Rapat, sangat rapat…
Mata ini kupejamkan agar tak melihat
Tetesan air mata mereka,
yang dianggap debu dirumah sendiri
Tapi telingaku masih mendengar isakan-isakan yang sama
disela tawa yang makin membesar dari menara pencakar langit
entah apa maksud tawa itu?
Mungkin karena dia mendapat sebutir liat dan setetes air dari rumah ini
Atau hanya tinggal itu yang tersisa.
Rupanya semua di tukar, tanah, air dan tuannya
Untuk karung bocor, yang tak kunjung penuh
Kini sebutir beras susah, tungku pun enggan menyalah
Kemana lagi perut ini harus ku bawa
Tenggorokan saja sudah karatan
Mengaduh ke menara itu?
Menunggu peri dalam dongeng sebelum tidur
Atau menggali kubur sendiri
Kami lapar, haus, panas, dingin
Tapi siapa yang peduli….
Akankah jadi apa tiap butiran bening yang jatuh ?
Akan jadi apa, nyanyian perut keroncongan ?
Akan jadi apa, teriakan yang mulai parau ?
Akan jadi apa tarikan napas sesak ini ?
lagi, lagi dan lagi
ditukar, demi karung bocor yang tak jua penuh
parasit malas melarat
begitu cacian untukku dirumah sendiri
dengan telunjuk kearahku, dan empat jari lain kearahnya
Dengar!!!
penghuni menara nan malang
tiap tangis, dan tawaku
bukan suka ataupun duka
tapi sedekah untuk karung bocor itu lagi
semoga lekas mendapat donor hati, amien
Arsip Puisi
Terbitan Catatan Kaki Edisi Juli – Juli 2012
http://issuu.com/catatankaki/docs/caka_tabloid_juli-agustus_2012_c1177368499b94
No Comment