dosen dan mahasiswa ini merupakan beberapa wakil yang dipilih secara demokratis oleh para akademisi dan bertanggungjawab penuh terhadapnya. Dan juga, mereka dapat kapan saja diturunkan. Arus perekonomian di kampus harus berada dibawah pengawasan MWA dan membuat laporan pertanggungjawabannya secara berkala yang dipublikasikan di ‘website yang memuat data’ yang telah dirancang agar tercapai transparansi dan efisiensi dalam penggunaan aset kampus. Inilah otonomi kampus yang sebenarnya. Kebebasan berkumpul dan perpendapat serta berpekspresi merupakan harga mati yang harus dijaga oleh MWA. Namun bagaimanapun, diperlukan basis sumber daya manusia yang siap untuk menjemput sistem yang baru ini. Diperlukan nalar yang lebih kritis dalam diri para masyarakat kampus agar dapat betul-betul menjalani kampus yang otonom ini tanpa oknum-oknum nakal dari internal kampus itu sendiri.

Kini, tuntutan kita harus dibuat semakin jelas tujuannya. Sebab tak ada lagi alasan untuk tetap bertahan pada status quo, sebab sistem pendidikan sebelum otonomi kampus juga sama menyedihkannya, dimana kampus tidak lebih dari kaki tangan rezim yang berkuasa. Sebaliknya, mari menjemput era baru universitas di Indonesia yang lebih demokratis dan bebas secara akademis namun tetap terjangkau bagi kalangan kelas menengah kebawah! Karena kampus adalah miniatur negara, maka usulan ini adalah mungkin untuk diwujudkan! Hidup otonomi kampus!

*(Maksudku saya cukupmi saja masyarakat umum yang dibodohi sama politisi, tapi kalau masyarakat kampusmi juga mau ko bodoh-bodohi, ta’lewat-lewatmi sekali mi itu, anu! Paling tidak biarkanmi kita di kampus tetap rasional. Nda malu ko itu sama negara lain kenapa na negara ta’ kita serempak ki bodo’nya!!)

Tambahan sedikit:

KENAPA KAMPUS YANG HARUS OTONOM?

Hari ini, Indonesia semakin menunjukkan arahnya menuju negara yang bobrok. Fasis digaungkan, toleransi dibungkam, raja-raja feodal kembali bereinkarnasi dalam diri gubernur, bupati, dan walikota, birokrasi menjadi ladang bisnis para pejabatnya, Badan pengawas keuangan butuh pengawasan, korporasi semakin gemuk dan konsumen semakin dungu dan patuh, proses pembuatan kebijakan lebih lucu dari komedi di TV, TV hanya menyajikan kebodohan dan anjuran untuk patuh, dan ribuan masalah lainnya yang saling salip-menyalip (ala MotoGP) hadir disekeliling kita. Hampir semua institusi dibuat tidak berdaya dengan segala kebobrokan ini. Lantas, institusi manakah yang dapat bertahan dan menjadi lawan yang berat bagi seluruh masalah diatas? Pendidikan tinggi! Tapi pendidikan tinggi juga mulai dirasuki virus-virus yang melemahkan sistem imunnya untuk bertahan dari serangan masalah diatas. Bayangkan bila pendidikan tinggi harus tunduk dibawah pemerintah seperti diatas, maka tak tersisalah harapan yang baik bagi masa depan Indonesia selain menjadi panggung komedi dan kebun binatang para penonton asing. Oleh sebabnya, kampus mau tidak mau harus otonom sampai kondisi negara sudah sembuh (paling tidak sudah cukup rasional mi lah). Tapi kenapa harus kampus yang otonom, bukan institusi yang lain saja? Karena kampus lah lingkungan para intelektual yang bergelut dalam berbagai macam bidang keilmuan dan pemikiran terkumpul sehingga senantiasa terjauh dari gangguan setan-setan kebodohan yang menaungi masyarakat kita, naudzubillahiminasyaitonirradzim.


Previous Tidak Ada Rektor, Rapat Dengar Pendapat Dibatalkan
Next Represi Kampus Dalam Aksi Tolak Komersialisasi Pendidikan

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *