Oleh : Pasa Luvena

Penyesalan yang tak disesalkan jika membaca sejarah munculnya agama; membuat kita sadar bahwa agama baru sebentar hadir di bumi. Atau tak lebih dari – katakanlah – 0,7 sekian persen dari sejarah peradaban manusia. Lantas mengapa agama bisa begitu memikat mayoritas manusia modern?

Bagaimana jika kita berandai mayoritas agama hari ini adalah menyembah dewa Atan? Atau mungkin Zoroaster? Atau mungkin Tolotang? Atau mungkin Humanisme ataupun Harunaisme? Jika melihat dengan pandangan agama monoteis – yang merupakan agama mayoritas hari ini, jelas itu adalah perandaian yang sangat tidak masuk akal, kemunduran peradaban, dan bodoh. Toh agama monoteisme adalah agama yang paling benar.

Namun jika melihat secara historis, kemunculan agama tak lebih dari pertikaian ratusan agama dalam satu wadah – bumi – yang akan melahirkan beberapa pemenang. Hari ini dan kelak, kita menantikan agama apa yang akan memenangkan konflik penghabisan yang sudah diambang pintu.

Tulisan ini merupakan rangkuman bab dari buku Yuval Noah Harari, Sapiens, Riwayat Singkat Umat Manusia. Namun perlu diperjelas, dalam bukunya, Yuval secara umum ingin menjabarkan agama sebagai pemersatu manusia – setelah uang dan imperium.

Tetapi penulis menjabarkan dengan sudut pandang berbeda melihat agama yakni secara historis. Awal tulisan ini akan membahas secara ringkas perkembangan manusia dengan pendekatan teori evolusi. Berlanjut dengan membahas tiga tahap sejarah perkembangan agama, dimulai dari animisme, politeisme dan monoteisme.

Melihat Manusia Dari Saturnus.

Kekeliruan yang selalu terulang, kita sering memahami bahwa garis evolusi manusia yakni tersusun dalam garis keturunan yang lurus, setelah munculnya homo erectus (manusia tegak) menjadi homo neandertal (manusia dari lembah Neanrdel), neandertal menjadi homo floresiensis (manusia dari Flores), floresiensis menjadi homo sapiens (manusia bijak, atau manusia modern).

Model yang linear ini memberikan kesan keliru bahwa hanya ada satu jenis manusia, yaitu kita, manusia modern. Sementara jenis manusia dulu hanyalah model kita dalam versi lama. Padahal selama ratusan ribu tahun, bumi dihuni oleh belasan jenis manusia lain secara bersamaan, kawin mawin, bertikai dan membentuk kebudayaan masing-masing. Hanya saja kerabat kita telah punah dan menyisahkan jenis yang paling muda dan congkak, homo sapiens.

Mengapa perlu memahami garis evolusi tersebut? Pemahaman ini penting agar kita sebagai jenis manusia terakhir bisa melihat secara jelas posisi kita bumi, tak merasa congkak bahwa kita adalah satu-satunya jenis manusia.

Jika merasa aneh dengan fakta tersebut, kucing pun hingga hari ini menyisakan belasan jenis, namun karena evolusi yang sudah terlalu jauh, tiap jenis kucing sudah tidak bisa lagi kawin mawin. Singa tak tertarik secara seksual kepada harimau. Namun kita homo sapiens masih tertarik secara seksual kepada kecantikan homo neandertal – yang sayangnya sudah punah.

Melihat sejarah manusia adalah perkara titik pandang dari mana kita melihat. Jika melihat hanya dari atas gedung berlantai empat, yang kita pelajari hanya sejarah Romawi. Jika melihat dari sebuah pesawat, yang kita pelajari hanya sejarah Yunani Kuno. Jika melihat dari satelit, yang kita pelajari hanya permulaan revolusi pertanian. Tapi jika melihat dari Saturnus, kita bisa melihat cikal bakal manusia pertama kali ada. Titik pandang terjauh melihat sejarah manusia memberikan kita gambaran lebih luas mengetahui keberadaan kita di bumi.

Nenek moyang kita sejatinya sudah ada sejak 2,5 juta tahun yang lalu. Pasca memisahkan diri dari kera lahirlah manusia pertama, homo habilis. Setelahnya, lahirlah manusia jenis yang lain. Homo erectus pada 2,3 juta tahun silam, homo ergaster pada 1,9 juta tahun silam, homo neandertal pada 600.000 tahun silam, dan jenis terakhir homo sapiens pada 100.000 tahun silam. Sementara revolusi kognitif yang memungkinkan manusia untuk berbahasa secara lebih sempurna sudah dimulai sejak 70.000 tahun silam.

Bagaimana dengan nabi Adam, kapan ia muncul? Revolusi pertanian pertama kali dimulai di Asia Barat Daya atau yang dikenal sebagai Bulan Sabit Subur sekitar tahun 7.000 SM. Artinya, tahun tersebut manusia sudah mengetahui cara bercocok tanam.

Jika merujuk pada kitab agama Kristen dan Islam. Dikatakan bahwa nabi Adam, meminta anaknya Qabil dan Habil untuk mempersembahkan hasil tani dan ternak terbaik kepada Tuhan. Jika merujuk dalam kitab tersebut, periode munculnya nabi Adam bisa diterka pada periode manusia mulai bercocok tanam yakni tahun 7.000 SM.

Ada ketimpangan periode yang sangat jurang sejak homo hadir di bumi dengan kisah tertua dalam agama. Atau tak usahlah kita mulai dari hadirnya homo, katakan saja mari menghitung sejak hadirnya homo sapiens – sejak 100.000 tahun silam – masih tertinggal jauh sekitar 93.000 tahun silam dengan hadirnya nabi Adam.

Satu hal yang penting disadari, segala ke-modern-an yang kita nikmati hari ini baru-baru saja ditemukan. Sebut saja revolusi pertanian, baru ada tahun 7.000 SM – sebelumnya manusia telah hidup dengan mengumpul dan berburu selama 2 juta tahun lebih, aksara pertama yakni hiroglif baru muncul di Mesir baru tahun 4.000 SM, Plato dengan ilmu filsafatnya baru lahir tahun 427 SM, imperium Romawi baru ada tahun 27 SM, dan ilmu pengetahuan modern baru dimulai abad ke-16 – hanya sekitar 500 tahun yang lalu.

Seperti sebelumnya, mari mencoba melihat sejarah manusia dari Saturnus, menerima kehadiran manusia pra pertanian adalah salah satu langkah memahami betapa pendeknya segala ke-modern-an yang kita capai hari ini. Atau dengan kata lain, budaya dan agama yang kita kenal hari ini masih sangatlah muda.

Bertemu Dengan Roh

Seorang pengumpul tengah mencari makanan dalam hutan. Setelah menemukan sedikit makanan yang ia telah ketahui, ia mendapati sebuah jamur yang belum pernah ia lihat. Ia berpikir apakah buah tersebut bisa dimakan? Rasa lapar dan penasaran mendorongnya untuk memakan jamur tersebut – yang rupanya membuat pengumpul itu mabuk.

Dalam keadaan mabuknya, ia melihat makhluk-makhluk yang tak pernah ia lihat sebelumnya di bumi; manusia bersayap, manusia setengah kuda, nenek dan kakeknya yang bisa terbang ataupun peri-peri kecil. Setelah sadar, ia menceritakan kepada kawanannya.

Kawanannya bersepakat, bahwa pengumpul tersebut telah memasuki dunia lain yang belum pernah mereka ketahui. Kawanan tersebut mulai percaya akan keberadaan roh-roh di hutan ataupun dunia bagi nenek mereka yang telah meninggal. Sementara itu pengumpul yang memakan jamur diangkat menjadi cenayang yang akan berperan sebagai perantara.

Setiap suku atau kelompok kebudayaan yang tersebar di bumi memiliki metode masing-masing untuk menyebrang ke dunia roh. Kebanyakan suku di Afrika menggunakan metode musik dan tarian, suku Indian di Amerika menghisap tanaman yang memabukkan, sementara salah satu suku di Spayol bermeditasi dalam gua yang gelap. Tiap metode punya satu tujuan yakni bertemu dengan makhluk lain atapun roh nenek moyang mereka.

Dengan kesadaran dan penerimaan akan mahkluk lain tersebut, para penghuni hutan perlu menyesuaikan perilaku mereka dengan tatanan adimanusiawi yang mengatur hutan mereka. Tiap norma-norma dan nilai-nilai mereka mesti mempertimbangkan kepentingan berbagai makhluk lain, seperti hewan, tumbuhan, dan roh. Penganut animisme berpikir manusia hanyalah satu diantara banyak makhluk yang menghuni bumi.

Jangan menebang pohon besar di hutan, jika tidak roh pohon akan marah dan membalas dendam. Jangan membunuh seekor singa, jika tidak roh singa akan marah dan mengincar anak-anak. Jangan membunuh anggota kawanan, jika tidak roh leluhur akan murka. Pola interaksi yang masih bisa kita lihat hari ini di suku Kajang dan ratusan suku lain di dunia.

Kesamaan animisme di seluruh bumi yakni kepercayaan semacam itu cenderung berwawasan sangat lokal dan ekslusif. Suku Kajang tak ingin repot-repot mengajarkan ajaran mereka kepada kelompok yang bukan ‘mereka’. Penganut anismisme tak mencoba menyakinkan suku lain untuk mempercayai roh lokal mereka ataupun untuk mengikuti aturan-aturan yang sama.

Kepercayaan seperti ini, setidaknya telah diterapkan manusia selama puluhan ribu tahun – sebuah rekor panjang yang kemungkinan besar tidak tak bisa dicapai oleh agama manapun hari ini jika melihat pertikaian yang berkembang sekarang.

Selama sistem kepercayaan tersebut masih bisa menopang kebutuhan hidup suatu suku yang berjumlah ratusan orang, roh-roh lokal sudah cukup untuk melindungi mereka.

Pohon, Gunung, Babi, Rusa Mulai Disisihkan dari Meja Runding

Dimulainya revolusi pertanian tahun 7.000 SM mengiringi juga revolusi agama. Dengan popolusi yang meningkat drastis, suku-suku mulai menjalin kontak dengan manusia lain yang sebelumnya sangat jarang terjadi. Roh-roh lokal yang diagungkan sebelumnya rupanya tak mempunyai kekuatan jika bersentuhan dengan suku lain.

Revolusi pertanian pada awalnya hanya berdampak kecil dengan kepercayaan lokal. Namun dengan terbentuknya kerajaan-kerajaan dan jejaring perdagangan meluas – yang merupakan dampak dari revolusi pertanian, lama-kelamaan, status anggota lain dalam sistem animisme seperti, pohon, rusa, dan roh tersingkir oleh entintas lain yang dianggap punya kekuatan yang lebih besar.

Demi memenuhi kebutuhan tersebut muncullah agama-agama politeistik. Agama-agama ini memahami dunia dikendalikan oleh sekelompok dewa-dewa digdaya yang mempunyai kekuatan untuk mengontrol wilayah yang luas, yang mencakup luas kerajaan ataupun sebuah imperium.

Untuk menyenangkan dewa-dewa, manusia mulai memberikan persembahan berupa hasil tani dan ternak. Kadangkala pula, dewa meminta persembahan yang ambisius, meminta pengorbanan berupa nyawa manusia. Ataupun persembahan yang agak berhasrat, meminta pengorbanan nyawa perawan. Patung-patung kebesaran mulai didirikan untuk menyembah dewa-dewa agung. Berharap, kesenangan dewa, mungkin mereka akan bersedia mendatangkan hujan, kemenangan, dan kesehatan.

Selama periode keagungan dewa-dewa, bukan berarti pula sistem animesme tersingkir sepenuhnya. Animisme tetap menjadi bagian integral dari politeisme. Bagi rakyat biasa yang hanya membutuhkan makanan, ia sudah cukup meminta kepada roh-roh hutan. Namun bagi raja ambisius yang menginginkan kemenangan dalam perang, ia perlu meminta kepada entintas yang punya kuasa lebih luas, dewa-dewa.

