Catatankaki-Sebagai seorang anak yang tumbuh dan besar di lingkungan dengan kultur fanatisme sepakbola yang besar, saya juga berkembang dengan membawa fanatisme tersebut. Klub yang saya sukai sedari kecil ialah PSM Makassar. Yah, tentu saja sebagai orang Makassar tulen menjadikan PSM Makassar sebagai klub kebanggan menjadi hal yang wajib. Selain PSM Makassar, saya juga menyukai Manchester United sebuah klub yang berasal dari Inggris.
Kecintaan saya kepada sepakbola sangatlah besar. Sewaktu saya kecil, tidak seperti anak pada umumnya yang diajari membaca oleh orang tuanya menggunakan buku-buku yang memang dikhususkan untuk anak-anak, saya justru belajar membaca melalui rubrik olahraga di koran-koran serta melalui majalah yang mengulas mengenai olahraga terutama sepakbola.
Namun, kejadian baru-baru ini cukup membuat saya tergerak, merasa gelisah, marah, sedih yang semuanya tercampur hingga membuat saya ingin sekali menuangkannya pada kegiatan yang paling saya gemari sewaktu SMA dulu, yakni menulis. Melalui tulisan ini saya ingin menumpahkan segala amarah dan kesedihan yang saya rasakan ketika membaca berita mengenai kejadian di Stadion Kanjuruhan, Malang dan mengikuti perkembangannya.
Tepat pada tanggal 1 Oktober 2022 pukul 20.00 WIB, dilangsungkan pertandingan yang mempertemukan Arema FC vs Persebaya Surabaya, rival yang sedari lama telah berselisih yang diberikan embel-embel “Derby Jawa Timur” atau komentator di Indosiar mengatakan “Super Big Match”. Pertandingan berlangsung lancar dengan tensi pertandingan yang cukup tinggi, namun tetap dalam kategori aman hingga peluit akhir dibunyikan dengan kemenangan yang didapatkan oleh tim tamu Persebaya dengan skor 2-3. Hal ini membuat Aremania (sebutan untuk suporter Arema FC) menjadi kecewa.
Selain kekalahan malam itu, tren pertandingan Arema FC juga dapat dikatakan kurang baik, sehingga membuat tim ini stagnan di papan tengah klasemen yang semakin membuat Aremania kecewa. Petaka awal kejadian pun bermula dari sini, dimana para pemain dan official tim Arema FC mendekati tribun untuk meminta maaf kepada Aremania atas kekalahan malam ini. Ketika mendekati tribun timur, seorang suporter berlari mendekati pemain untuk meluapkan kekecewaannya. Hal ini memicu beberapa suporter juga ikut masuk ke lapangan dan diikuti lemparan berbagai benda oleh suporter lainnya ke arah lapangan. Situasi yang demikian membuat para pemain diamankan untuk masuk ke dalam ruang ganti. Setelah para pemain masuk ke dalam ruang ganti situasi menjadi tidak terkendali dimana semakin banyak pula suporter yang masuk ke dalam lapangan. Situasi yang tidak kondusif ini membuat pihak keamanan melakukan tindakan yang mereka sebut sebagai pengamanan, dimana mereka memukul para suporter menggunakan pentungan dan tameng serta mengeroyok dan berbagai tindakan kejam lainnya.
Ketika aparat berusaha memukul mundur para suporter yang berada di tribun selatan, para suporter dari tribun utara juga menyerang yang membuat para polisi menggunakan gas air mata untuk memukul mundur suporter. Situasi ini membuat suasana di dalam stadion menjadi tidak kondusif. Gas air mata memenuhi setiap sudut di dalam stadion bahkan para polisi bajingan itu menembakkan gas air mata ke arah tribun di mana terdapat banyak wanita, orang tua dan anak-anak pada tribun yang membuat mereka berlari berhamburan. Hal ini membuat mereka panik dan berlari ke arah pintu keluar yang juga sudah sesak dengan penumpukan suporter. Keadaan sesak ditambah gas air mata yang menyelimuti stadion membuat para suporter kekurangan oksigen, total hingga saya menulis tulisan ini terdapat 182 korban jiwa.
