MENOLAK HUKUM OMNIBUS, MELAWAN PERAMPASAN RUANG HIDUP SEKALIGUS


Catatankaki.org – Jika dua hari yang lalu Aliansi Mahasiswa Makassar menggelar aksi penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, Selasa kemarin (10/03/2020), almamater merah Universitas Hasanuddin (Unhas) juga melangsungkannya. Dengan ratusan massa aksi membentuk lingkaran, dua ruas Jalan Perintis Kemerdekaan, depan Pintu I Unhas hampir tertutup seluruhnya. Aksi tersebut dimulai sekitar pukul 16.13 hingga 18.01 WITA.

Ruang lowong tengah lingkaran menjadi panggung orasi dan teatrikal. Tepat di titik itu juga, belasan massa membentang dua spanduk utama bertajuk “Aliansi Unhas Bersatu Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja” dan “Bara-Baraya Tergusur, Makassar Lautan Api”.

Memang, mahasiswa Unhas tak sendiri. Beberapa warga Bara-Baraya yang sedang bersengketa melawan klaim mafia tanah dan Komando Daerah Militer (KODAM) XIV Hasanuddin turut pula dalam aksi, membawa sekaligus tuntutan hak atas tanahnya.

Dari Kelurahan Bara-Baraya ke Kampus Unhas, warga setidaknya harus merogoh saku untuk membayar transportasi online demi terlibat dalam unjuk rasa. Namun tak menjadi soal, sebab mereka berinisiatif agar suara kampanye menantang upaya penggusuran semakin nyaring.

Tampak warga Bara-Baraya turut membentangkan spanduk penolakan penggusuran yang mengancam masa depan ruang hidupnya. Catatankaki/Adhan/Gawai

Mengingat dua hari menjelang, tepatnya Kamis 12 Maret 2020, majelis hakim di Pengadilan Negeri Makassar akan membacakan hasil putusan sengketa tanah Bara-Baraya. Aksi tersebut menjelma ruang bersama, baik oleh mahasiswa dan warga, agar menumpah keresahan serta melontarkan tuntutannya.

RUU Cipta Kerja dan Peningkatan Esklasi Perampasan Ruang Hidup?

Aksi kemarin mengangkat dua tajuk: RUU Cipta Kerja dan ancaman perampasan ruang hidup warga Bara-Baraya oleh mafia tanah bersama militer. Kedua tajuk itu, tidak bisa tidak, bertaut satu sama lain. Mengapa?

RUU Cipta Kerja melingkupi persoalan tanah, BAB VIII pengadaan lahan. Dua UU yang dirombak adalah UU 2/2012 tentang Pengadaan Lahan Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Mengingat tanah merupakan salah satu sumber daya ekonomi utama yang dibutuhkan investor, tujuan besar RUU tersebut dalam menciptakan iklim investasi kondusif digadang-gadang akan semakin meningkatkan eskalasi perampasan ruang hidup.

Setidaknya, kelompok yang rentan tergilas sepatu pembangunan dan investasi adalah warga miskin kota, masyarakat adat, petani dan nelayan.

Bagaimana tidak, di tahun 2019 pun, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) setidaknya mencatat 279 titik konflik dengan luasan 734.329 hektar. Letusan-letusan konflik itu merebak di berbagai provinsi di Indonesia, mengancam sekitar 109.042 KK dari pemantauan KPA. Angka tertingginya berada di sektor perkebunan dengan terjumlah 87, disusul sektor infrastruktur sebanyak 83.

Analisis KPA menegaskan, beberapa ketentuan RUU Pertanahan yang urung disahkan September 2019 lalu justru menyusup dalam RUU Cipta Kerja. Semisal mengenai lembaga Bank Tanah (BT) yang telah ditolak masyarakat sipil, merentang dari pasal 123 sampai 128 RUU Cipta Kerja.

Alih-alih bertujuan demi agenda reforma agraria sebagaimana klaim pemerintah, BT justru dianggap merupakan alat negara untuk menginventarisir tanah demi kepentingan pembangunan/investasi. Adanya BT dinilai memiliki tujuan menciptakan ‘pasar tanah bebas’ yang diproyeksikan akan menyuburkan pratik perampasan tanah dan mafia serta spekulan tanah.


Penulis: Nicho

Editor: Rahmat Rastin

Previous 'Mengobarkan' Makassar: Aliansi Makar Tolak Omnibus Law
Next UNTUK KEDUA KALINYA, BARA-BARAYA BERSATU MENYEMAI KEADILAN

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *