Pejabat Seksis dan Kekerasan dalam Kebijakan Publik


Lima maret lalu, seorang pejabat politik melontarkan argumen bernada seksis dalam ruang rapat, Ahmad Dhani yang menjabat sebagai anggota Komisi X DPR RI dari fraksi Partai Gerindra berpendapat naturalisasi pemain sepak bola harus dilakukan kepada pemain berusia di atas 40 tahun dengan cara menjodohkan dengan perempuan Indonesia. Menurutnya, anak hasil pernikahan tersebut nantinya dapat dibina untuk menjadi pemain sepak bola hebat di Indonesia. Naturalisasi diambil sebagai langkah instan untuk meningkatkan kualitas tim. Jika negara siap melakukan persiapan jangka panjang, semestinya negara melatih talenta lokal, jelas kemampuan pemain tidak ditentukan dari genetik, tapi dari proses panjang latihan. Tapi itu perkara lain.

Pernyataan yang keluar dari mulut Dhani tentu timbul dari suburnya ideologi kejantanan yang menjalar di kepalanya. Konstruksi maskulinitas tradisional telah menempatkan perempuan dalam posisi kedua, sebagai objek, sebagai alat reproduksi pemain sepak bola. Saya tidak akan mengutuk sosok Ahmad dhani sebagai individu semata, dia seorang pejabat politik, keputusannya mau tidak mau akan mempengaruhi kita semua. 

Lagi pula vokalis Dewa-19 itu tidak sendirian, polemik ini menambah daftar panjang nama-nama politikus yang melakukan objektifikasi hingga pelecehan verbal dan ragam bentuk seksisme lain terhadap perempuan. Kasus argumen pejabat seksis tidak boleh dilihat sebagai angka saja, kita hidup dalam negara yang menganut demokrasi perwakilan, ketika seseorang yang berwenang memutuskan kebijakan publik tidak memiliki sensitivitas melihat seksisme sebagai kekerasan budaya, yang secara sistemik telah menempatkan perempuan dalam kondisi teropresi selama beribu-ribu tahun, maka kondisi ini hanya akan memperburuk keadaan. Walau sebenarnya politik elektoral memang tidak akan menciptakan perubahan yang radikal dari kondisi saat ini, tapi tetap saja hajat hidup kita bertaruh oleh persepsi hingga pengetahuan orang-orang yang menduduki kursi-kursi rapat mahal itu.

Sejarah Seksime dan Lahirnya Kekuasaan

Seksisme sendiri mengacu pada prasangka hingga tindakan diskriminasi dan kekerasan yang didasarkan pada gender atau seks seseorang. Pernyataan seksis bisa diukur melalui argumentasi yang menyorot, menyerang atau menempatkan seseorang lebih lemah, tidak berdaya, atau memandang seseorang sebagai objek yang tidak memiliki kedudukan moral hingga hak konsensual. Saya memahami seksisme bukan semata ucapan atau tindakan, lebih mendasar, seksisme yang sesungguhnya terjadi di kepala. Ketika alam bawah sadar seseorang telah memposisikan suatu seks atau gender lebih rendah dari yang lain. 

Terminologi “Seksis” pertama kali dikemukakan oleh Pauline M Leet dalam pidatonya yang berjudul “Women and the Undergraduate” di Franklin and Marshall college pada 18 November 1965. Leet menyinggung mengenai terbatasnya publikasi karya puisi yang ditulis oleh perempuan di masa itu. Menurutnya, eksklusi ini disebabkan oleh rasisme dan diskriminasi berbasis gender, dari sana kemudian istilah seksisme digunakan. Istilah ini kian populer setelah Carolina Bird menulis kata ini dalam bukunya yang berjudul “Born female”, terminologi ini kemudian sering digunakan pada era feminisme gelombang kedua untuk menyebut segala tindakan diskriminasi yang mengakibatkan ketimpangan akses, ketertinggalan hingga pembatasan ruang gerak yang didasarkan pada gender. Isu seksisme sendiri tidak lepas dari isu rasial, popularitas analisis interseksionalitas mendorong isu ini berdiri bersama ragam isu diskriminasi berbasis identitas lain. 