Tetapi dampak terbesar keagungan dewa-dewa bukanlah terhadap rusa atau roh, melainkan terhadap status kita, homo sapiens. Penganut animisme berpikir manusia hanyalah satu di antara banyak makhluk yang menghuni dunia. Sedangkan politeis semakin memandang dunia sebagai cerminan hubungan antara dewa-dewa dan manusia.

Doa kita, kurban, dosa, dan amal kita menentukan nasib keseluruhan ekosistem. Banjir besar mungkin memusnahkan miliaran semut, belalang, kura, dan kuda hanya gegara segelintir manusia bodoh yang membuat dewa-dewa marah. Politeisme menyingkirkan pohon, gunung, babi, rusa dari meja runding ekosistem yang mengatur kita.

Namun dua ribu tahun cuci otak monoteistik telah menjadikan kita memandang penyembahan berhala adalah bodoh dan kekanak-kenakan. Penyematan yang sebenarnya tidak adil. Untuk memahami logika internal politeisme, kita harus mengerti gagasan sentral yang menopang kepercayaan akan banyak dewa.

Politeisme bukan berarti bantahan terhadap keberadaan satu kekuatan tunggal yang mengatur alam semesta. Malah, politeisme mengakui adanya kekuatan tertinggi semacam itu yang berdiri di belakang semua dewa-dewa.

Dalam politeisme klasik Yunani, Zeus, Hera, Apollo dan dewa lain tunduk kepada kekuatan mahakuasa yang disebut Takdir (Moira, Ananke). Dewa-dewa orang Yourba di Afrika Barat tetap tunduk pada kekuatan tertinggi yang disebut Oludunmare. Sementara dalam agama Hindu, kekuatan tunggal tersebut disebut Atman yang mengendalikan berbagai dewa, roh, dan umat manusia.

Namun mengapa mereka malah memberikan sesembahan kepada dewa-dewa – yang juga tunduk kepada Kekuatan Tertinggi? Mengapa tak memberikan langsung sesembahan kepada Kekuatan Tertinggi yang punya kuasa lebih besar?

Dalam pandangan politeisme, Kekuatan Tertinggi tersebut bebas akan bias kepentingan, sehingga tidak peduli akan hasrat, kepedulian, dan kekhwatiran manusia. Tidak ada gunanya meminta agar kekuatan itu memberi mereka kemenangan dalam perang, kesehatan ataupun hujan, karena dari sudut pandang-Nya yang mencakup semua, tidak ada bedanya bila kerajaan tertentu menang atau kalah, bila kota tertentu menjadi mekar atau layu, bila orang tertentu sembuh atau meninggal.

Orang-orang Yunani tidak repot-repot membuat pengurbanan kepada Takdir, dan orang-orang Hindu tidak membangun kuil untuk Atman. Mereka lebih suka kepada dewa-dewa yang punya kekuatan pada satu aspek. Jika ingin meraih kemenangan, meminta kepada dewa Ares. Jika ingin meminta hujan, berkorban kepada dewa Demeter. Lalu berharap, persembahan semoga disukai dewa.

Dewa-dewa Naik Jabatan

Sejumlah pengikut dewa-dewa politeistik menjadi sedemikian menyenangi dewa-dewa mereka sehingga mereka menjauh dari konsep dasar politeistik. Mereka mulai percaya bahwa Tuhan mereka adalah satu-satunya Tuhan, dan bahwa dia adalah kekuatan tertinggi di alam semesta.

Namun pada waktu yang sama mereka terus memandang-Nya sebagai memiliki kepentingan dan bias, dan percaya bahwa mereka bisa mencapai kesepakatan dengan-Nya. Maka lahirlah agama-agama monoteistik.

Pada 350 SM di Mesir, Firaun Akhenaten begitu kagum dengan dewa Atan. Kekagumannya hingga memaklumatkan dewa Atan sebagai kekuatan tertinggi yang mengatur alam semesta. Akhenaten lantas melembagakan penyembahan kepada dewa Atan sebagai agama kerajaan dan mencoba menghentinkan pemujaan terhadap dewa-dewa lain. Padahal dibandingkan jajaran dewa-dewa Mesir, dewa Atan hanyalah dewa berpangkat rendah.

Namun revolusi keagamaannya gagal. Setelah Akhenaten mangkat pemujaan dewa Aten ditinggalkan demi pemujaan dewa-dewa lain. Maklumat Akhenaten adalah upaya pertama mengangkat dewa menjadi Kekuatan Tertinggi, sebuah upaya pertama menuju agama monotesime.

Terobosan yang sama juga pada agama Kristen pada abad 1 Masehi. Bermula sebagai sekte Yahudi yang berupaya menyakinkan orang-orang Yahudi bahwa Yesus dari Nazaret adalah juru selamat yang telah lama mereka tunggu-tunggu.

Tapi salah seorang pemimpin pertama sekte tersebut, Paulus dari Tarsus, berpikir bahwa bila kekuatan tertinggi di alam semesta memiliki kepentingan dan bias, dan bila Dia repot-repot berinkernasi menjadi manusia dan mati disalib demi keselamatan umat manusia, maka itu sesuatu yang perlu didengar semua orang, bukan hanya orang-orang Yahudi. Oleh karena itu perlu untuk menyebarkan kabar baik – injil – mengenai Yesus di seluruh dunia.

Penyebaran sekte tersebut begitu memukau, pada abad pertama masehi, tak ada yang memerhatikan Injil. Namun baru pada abad ke-4, sekte tersebut berhasil menerobos langit-langit imperium Romawi dan menjadikannya sebagai agama Negara. Memasuki abad ke-21, agama tersebut sudah memikat 2,4 miliar pemeluk – atau sekitar 30 % populasi dunia. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 20 abad agama tersebut sudah memikat mayoritas homo sapiens.

Keberhasilan serupa juga dirasakan agama Islam. Bermula dari sekelompok kecil penganut agama di satu sudut bumi pada abad ke-7 – hanya sekitar 1.200 tahun yang lalu. Namun dalam kejutan sejarah, Islam berhasil menerobos keluar dari gurun Arabia dan menaklukkan wilayah luar biasa luas yang membentang dari Samudra Atlantik sampai India. Hingga sekarang, agama ini sudah dipeluk sekitar 1,8 miliar penduduk dunia.

Sebagai agama yang masih sangat muda dibandingkan agama-agama manusia sebelumnya, agama monoteis justru berhasil memainkan peran besar dalam sejarah dunia. Agama monoteis menyiratkan bahwa kekuatan tertinggi mereka adalah entitas yang berkuasa atas segalanya – bahkan terhadap dewa-dewa lain yang mereka anggap sebagai setan-setan kufur penghasut manusia. Itulah sebabnya, agama monoteis menyangkal semua agama atau kepercayaan lain. Agama monoteis dengan gampangnya mengafirkan agama-agama lain sebagai agama “bodoh” dan “tak beradab.

Pada akhirnya, sama seperti awal tulisan ini, membaca sejarah kemunculan agama, membuat kita sadar bahwa agama baru sebentar hadir di bumi. Atau sebut saja, landasan kepercayaan kita akan agama baru berusia 2.000 tahun, yang jika kembali dibandingkan dengan riwayat manusia – 2,5 juta tahun lalu kehadiran manusia ataupun 100.000 tahun silam sejak kehadiran homo sapiens, terdapat periode yang jurang, sangat jurang.

Namun bukan berarti itu adalah suatu yang buruk, sejarah pada dasarnya adalah perubahan, entah membutuhkan waktu lama ataupun tidak. Kita menantikan perubahan kedepan, apapun bentuknya – mengarah kehancuran ataupun imaji kehancuran. Amin.


Penulis adalah mahasiswi manis Fakultas Kedokteraan Gigi Hewan Angkatan 2016. Tulisan ini di dedikasikan teruntuk sang dermawan yang berniat membelikan penulis buku, Carl Sagan, Kosmos.

Previous Korporatokrasi MWA dan Impotensi Daya Politik Satu Kursi Mahasiswa
Next RUU PKS: Payung Hukum Korban Kekerasan Seksual

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *