Mau kepala babi, kepala tikus, sampai kepala jokodok pun, tak akan mampu membuat gentar dan ciut nyali perlawanan masyarakat sipil. Semua tindakan teror dan intimidasi terhadap aktivis, jurnalis, dan intelektual kritis hanya memperjelas gambaran suram masa depan demokrasi di negeri ini. Praktik-praktik pembungkaman terhadap kritik setelah ini akan menjadi pilihan mudah bagi penguasa untuk memuluskan semua kepentingannya. Rezim menunjukkan sifat otoritariannya, membungkam kritik dan hendak menghapus total oposisi.
Kemerosotan demokrasi sampai ke titik nadir didalangi tak lain oleh mantan letnan jenderal Angkatan Darat yang baru menjabat sebagai kepala pemerintahan selama enam bulan. Prabowo Subianto, telah mencipta rezim militerisme di bawah tangan besinya dengan memperluas peranan militer ke ranah politik, bisnis, hingga kehidupan sipil. Demokrasi menuntut syarat bahwa militer tidak boleh ikut campur dalam pemerintahan sipil. Menempatkan militer pada jabatan-jabatan sipil beresiko besar mengikis prinsip-prinsip demokrasi dan dapat menggerus habis supremasi sipil.
Apa yang terjadi pada kamis lalu adalah sebuah pemufakatan jahat yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI, yang mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia tanpa memedulikan protes penolakan massa masyarakat sipil.
Isi revisi UU TNI dinilai sarat akan kepentingan perluasan penempatan prajurit aktif TNI pada sejumlah jabatan sipil. Hal ini membuka jalan campur tangan TNI yang lebih besar dalam ranah sipil, sehingga memberikan peluang besar pada kembalinya dwifungsi TNI.
Seakan rezim sekarang tidak pernah belajar dari sejarah kelam yang pernah menimpa Indonesia. Selama 32 tahun dipimpin seorang militer bernama Soeharto dengan rezim otoritariannya, menempatkan militer dan menggunakan pola-pola militeristik pada setiap sendi kehidupan masyarakat. Rezim Soeharto membungkam suara, menangkap, menahan, dan membunuh serta menghilangkan paksa setiap orang yang bersuara keras pada penguasa. Tak terkecuali media massa yang mengalami pembredelan dengan dalih “Stabilitas dan Keamanan”.
Rezim Prabowo memang tak pernah belajar hal-hal kelam masa lalu, karena mereka hanya senang belajar dan mengikuti tata cara membungkam kritik, membungkam suara yang memerahkan telinganya, dan membungkam media yang keras terhadap pemerintahannya.
Rezim yang takut dengan kritik adalah rezim yang sedang mengidap xenophobic akut dan paranoid parah. Dan itulah yang sedang menjangkiti rezim Prabowo. Alih-alih mendengar dan menerima kritikan, mereka malah menutup telinga sembari melempar bangkai-bangkai kepala hewan kepada pengkritiknya.
Tempo, media massa yang pernah mengalami pembredelan oleh pemerintah orde baru, sekarang harus mengalami teror dan intimidasi bangkai kepala hewan. Peristiwa kantor Tempo kedatangan paket kepala babi tanpa telinga yang ditujukan kepada Francisca Christy Rosana, jurnalis Tempo dan kiriman kotak berisi bangkai tikus dengan kepala terpenggal di depan kantor redaksi Tempo adalah cara-cara lama yang digunakan oleh penguasa untuk membungkam suara kritis terhadap pemerintah.
Hal serupa pernah terjadi juga di masa orde baru. Saat kebijakan Petrus (Penembakan Misterius) – operasi pemberantasan kejahatan dengan mekanisme di luar hukum – yang masuk 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menyeruak pada tahun 1982-1985. Beberapa media massa pada waktu itu getol memberitakan korban-korban Petrus yang terjadi di sudut-sudut jalanan kota.
Adalah koran Harian Suara Indonesia (SI) yang dipimpin oleh Peter A Rohi sebagai redaktur pelaksana, salah satunya yang dengan masif memberitakan dan memprotes keras operasi Petrus yang terjadi di Kota Malang dan Jawa Timur. Akibat dari sikap kritis SI terhadap kebijakan pemerintah, kantor Redaksi SI mendapat kiriman paket berisi potongan kepala Manusia di depan pintu kantornya.
Peristiwa pengiriman potongan-potongan kepala yang didapati Suara Indonesia maupun Tempo hari ini jelas merupakan tindakan teror dan intimadasi untuk membungkam jurnalis yang kritis dan upaya menciptakan ketakutan di tengah masyarakat.
Pola-pola seperti ini adalah salah satu cara kerja militerisme yaitu dengan menciptakan dan menyebarkan ketakutan. Mekanisme “takut” inheren dalam tubuh militerisme. Karena militerisme hidupnya di zona “perang”, maka prinsipnya ialah menyerang atau disereng, menguasai atau dikuasai. Dengan begitu, sebenarnya militerisme lah yang sedang mengidap “takut” parah.
Setelah revisi UU TNI disahkan, militerisasi ruang sipil kian membayang. Sekarang, caranya hanya satu yaitu kita perlu bersatu dan terus melawan kekuasaan tiran.
Kepalkan tangan lalu hantamkan pada wajah penguasa.
No Comment