Perempuan dalam Politik Konsesi Agraria


Sepanjang sejarah peradaban manusia, perempuan selalu menjadi korban ketimpangan kekuasaan atas tanah dan sumber agraria, akibat relasi kuasa yang diciptakan oleh sistem patriarki.

Setahun terakhir Sulawesi Selatan (Sulsel) mengalami ledakan konflik agraria, angkanya tak main-main. Konsersium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel mencatat luasan lahan yang menjadi sengketa mencapai 75.785 hektar pada tahun 2023. Angka ini setara dengan sekitar 106.141 lapangan sepak bola. 

Dalam teori konflik, konflik agraria dapat digolongkan sebagai konflik sumber daya. Konflik sumber daya alam terjadi karena ketidaksetaraan dalam akses, kontrol, dan distribusi sumber daya alam yang terbatas. Teori konflik menyoroti bagaimana kelompok yang berbeda—baik pada tingkat individu, kelompok sosial, dan korporasi—bersaing untuk menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam tersebut demi kepentingan ekonomi dan politik. 

Dalam konteks bernegara, konflik terjadi secara horizontal, meningkatnya konflik agraria dipicu oleh ambisi pemerintah meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ketika industri melakukan ekspansi, perluasan lahan memicu konflik dengan masyarakat yang terlebih dahulu menguasai lahan.

Pemerintah kemudian membuat regulasi untuk menciptakan iklim ramah industri seperti Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, regulasi ini jadi karpet merah bagi korporasi untuk memenangkan konflik agraria. Dalam UU Cipta Kerja melalui Bank Tanah Hak Menguasai Negara (HMN) melegitimasi pemberian hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai kepada individu maupun kelompok. Sementara itu, petani yang sudah puluhan tahun menggarap lahan tersebut, menjadi tak berdaya karena dianggap tidak memiliki legalitas atas tanah yang ia kerjakan.

Cipta Kerja bukan satu-satunya instrumen yang menunjukkan dominasi kekuasaan negara. Sesungguhnya politik konsesi agraria di indonesia telah melalui endapan sejarah yang panjang dan saling terkait di setiap rezim.

Sejak masa kolonial hingga yang terbaru di pemerintahan Joko Widodo, kebijakan agraria di indonesia cenderung memiliki corak yang sama. Mulai dari pengadaan tanah skala besar oleh pemerintah untuk mendukung produksi komoditas skala global melalui pemberian konsesi kepada perusahaan besar. Pemberian konsesi ini terjadi dari berbagai sektor mulai dari perkebunan monokultur, kehutanan, pertanian korporasi, hingga pertambangan. 

Konflik penguasaan lahan pada masa ke masa selalu diwarnai politik gender, ras, dan kelas. Maka penting mendudukkan analisis feminisme pada setiap periode transformasi kebijakan agraria untuk melihat kompleksitas irisan identitas tersebut terhadap penindasan yang dialami oleh perempuan dalam penindasan yang dialami oleh kelompok marjinal selama periode penguasaan lahan. 

Politik Konsesi Agraria lintas Rezim

Pada masa kolonialisme, feodalisme memarjinalkan perempuan dan masyarakat bukan bangsawan.  Mereka kemudian tidak dapat mengakses pendidikan, hal ini memperparah ketertinggalan mereka. Patriarki mengurung perempuan dalam ranah domestik, memaksa mereka menjadi istri dan pengurus rumah. Batasan ini terjadi secara holistik kepada seluruh perempuan, tak peduli latar belakang sosialnya.

Sementara itu, Rimbawan kulit putih yang dikirim langsung dari universitas kehutanan di negara-negara Eropa, mulai melakukan industrialisasi pada kawasan hutan negara. Para rimbawan itu bekerja sama dengan laki-laki kulit putih kelas atas sebagai pihak pemerintah colonial, lalu juga bersama laki-laki pribumi dari golongan bangsawan untuk memperoleh lahan yang lebih luas pada hutan di bawah penguasaan para bangsawan. Hutan hutan ini kemudian diekstrak menjadi perkebunan berskala industri. Laki-laki kulit putih kelas menengah menjadi pengawas di perkebunan industri, sementara laki-laki pribumi yang berasal dari kalangan miskin pedesaan menjadi buruh. 

Para buruh yang telah berkeluarga kemudian turut melibatkan istri dan anak mereka untuk bekerja di Perkebunan. Namun eksistensinya tak terlihat, para istri dan anak tak dilihat sebagai buruh yang diupah, hanya sebagai pembantu bagi suami mereka. 

Setelah revolusi kemerdekaan reforma agraria era orde lama dimulai. Pemerintah Indonesia yang baru merdeka kemudian mempelajari dengan seksama peraturan perundang-undangan agraria lama dan melakukan pembaharuan. Sebab hukum agraria pada zaman kolonial Hindia Belanda sangat eksploitatif, dualistik, dan feodalistik. Adanya asas domein verklaring yang jelas sangat bertentangan dengan kesadaran sosial yang tumbuh di masyarakat pasca perjuangan kemerdekaan.

Di masa ini terdapat dua pemikiran mengenai pengelolaan sumber daya hutan. Pemikiran pertama digagas oleh para rimbawan veteran 45, mereka menekankan pada tujuan pengelolaan hutan diarahkan pada pengelolaan berjangka panjang dengan orientasi ekonomi bagi kepentingan negara. Selanjutnya yang akan digunakan untuk membangun bangsa. Pemikiran ini pada masa itu disebut sebagai konsep “beraliran lama”.

Lalu di sisi lain rimbawan junior mulai menyadari kebutuhan hunian bagi masyarakat. Menurut mereka, perencanaan pengelolaan hutan pada periode pasca kolonial ini seharusnya memperhatikan aspek tersebut. Pemikiran yang bernapaskan semangat kerakyatan ini disebut sebagai konsep “beraliran baru.” 

Perdebatan yang terjadi sangat maskulin. Para tokoh penggagas pemikiran tersebut sepenuhnya diisi oleh laki-laki. Itu disebabkan oleh terbatasnya akses perempuan terhadap sekolah kehutanan, karenanya pertentangan pemikiran di atas tidak melibatkan perempuan dan akhirnya melanggengkan kepemilikan lahan di tangan laki-laki kelompok priyayi. 

Di masa orde lama, perempuan memegang peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan indonesia. Beragam organisasi perempuan terlibat sejarah panjang dalam gerakan nasionalisme.

Pasca kemerdekaan sepanjang 1950-1960an, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) terlibat aktif dalam pengorganisiran perempuan akar rumput dengan melakukan banyak hal. Di antaranya pendidikan kritis, mengajarkan para perempuan membaca dan menulis, membuka pelatihan manajemen dan akuntansi hingga membuka TK dan tempat penitipan anak. Gerwani juga melakukan kampanye hak-hak perempuan pekerja dan hak agraria. Undang-undang pokok agraria disahkan pada 24 september 1960, momentum ini diperingati sebagai hari tani nasional.

Lima tahun berselang, pada tahun 1965 rezim berganti. Soeharto memenangkan pertarungan dramatis ini melalui Supersemar, sentimen terhadap PKI dan Gerwani dibangun melalui propaganda G30S PKI. Orde baru menyalakan sinyal perang kepada seluruh makhluk hidup yang terhubung dengan PKI. Ribuan warga sipil dibantai karena dituduh berafiliasi dengan PKI pengkhianat bangsa. Perempuan, para penggerak Gerwani juga turut menjadi korban. Di kamp konsentrasi, para perempuan tahanan politik mengalami kekerasan spesifik (kekerasan seksual). 

Di masa orde baru inilah penetrasi modal asing mulai dipaksakan. pada 1967 perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat menjadi perusahaan asing pertama yang mengekstraksi sumber daya alam Papua. Tambang emas ini menguasai wilayah seluas 200 ribu hektar mencaplok wilayah adat. Bengisnya, konsesi ini tidak melibatkan komunitas adat dalam pengambilan keputusan.

Yosepha Alomang adalah perempuan adat suku Amungme, ia telah melakukan perjuangan panjang mempertahankan wilayah adat suku Amungme hingga akhir hayatnya. Ia meninggal pada 1977 karena kelaparan dalam persembunyiannya di hutan selama operasi militer yang menyasarnya dan ratusan warga Amungme lain karena melakukan pemotongan pipa tambang PT. Freeport.

Rezim orde baru telah membuka peluang seluas-luasnya bagi perusahaan transnasional yang bekerja untuk akumulasi modal skala dunia. Pendekatan yang diterapkan oleh rezim militer ini adalah penguasaan negara atas tanah dan sumber agrarian. Nantinya hal itu akan dieksploitasi untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya yang dimanifestasikan melalui pertumbuhan ekonomi negara.

Paradigma pembangunan yang dianut oleh rezim ini menempatkan negara sebagai “pengayom rakyat”. Soeharto kemudian menjuluki dirinya sebagai “Bapak Pembangunan” lalu membangun hegemoni inferior bagi perempuan. Menempatkan mereka sebagai ibu dan istri yang setia kepada suami, kontribusi semacam itu dianggap akan memberi kemajuan bagi bangsa. 

Stigma buruk yang dilekatkan orde baru kepada gerakan perlawanan perempuan, secara cepat menghilangkan percakapan politik di antara para perempuan naluri perlawanannya diredam.  Para istri pegawai negeri dan korps militer didorong untuk menjadi anggota Dharma Wanita. Perempuan-perempuan menengah ke bawah di desa dan di kota didorong untuk menjadi anggota organisasi kemasyarakatan yang dikenal sebagai Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Politik gender di masa Soeharto disebut ideologi “ibuisme”.

Ibuisme tidak hanya mengglorifikasi peran ibu dan istri, namun juga menghukum para perempuan yang melakukan tindakan apapun di luar peran itu. Perlahan hegemoni ini menghilangkan kontribusi perempuan dari pengambilan keputusan. Orde Baru telah menjinakkan, mensegregasi dan mendepolitisasi perempuan (Suryakusuma 1996).

Memasuki rezim pasca reformasi, corak perampasan lahan agraria tak berubah. Eskalasi pembukaan lahan pertanian industri semakin meningkat. Dalam UU Cipta Kerja, skema bank tanah menjamin pengadaan lahan bagi kepentingan industri. Para petani yang tak mampu memperlihatkan bukti kepemilikan atas tanah garapannya menjadi tak berdaya di hadapan skema bank tanah ini. 

Di sektor pertambangan sendiri, Cipta Kerja klaster Minerba menjadi alat untuk melegitimasi pembukaan lahan secara ugal ugalan. Negara selalu mendahulukan izin usaha pertambangan kepada korporasi, tidak melibatkan masyarakat terutama perempuan dalam pengambilan keputusan. Mekanisme pembebasan lahan yang di sediakan regulasi ini hanya ganti rugi. Artinya masyarakat tidak bisa melakukan penolakan pembukaan tambang di lahan mereka. Perjuangan mempertahankan ruang hidup bagi korporasi dan negara adalah penghalang bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. 

Kita memasuki tahun ke 64 sejak disahkannya Undang Undang Pokok Agraria. Momentum Hari Tani Nasional masih saja diwarnai dengan aksi demonstrasi menuntut penyelesaian konflik agraria yang menimpa mereka. Setiap tahun kita meneriakkan sumpah serapah yang sama pada Negara. Tak ada perubahan, eskalasi konflik malah meningkat tiap tahun. 

26 tahun pasca reformasi, konflik agraria warisan orde baru bahkan masih dalam tahap perjuangan. Di Takalar, ratusan petani masih terus menuntut pembebasan lahan mereka dari kuasa PTPN XIV. Bahkan setelah HGU berakhir, perusahaan tak kunjung mengembalikan lahan warga. Dampak sosial ekonomi penguasaan lahan di takalar sangat parah, anak-anak para petani terpaksa putus sekolah karena sulitnya memenuhi kebutuhan primer. 

Perempuan masih terus menjadi korban keganasan negara dengan ideologi pembangunan yang ekstraktif. Kehadiran perempuan di tubuh birokrasi tidak menjamin pembebasan perempuan akar rumput dari perampasan lahan garapan mereka oleh negara, maka sektor elektoral tak efektif untuk ditempuh.            

Di Sulawesi Selatan, konflik ruang hidup secara sistematis telah menjerumuskan perempuan dalam kemiskinan. Di Takalar, Bulukumba, Bantaeng, Pinrang, dan Luwu Timur, petani perempuan aktif terlibat dalam perjuangan pembebasan lahan mereka dari jeratan konsesi HGU dan IUP oleh negara. 

Keterlibatan perempuan dalam perjuangan hak atas sumber agraria diharap tak hanya membebaskan lahan mereka dari mesin industri. Tetapi juga membebaskan tanah, air, hutan dan segala sumber daya dari sifat maskulin dan ekstraktif pasar yang dikontrol oleh laki-laki. 

Referensi : 

B Samho, YS Purwadi, 2023 MENELISIK DAMPAK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BAGI HUTAN ADAT, HAK ULAYAT, DAN VISI EKOLOGIS MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KALIMANTAN BARAT, Fakultas Filsafat Universitas KatolikParahyangan 

M Siscawati dan NF Rachman, 2014, Gender dan Politik Konsensi Agraria, Sajogyo Institut

Sutadi, R. D., Luthfi, A. N., & Mujiburrohman, D. A. (2018). Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia (Kajian Komparatif Tiga Periode Pelaksanaan: Orde Lama Orde Baru, dan Orde Reformasi). Tunas Agraria, 1(1)

S Wieringa, 2002,  Penghancuran gerakan perempuan: politik seksual di Indonesia pascakejatuhan PKI, Garba Budaya 

https://doi.org/10.31292/jta.v1i1.11

V Shiva, 2023, TERRA VIVA: Kisah Hidupku Dalam Keanekaragaman Gerakan, Marjin kiri

Artikel online: 

https://sajogyo-institute.org/problem-politik-hukum-agraria-pasca-uu-cipta-kerja/

LBH Makassar_Aliansi Gerak Makassar: Tidak ada tanah, tidak ada reforma agraria, tidak akan ada suara rakyat

https://majalah.tempo.co/read/opini/168064/solusi-menangani-konflik-agraria

bollo.id_data konflik agraria sulsel 2023

Program Transmigrasi Orba: dari Kepentingan Bisnis Berbuah Ketimpangan – Halaman 2 – National Geographic (grid.id)

Sejarah Freeport, dari Gunung Salju Menjadi Gunung Emas (hitekno.com)

Yosepha Alomang – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Penulis: Yinimn

Previous Balada UKT Maba Unhas 2024: Dijerat Harga, Dirundung Ketidaksesuaian
Next Refleksi Hari Tani Nasional 2024: Suara dari Bawah untuk Keadilan Agraria

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *