“Sangat kelihatan keberpihakan itu. Kalau di kasus-kasus kekerasan seksual lain yang kami dampingi, biasanya didiamkan oleh polisi. Kalau ini malah dibuatkan administrasi pemberhentiannya” -Rezky Pratiwi-
Ayah dari ketiga anak Lydia, tentu akan selalu mendapat tempat yang aman sebab latar belakangnya. Siapapun, tak hanya mantan suami Lydia itu, selama kekerabatan dengan penguasa masih dekat, mereka semua akan selalu punya tempat yang aman.
Pernyataan Rezky Pratiwi, pendamping kasus ketiga anak Lydia, harus mendapat perhatian lebih dan tidak berakhir dilewatkan begitu saja. Permasalahan kemudian menumpuk dibalik pernyataan Rezky, termasuk yang dialami oleh Lydia dalam kasus pemerkosaan yang dialami anaknya (baca : projectmultatuli.org)
Sejak diberhentikannya gelar perkara kasus ketiga anak Lydia, sejak itu pula rasa cemas mantan suami Lydia akan tindakan terhadap ketiga anaknya mulai mereda secara perlahan. Sangat terang tertuang adanya tindakan pengamanan bagi mantan suami Lydia oleh Aipda Kasman di kepolisian dan Firawati di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Dinas Sosial Luwu Timur.
Bemula dari Firawati yang menghubungi mantan suami Lydia, terduga pelaku pemerkosaan terhadap anaknya, dengan alasan ingin mengonfirmasi sebab jabatannya sesama Aparatur Sipil Negara (ASN). Dia menghubunginya sebelum lebih dulu memeriksa ketiga anak Lydia. Hingga di waktu berikutnya, Dinas Sosial tersebut menyurati Lydia sebab akan dilakukan pemeriksaan psikologis kepada ketiga anaknya itu. Hasilnya menyatakan bahwa tak ada gangguan terhadap mereka. Namun usut punya usut, belakangan diketahui pemeriksa yang disediakan oleh Dinas Sosial ternyata tidak memenuhi kualifikasi untuk melakukan pemeriksaan itu. Bahkan Firawati juga menyampaikan kebohongan tentang urusan asuhan Lydia terhadap anaknya.
Berikutnya adalah yang dilakukan oleh Aipda Kasman dan polisi-polisi, dari pihak kepolisian Polres Luwu Timur dan Polda Sulawesi Selatan yang ikut terlibat menangani kasus pemerkosaan tiga anak Lydia. Ketiga anak Lydia dibawa visum dan dimintai keterangan oleh kepolisian tanpa sama sekali adanya pendampingan baik dari Lydia, penasehat hukum, pekerja sosial ataupun dari psikolog. Begitu juga dengan hirau para polisi akan bukti-bukti yang Lydia berikan untuk mendukung penyelidikan, mereka sama sekali tidak menggubris hal tersebut sekalipun bukti-bukti itu bisa membantu penyelidikan. Dan juga alih-alih menyoroti kasus, mereka malah lebih fokus dengan kesehatan mental Lydia. Lydia yang juga ikut diperiksa saat adanya pemeriksaan ketiga anaknya, dinyatakan memiliki gejala waham oleh dokter di klinik jiwa, Rumah Sakit Bhayangkara Makassar. Dokternya saat itu juga ditemani oleh penyidik, dan seorang staf Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Luwu Timur. Sementara untuk ketiga anaknya, masih dengan hasil yang sama, tidak ditemukan kelainan atau tanda kekerasan fisik. 63 hari penyelidikan, kasus ini kemudian dihentikan. Terhitung singkat menurut Rezky penyelidikan itu berjalan. “Tidak masuk akal.”
Mantan suami Lydia itu belakangan diketahui sebagai seorang Auditor Inspektorat. Apa yang terjadi kepada ketiga anak Lydia dikabarkan tidak hanya oleh ayahnya seorang, ada juga dua orang rekan kerja ayahnya yang melakukan hal yang sama. Entah pengamanan ini ditujukan untuk siapa, apakah mantan suami Lydia ataukah malah kedua temannya yang lain. Namun, skenario ini merupakan bentuk tindakan struktural. Bagaimana tidak, mulai dari Dinas Sosial Luwu Timur, Polres Luwu Timur bahkan sampai pada Polda Sulawesi Selatan menyatakan dan melakukan tindakan yang berbeda dari apa Lydia sampaikan. Dari apa yang tertera pada laman web Project Multatuli, juga tampak ada tindakan manipulatif dari pihak terkait.
Kejadian semacam ini sesungguhnya bukanlah hal yang baru lagi, ada banyak kejadian serupa yang telah terjadi sebelumnya. Contohnya saja pada kasus pembunuhan Munir, yang bentuk pengamanan pada tersangkanya jauh lebih apik. Berdasar pada laman kontras.org, diketahui saat Munir dalam perjalanan ke Amsterdam, Belanda, ia ditemukan tewas di pesawat akibat diracuni. Pembunuhan Munir ini melibatkan banyak pihak, beberapa diantaranya yang begitu akrab yakni; maskapai Garuda Indonesia dan Badan Intelejen Negara, termasuk Tim Pencari Fakta yang kehilangan hasil investigasinya setelah sebelumnya telah diserahkan pada Susilo Bambang Yudhoyono. Namun alih-alih melanjutkan penyelidikan, malah muncullah si kambing hitam Pollycarpus yang ditahan atas kasus pembunuhan Munir tersebut. Padahal semua tahu bahwa dalang sebenarnya masih bisa tertidur bersama lelap di malam-malam harinya; dengan tanpa cemas.
Selanjutnya hal serupa turut terjadi pada kejadian yang mengakibatkan kerusakan pada mata kiri Novel Baswedan. Sekalipun terbilang Novel Baswedan juga memiliki kekuasaan, hanya saja lawannya memiliki kuasa yang lebih besar lagi. Belakangan tertangkap pelaku penyiraman pada kasus Novel Baswedan tersebut. Namun sama seperti pada kasus Munir, tidak ada motif yang jelas dibalik tindakannya mereka itu. Alasan klasik, karena rasa benci mereka; padahal sudah jadi rahasia umum, bahwa ada motif yang jauh lebih besar dibanding hal tersebut. Apalagi dengan latar belakang Novel Baswedan yang merupakan mantan penyidik KPK, memiliki track record yang sering bersinggungan dengan orang-orang berkepentingan di panggung kekuasaan. Lihat saja kasus-kasus yang pernah dia tangani seperti kasus: Suap cek pelawat Deputi Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom, Korupsi Bank Jawa Barat, Suap Amran Batalipu (bekas Bupati Buol, Sulawesi Tengah), Korupsi Proyek Simulator SIM Korlantas Polri, Suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan Megakorupsi E-KTP
Lalu ada juga Ibu Baiq Nuril yang kasusnya sempat viral di tahun 2019 kemarin, yang juga menjadi korban kekuasaan. Menggugat Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram sebab percakapan tentang pengalaman seksual yang kepala sekolah itu lakukan hingga nada-nada pelecehan terhadap Ibu Baiq. Setelah melakukan gugatan, Ibu Baiq digugat dengan UU ITE sebab penyebarluasan percakapan pribadi.
Ini juga sempat terjadi di Universitas Hasanuddin (Unhas) sendiri. Rektor Unhas, Prof. Dwia Aries Tina Palubuhu dalam kasusnya yang melakukan perangkapan jabatan. Tidak ada penjatuhan sanksi apapun yang didapati atas tindak pelanggaran Rektor Unhas atas statutanya sendiri. Malah pihak kampus diwakili oleh Humas Unhas, mati-matian membuat pembenaran akan pelanggaran Prof. Dwia Aries Tina Palubuhu itu.
Dan masih banyak hal serupa yang terjadi, dan itu akan tetap akan terus terjadi. Alasannya sederhana, kekuasaan. Atas siapapun yang memiliki kuasa lebih, maka tempat yang aman akan selalu ada di pihak mereka.
Gelar perkara ketiga anak Lydia akhirnya akan menemui titik yang sama dengan apa yang terjadi kepada Munir, Ibu Baiq Nuril atau bagi siapapun yang ditumbalkan atas ancaman bagi seorang penguasa. Tak ada yang berubah. Nasib sudah menentukan itu semua. Keburukan apapun itu, pelanggaran macam apapun itu, selama yang melakukannya adalah orang-orang dengan latar belakang kekuasan yang lebih besar, selalu ada tempat aman berpihak kepadanya.
Penulis : Lullbye
Editor : PK
No Comment