Oleh: Edy Aksang
Kejadian ini terulang lagi. aku datang memegang sebuah buku melintasi sebuah lorong bangunan fakultas sastra. Saat itu terang ketika malam, pengelola bangunan sepertinya belum tega mematikan lampu untuk mengusir para penghuninya. Lorong itu menyisakan kegelapan di ujungnya. Ada sepuluh gedung saling berhadapan, namun masing – masing tertutup. Mungkin para penghuninya telah kabur melepaskan diri dari keterpaksaan menjalankan program kerja.
Langkahku terhenti di sebuah ruangan bercat biru. Agar terlihat sopan , akan ku buka kedua alas kakiku lalu melangkah masuk ke ruangan itu. Ada sekitar empat orang. Memang minat berlembaga sudah sangat menurun beberapa tahun belakangan ini. kudapati kawan – kawan sesama pengurus himpunan ini memegang dan mengelus smartphonenya, layaknya membelai seorang perempuan. Mereka tidak saling sapa, tidak juga saling menatap. Mungkin aku salah, mungkin mereka saling bercanda dan dimediasi oleh smartphonenya masing-masing. Aku tahu apa. Aku sama sekali tidak memiliki hal serupa, itu bukan duniaku.
aku duduk dipojok ruangan dekat papan tulis yang jarang ditulisi, kecuali sedang rapat. Yang lain duduk diposisi yang telah mereka pertimbangkan, yang menurutnya strategis. Dekat dengan terminal listrik. Aku mebelah buku yang kemarin belum selesai kubaca. Aku membaca Baudrillar dengan seksama. Kami terlarut dalam dunia kami masing – masing.
Setelah lelah dalam pembacaan, aku kemudian berpikir dan munculnya beberapa Tanya dalam diri, apa yang kulakukan ini?, apa yang dilakukan orang sekelilingku?. Apa aku datang kesini hanya untuk membaca saja, apa mereka datang untuk bercengkrama dengan hapenya saja?. Kenapa kehidupan menjadi serumit ini?. untuk berbicara saja perlu dimediasi, sungguh gilanya moderenitas ini.
Kuputuskan bertanya pada seseorang dari mereka.
”To’, Apa yang kau lakukan itu?” sambil kututup bukuku dan menjelajahi pemandanganku ke sekeliling ruangan.
Setelah hening beberapa menit, lantas toto menjawab “Anu, ini chat sama gebetan baru, anak fakultas sebelah” dan masih tetap menatap hapenya.
“Yang mana to’?” dengan alis yang mengerut, ku condongkan badan menatap hapenya
“Itu, yang montok dan berbahagia. Pengurus senat Farmasi”. Jawabnya
“Oh, si ninis yang baru saja lepas jilbab itu?” meyakinkan toto bahwa yang kumaksud sama dengan dia maksud.
Ia sisipkan senyum tanpa makna lalu berkata, “Iya, Tambah kelihatan cantik bukan?”. senyumnya makin lebar.
Kamu sudah jalan sama dia to’? Tanya wawan yang sedari tadi mendengar percakapan kami diam – diam.
“Belum sih, malu ah” masih melihat hapenya
“Lantas ngapain kau di handphonemu itu? Apa hanya bertanya sudah makan belum? Atau sudah ngentot belum?” ejekku, Serempak semua orang dalam ruangan itu tertawa. Sudah kubilang bercerita tanpa mengetik lebih seru.
Kau berani di handphone saja to’, seru wawan, yang makin terlibat dalam pembicaraan kami. Ia mulai menutup hapenya juga.
“Saya pikir di masa sekarang, manusia telah senang dengan hanya bercinta dalam sebuah realitas palsu”, tandas Romi sebelum sempat membiarkan Toto bicara. Sekarang semua orang di dalam ruangan itu terlibat dalam pembahasan yang makin serius.
“Itu yang baru kupikirkan Rom, saya muak dengan semua ini. kita selalu merasa senang hanya dengan bayang – bayang”. Ungkapku sedikit kesal
“Apa yang kalian bicarakan?” tandas toto dengan wajah bingung.
“Apa yang kau sebut realitas palsu itu?” Tanya wawan menyusul.
“Dulu, Plato dulu pernah bercerita tentang guanya. Ada seseorang yang berdiri membelakangi mulut gua. Sehingga yang ia lihat hanyalah bayangannya. Itulah yang ku sebut relitas palsu. Tapi sekarang banyak pemikir postmodernisme yang mengadopsi teori itu. Seperti Jean Baudrillar. Jadi kita sekarang berada dalam lautan citra. Contohnya kau to’ yang jatuh cinta pada seseorang di hapemu. Berinteraksi dengannya tapi takut dengan realitas asli, yang kumaksud adalah kau takut bertemu dengan Ninis yang asli. Padahal Ninis yang asli jauh lebih menabjukkan dari Ninis yang di hapemu itu”.
“Iya juga sih, kadang Toto kegirangan ketika melihat foto baru dari Ninis. Apalagi ketika Ninis berpakaian mini. Toto pasti akan berguling – guling”. Ungkap wawan yang sepetinya banyak tahu tentang Toto dan mengerti tentang penjelasan Romi.
“Ah kalian terlalu banyak teori. Saya senang dengan keadaan sekarang. Ninis pun tidak terganggu dengan diriku yang dia kenalnya di chat ini”. Toto mencoba membela diri.
“Mana yang lebih menyenangkan melihat ninis telanjang depanmu ataukah melihatnya telanjang di foto”. Tanyaku
“Gila, jelas yang asli lah”. Jawab Toto sedikit jengkel.
Itukan, untuk apalagi kau beronani dengan hape canggihmu itu. Datang padanya dan ajak dia jalan. lalu kau bandingkan mana yang lebih geregetan? Sambil menutup percakapan malam itu tentang Toto.
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin
No Comment