Saya menulis tulisan ini dua hari pasca kejadian di mana berbagai stakeholder telah menampilkan tampang mereka, dan memberikan penjelasan terkait kejadian menurut mereka sendiri. Jika ditarik akar permasalahan dari kejadian ini semua harus bertanggung jawab, mulai dari panpel pertandingan, Kapolres, Kapolda, Ketua PSSI, orang-orang PT. Liga Indonesia Baru, dan pihak dari Indosiar. Mengapa saya tidak memasukkan suporter, karena suporter disini menjadi korban dari kejadian. Lalu, mengapa saya menyatakan suporter menjadi korban, hal ini karena jumlah suporter yang harusnya panpel dapat menyesuaikan dengan kapasitas stadion itu sendiri. Perlu diketahui Stadion Kanjuruhan hanya dapat menampung 38.000 penonton, sementara tiket yang dicetak jumlahnya 42.000 belum terhitung penonton yang masuk tanpa menggunakan tiket, dimana hal ini lumrah di Indonesia. Kemudian, pertandingan yang masuk ke dalam kategori high risk match harusnya dilaksanakan pada waktu yang tidak larut malam seperti pada pertandingan ini, hal ini untuk mencegah kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Menurut statement dari kepolisian dan panpel, mereka telah mengajukan kepada PT. LIB untuk memajukan jadwal pertandingan. Namun entah dasar apa PT. LIB menolaknya, dan yang lebih parahnya lagi polisi yang merekomendasikan untuk pertandingan, justru memberikan izin keramaian di jam yang selarut itu, sehingga membuat polisi seperti orang bodoh yang menjilat ludah sendiri.
Hal lain yang ingin saya tulis disini ialah, penggunaan senjata gas air mata dan tindakan sadis dan kejam para aparat yang mengamankan kejadian. Dalam peraturan FIFA yang tertuang pada FIFA Stadium Safety and Security Regulations bab 19 mengatakan “No firearms or “crowd control gas” shall be carried or used” yang artinya penggunaan senjata dan gas untuk mengurai kerumunan dilarang untuk dibawa serta digunakan. Namun, melihat pernyataan Kapolda Jawa Timur yang mengatakan hal ini telah sesuai prosedur membuat kita bertanya-tanya, prosedur apa yang digunakan oleh polisi sehingga melakukan tindakan sadis dan kejam serta menembakkan gas air mata ke arah tribun, yang disana terdapat orang tua, wanita dan anak-anak. Tidak adanya prosedur penanganan yang jelas dan sesuai dengan peri kemanusiaan memperlihatkan bobroknya pengelolaan liga sepakbola di Indonesia ini. Hal ini juga memperlihatkan kualitas mental dari polisi itu sendiri.
Ketua Umum PSSI sendiri sebagai induk yang mewadahi segala aktivitas persepakbolaan di Indonesia, sampai sekarang baru sekali nampak di media dengan perkataan bodohnya. Berbeda halnya ketika timnas Indonesia bertanding dan mendapatkan kemenangan, ia muncul dimana-mana bahkan ia muncul pada press conference after match yang seharusnya hanya dihadiri oleh media, pemain dan pelatih. Harusnya disaat seperti ini ketua PSSI yang bangsat itu mengundurkan diri dan mengakui kesalahannya, bukan malah bersembunyi. Harusnya ia melakukan pameran diri sama seperti ketika timnas Indonesia menang, contohnya membuat spanduk-spanduk dan ucapan-ucapan di medsos. Presiden Jokowi harus mengambil sikap yang tegas tentanng hal ini.
Mungkin dikemudian hari tagar-tagar dan seruan-seruan akan kejadian ini akan hilang ditelan waktu. Mungkin saja dikemudian hari para ibu dan ayah akan melarang anak-anaknya untuk datang ke stadion ataupun menjadi fans dari suatu tim sepakbola. Namun, saya berharap para orang tua untuk melarang anaknya menjadi penguasa yang bangsat bin bajingan, beserta polisi sebagai anjing peliharaannya. Sebagai fans sepakbola Indonesia, saya berharap liga Indonesia sekarang dihentikan dan semua harus berbenah. Kita adakan liga yang sehat yang membuat sepakbola menjadi tontonan yang ramah.
***
Kematian massal yang terjadi di Stadion Kanjuruhan bukannya terjadi tanpa kesalahan, ini jelas hasil dari kekuasaan yang melakukan eksploitasi habis-habisan; panpel pertandingan yang mencetak tiket melebihi kapasitas stadion, pihak kepolisian yang melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan penembakan gas air mata ke suporter, pihak PT. LIB dan Indosiar yang mementingkan rating tv sehingga tidak menyetujui permintaan panpel, dan PSSI sebagai federasi sepakbola Indonesia yang tidak mengeluarkan aturan operasional dalam melakukan pengamanan di dalam stadion. Kesemuanya berbelit dalam lingkaran setan. Namun yang terang, waktu dan pemakluman tidak akan bisa benar-benar menyelesaikan semuanya.
Penulis: Drunken
Editor : Taurus Girl
No Comment