Seksisme tidak lahir dari kecacatan moral individu semata. Sejarah peradaban menampilkan bagaimana seksisme terkait erat dengan pembagian kelas dan pendirian kekuasaan. Munculnya kepemilikan pribadi dan kelas sosial adalah sejarah pertama peminggiran perempuan. Ocalan menyebut ini sebagai kemelut perpecahan seksual. Istilah ini mengacu pada era sosial awal kekuatan terorganisir kelompok laki-laki kuat muncul untuk menjebak hewan dan membangun tembok pertahanan menghalau bahaya dari serangan kelompok lain, agenda terorganisir ini kemudian mendorong penghancuran unit klan keluarga yang dibangun oleh perempuan (matriarki). Kejahatan terorganisir ini merampas perempuan, anak-anak, kerabat seluruh akumulasi material, hingga budaya dan moral kelompok matriarki. 

Pasca itu, kekuasaan perlahan dibangun dengan penguasaan sumber agraria dan perbudakan terhadap perempuan. Kecerdasan analitis digunakan secara terorganisir untuk menciptakan hegemoni, corak dogma ini bisa ditemukan dalam narasi-narasi mitologis yang memposisikan laki-laki pada posisi tuhan yang digambarkan sebagai penguasa mutlak langit dan bumi, sementara pengkultusan perempuan yang berkembang di masa sebelumnya dihapuskan. Jaringan mitologis ini kemudian berkembang menjadi agama modern yang kita kenal sekarang. 

Bagaimana kekuasaan hari ini menggunakan seksisme sebagai ide utamanya kemudian menjadi pertanyaan yang penting kita jawab untuk menarik simpul bahwa kekuasaan yang terbangun hari ini tidak akan pernah menghadirkan solusi perubahan. Patriarki membutuhkan perempuan untuk memproduksi anak, merawat dan membesarkan mereka, manusia baru ini akan tumbuh dan dibesarkan menjadi pekerja hingga prajurit untuk mempertahankan wilayah selama masa perang. Bentuk eksploitasi terhadap tubuh perempuan ini masih bisa kita lihat dengan jelas dalam masyarakat industri hingga saat ini.

Eksploitasi tubuh kemudian berkembang menjadi “pengobjektifikasian” setelah perempuan mencapai kesadaran akan otoritas tubuhnya. Perempuan dikonstruksi sebagai “yang lain” (the Other) dalam masyarakat patriarkal. Simone de Beavoir menggunakan pendekatan filsafat eksistensialis dan fenomenologi untuk menjelaskan ketimpangan gender dan bagaimana perempuan tidak hanya ditindas secara biologis, tetapi juga sosial dan budaya. 

Masyarakat di bawah patriarki membentuk kebiasaan, nilai, hingga moral yang menggunakan ide seksisme sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Banyak kasus pelecehan, pemerkosaan, atau kekerasan dalam rumah tangga dianggap wajar atau bahkan disalahkan pada korban karena patriarki memang tidak menempatkan perempuan sebagai subjek yang memiliki hak konsensual, sementara laki-laki memiliki kekuasaan mutlak. 

Seksisme bukan hanya tentang sikap individu yang bias terhadap perempuan, tetapi merupakan alat yang digunakan secara sistematis oleh kekuasaan untuk mempertahankan dominasi patriarki. Melalui kontrol reproduksi, objektifikasi, mitos dan agama, serta legitimasi kekerasan, sistem ini berupaya menekan perempuan tetap dalam posisi subordinat dan tidak memiliki kendali penuh atas kehidupannya sendiri.

Moral Maskulin dalam Kebijakan Publik

Kita penting punya persepsi yang sama melihat ide kejantanan dalam lembaga negara telah melahirkan kekerasan struktural. Dominasi laki-laki dengan perspektif maskulin kolot, lagi-lagi berimbas pada kebijakan publik yang tidak menempatkan perempuan sebagai subjek. 

Seksisme pejabat publik adalah sebuah masalah struktural, kedudukan para pejabat ini membuat mereka memegang kendali terhadap kebijakan yang akan memengaruhi kehidupan kita. Dominasi pejabat seksis dalam parlemen sesungguhnya tercermin melalui produk kebijakan publik yang mereka hasilkan. 

Kebijakan publik adalah segala keputusan yang dihasilkan oleh lembaga negara yang berimplikasi pada kehidupan setiap warga negara, tak melulu undang-undang, surat edaran sederhana yang mengatur libur lebaran pun dikategorikan kebijakan publik.

Ketika hukum dan kebijakan tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi perempuan, mereka secara tidak langsung mendukung kekerasan yang terus berulang. Kita penting kritis, mengingat hukum adalah pisau bermata dua, kehadirannya kerap menjadi alat kekerasan. 

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya mengatur larangan aborsi, walau sebenarnya pasal ini tidak berlaku untuk korban kekerasan seksual dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), namun tetap saja, bagaimana bisa negara dengan gamblang menggunakan hukum untuk mengambil alih kontrol terhadap tubuh perempuan. Tak hanya itu, banyak regulasi dan aturan daerah yang berupaya mengontrol cara berpakaian pelajar dan pegawai perempuan. 

Hukum semacam ini hadir selain karena moral patriarki, juga karena pejabat negara gagal mengkategorisasi wilayah privat yang harus mereka kontrol. Kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi di ruang privat, dalam femisida misal, kasus pembunuhan oleh pasangan adalah yang paling banyak terjadi. Hukum seharusnya menyelesaikan masalah privat semacam ini, bukan malah mengambil alih otoritas tubuh.

Saya tidak akan mengapresiasi langkah hukum regresif yang tersedia. Hadirnya TPKS, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), hingga Perlindungan Anak adalah produk hukum yang harus kita kawal pelaksanaannya.

Maksudnya, masalahnya tidak akan selesai ketika ada tumpukan dokumen baru berisi aturan tentang perlindungan, penyelesaian hingga penghukuman atas kekerasan terhadap perempuan. Tumpukan dokumen ini bisa saja berdebu, tidak terpakai ketika orang-orang yang bertanggung jawab melaksanakannya tidak memiliki persepsi yang sama soal melihat kekerasan terhadap perempuan sebagai produk sistem. 

Keterlibatan perempuan dalam ruang-ruang ini diperlukan, setidak-tidaknya untuk meminimalisir dampak buruk dari kebijakan yang tidak mempertimbangkan perbedaan pengalaman ketubuhan antar gender. Lagi-lagi perubahannya tidak akan mendasar, tapi untuk setidak-tidaknya menekan dominasi maskulin yang mengisi ruang pengambilan kebijakan sejauh ini. Tapi masalah lagi ketika keterlibatan perempuan hanya diukur dari kuota 30% anggota DPR. Diperlukan keterlibatan aktif dan bermakna, menekan dominasi maskulin dalam ruang rapat sungguh perlu rahang tajam untuk berdebat dengan moral maskulin tradisional yang kolot. 

Reformasi struktural tak bisa menjamin penghapusan kekerasan struktural terhadap gender, jika dilihat secara interseksional opresi terhadap perempuan bisa diidentifikasi berdasarkan lapisan identitasnya, tapi setidaknya langkah ini bisa kita gunakan meminimalisir salah satu sumber kekerasan yang dihasilkan dari kebijakan publik. 

Referensi: 

Revolusi Perempuan: Kehidupan Membebaskan (2022) A. Öcalan

The second sex (1949) S de Beauvoir 

Filsafat Berperspektif Feminisme (2018) G. Arivia

Akhir penjantanan dunia (2022) E. Lianawati

Artikel online:

https://www.indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/article/download/167/169

https://stories.workingclasshistory.com/article/9040/%22sexism%22-probably-coined

https://m.tribunnews.com/seleb/2025/03/12/abaikan-kritik-komnas-perempuan-ahmad-dhani-mereka-lebih-baik-belajar-dulu-apa-itu-rasisme

https://www.suara.com/video/2025/03/12/070000/kontroversi-usulan-ahmad-dhani-soal-pemain-naturalisasi-timnas-indonesia-rasis-dan-seksis


Penulis: Yinimn

Previous Aldi Di Antara Bayang-Bayang Intimidasi dan Ancaman
Next Editorial : Segala Teror Kami Balas Pukulan Lainnya

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *