Di tengah panas terik yang menyelimuti Kota Makassar pada Selasa (24/09/2024), massa aksi yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) melangsungkan aksi unjuk rasa dalam memperingati Hari Tani Nasional (HTN). Aksi ini dilakukan di beberapa titik, pertama di Kantor Wilayah (Kanwil) Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sulawesi Selatan (Sulsel). Lalu setelah itu massa bergerak ke titik aksi lainnya, yakni Fly Over, kantor PT. Perkebunan Nasional (PTPN) 1 Regional 8, dan kantor DPRD Provinsi Sulsel.
Aksi kali ini melibatkan berbagai elemen mulai dari masyarakat, massa dari serikat petani Polongbangkeng Takalar, nelayan Lae-Lae, serta serikat buruh, dan mahasiswa.
Hasbi, perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mengatakan ada beberapa tuntutan aksi, yakni massa menuntut pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan hak atas tanahnya. Mendesak agar konflik agraria di Sulsel segera diselesaikan. Selain itu juga, massa mengecam monopoli lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan besar seperti PTPN XIV dan PT London Sumatra (Lonsum) yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Aksi pada awalnya bermula di Kanwil ATR/BPN Sulsel, di sana massa melakukan dialog membahas kasus PTPN Takalar dan PT. Lonsum. “Tadi sudah berdialog dengan perwakilan dari BPN Wilayah Sulsel dan mereka juga sudah menegaskan bahwa memang masyarakat itu berhak atas perlindungan hukum terhadap hak atas tanahnya,” kata Hasbi.
Namun, ia juga menyampaikan kekecewaannya terhadap sikap BPN yang dianggap lebih berpihak kepada perusahaan, khususnya terkait perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU). Mereka telah meminta agar pihak PTPN yang sudah tidak memiliki dasar hukum melakukan pengolahan untuk berhenti. “Namun, pihak dari BPN tidak mau memberikan kebijakan untuk menghentikan aktivitas pengolahan PTPN,” ungkap Hasbi.
Kiki dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga menambahkan bahwa dalam dialog tersebut mereka kembali mempertegas konsesi HGU dari PTPN maupun PT Lonsum sudah selesai. Pada proses berakhirnya HGU ini, mereka juga mendesak pihak dari ATR/BPN sebab kewenangan untuk perpanjangan HGU ada di kementrian ATR/BPN. “Juga mendesak bahwa tidak ada lagi perpanjangan (HGU) dan kemudian memeriksa ketimpangan agraria yang sudah sangat kronik terjadi di 3 kecamatan di Polongbangkeng,” sambungnya.
Selain itu, Kiki juga mengatakan bahwa proses peninjauan oleh Panitia B masih belum menyeluruh. “Kita juga menggugat proses peninjauan lokasi oleh Panitia B. Masih banyak tanah-tanah warga masyarakat yang tidak didatangi,” tegasnya.
Dalam Permen ATR/BPN Nomor 7 Tahun 2017, Panitia Pemeriksaan Tanah B yang selanjutnya disebut Panitia B adalah panitia yang bertugas melaksanakan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik dan data yuridis baik di lapangan maupun di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian, perpanjangan, dan pembaruan HGU.
Menurut Kiki, lewat peringatan HTN ini menjadi refleksi bahwa keadilan agraria di Indonesia masih jauh dari harapan. “24 september ini harus menjadi refleksi dan kritik pada negara khususnya pemerintah, mulai tingkat presiden sampai provinsi dan kabupaten/kota. Untuk melihat situasi masyarakat miskin pedesaan, masyarakat miskin perkotaan, dan orang-orang yang terancam tergusur tanah-tanahnya, kampungnya, oleh kebijakan yang sangat liberal.”
Lanjut Hasbi juga menegaskan bahwa masyarakat tidak bisa mengandalkan pihak lain dalam perjuangan hak atas tanah. “Kita yang harus berada di lapangan untuk mempertahankan hak-hak kita. Hanya dengan persatuan, kita dapat merebut kembali kedaulatan atas tanah, baik di Pulau Lae-Lae, hak-hak wilayah tangkap, maupun di Polongbangkeng Takalar dan terkait PT Lonsum,” ujarnya. Ia menekankan bahwa persatuan rakyat adalah kunci untuk menghentikan segala bentuk penindasan yang terjadi.
Reporter: Alicya Qadriyyah Ramadhani Yaras & Nurul Atira
No Comment