Oleh: Ibee

Memandang komunisme sebagai ilmu — merupakan salah satu manifestasi sikap adil sejak dari prasangka.

Hari demi hari, ilmu pengetahuan lahir silih berganti sampai pada tahap semua isme berawalan post-. Namun ada satu yang masih mengganjal di langit-langit kerongkongan saya bukan karena sisa-sisa ayam geprek yang saya santap sehabis buka puasa tadi, tapi ini perihal yang lebih mengenyangkan lagi, yaitu komunisme.

Tersebutlah di tanah air tercinta kita ini, komunisme, marxisme, PKI dan semua yang kaitannya dengan haluan kiri menjadi bibit alergi disebagian kalangan masyarakat, baik itu yang hidup di ruang lingkup akademis apalagi yang langlang di jalanan. Jelas jika kita tilik kembali jalannya sejarah Indonesia pasca merdeka, antara Orde Lama menjelang kokohnya Orde Baru, kata komunis telah ditahbiskan menjadi kata terlarang lebih luas dari hanya sekedar kata adalah paham dan ideologi.

Di masa Orde Lama komunisme telah menjadi anak kesayangan the founding father kita Ir. Soekarno, dalam beberapa pidatonya beliau tidak alpa untuk menyebutkan kata tersebut, dan yang paling terkenal adalah NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis), mengingat pada tahun-tahun tersebut nuansa perang dingin sisa Perang Dunia ke-2 masih sangat kental aromanya. Siapa lagi kalau bukan Amerika dengan Demokrasi-liberalnya, Zionist Israel dengan kapitalisme monopoli dalam Perbankan Finansial Internasional-nya yang mengakibatkan krisis dimana-mana, dan komunisme di pihak Soviet.

Dalam hal politik, Amerika dan Soviet menancapkan kuku-kuku kekuatan Ideologinya yang kemudian andil dalam suasana perpolitikan di Indonesia, hingga berujung petaka September 1965 diikuti genosida yang pandai luput dari kacamata kita sekarang ini.

Orde Baru tumbuh dengan hegemoni ala militernya, sebut saja fasis, di bawah seorang jenderal yang naik daun, Soeharto. Apa yang terjadi kemudian, bahwa komunisme yang sebelumnya pernah jaya di masa Orde Lama, harus punah dengan jalan pembersihan berdarah, dalih-dalih yang kemudian lahir dihubung-hubungkan dengan peristiwa G30S yang katanya ulah PKI “sepenuhnya”, PKI dianggap menghianati Negara, organisasi terlarang, tak beragama juga immoral, beberapa tersebut adalah  doktrin rezim Orba, hingga genosida 66-67 surut seolah tanpa dosa.

Soeharto mulai menyusun strategi guna melindapkan semua warisan Soekarno dari segi pemikiran/ideologi. Jalannya adalah dengan membentuk sebuah budaya yang mendiskreditkan komunisme lebih jauh lagi hingga sekeji-keji seorang pelacur beranak satu, jalan itu sukses, mulai dari doktrin benda, visual hingga bahan ajar sekolah dasar.

Iya, beberapa paragraf di atas saya rasa cukup untuk mengantarkan tulisan yang tidak cukup jelas ini kepada sebuah penebusan dosa untuk saya pribadi.

Akhir-akhir ini saya agak risau dengan beragam kesalahpahaman yang dengan polosnya menyasar pemikiran Karl Marx, Marx atau Moor, beliau bukan teman kuliah saya, adalah filosof abad pencerahan yang lahir ditengah-tengah masa melejitnya ilmu pengetahuan yang ditandai dengan peningkatan industrialisasi di Inggris abad 19. Kesalahpahaman yang tadi saya maksud berkaitan dengan komunisme sebagai sesuatu murni dan komunisme modifikasi ala Soviet hingga zaman now, post- dari segala yang post-.

Komunisme tidak lahir begitu saja dari kepala Marx, bukan karena wahyu Tuhan melainkan pada beberapa fase kehidupan sosial yang pernah dilaluinya. Jelas dalam kedua karyanya “Manuskrip Ekonomi dan Filsafat” serta yang belakangan mahakarya “Kapital.” Dari kedua karya tersebut ada indikasi perubahan pemikiran Marx secara esensial berkaitan tentang per’watak’an manusia, ini bukan karena saya sudah khatam kedua karya tersebut , tak lain tuturan Erich Fromm dalam bukunya “Konsep Manusia Menurut Marx.” Mengacu kepada kedua karya tersebut dan bagaimana Marx menciptakannya adalah jalan yang sukar serupa jihad di jalan Tuhan, dan Tuhannya Marx adalah kemanusiaan.

Komunisme lahir di dalam pergulatan panjang Marx dengan dunia empiris, realita sosial yang saban hari Ia jumpai di manapun dengan kaitannya terhadap manusia, mengapa manusia? Tidak lain akibat percikan pemikiran tentang alam dan idealisme dari Hegel, Spinoza, bahkan penyair Shakespeare dan beberapa lainnya yang beliau gemari.

Saya tidak akan jauh sampai ke Shakespeare atau Dante dan akan kembali ke kesalahpahaman tadi. Perasaan risau, galau dan sesak tatkala perjumpaan dengan tuduhan terhadap komunisme yang biadab, membuat ingatan jauh hendak menggapai ujung-ujung jenggot Marx, ya sesungguhnya manusia ‘zaman now’ kebanyakan masih belum sadar dari sihir dan buaian orba.

Komunisme dalam landasan pemikiran Marx adalah semua ihwal tentang manusia, manusia dan ke(ada)annya, atau singkatnya kemanusiaan. Meski demikian komunisme pada masa-masa awal penciptaannya sebagai sebuah haluan berada di antara kontradiksi, antara esensi (watak) dan eksistensi, mengapa demikian? Sebab tak lepas dari laju industrialisasi yang melahirkan yang namanya ‘big baby’ kapitalisme. Kapitalisme yang memanifestasikan pemilikan modal secara lebih kompleks hingga pembedaan kelas, melahirkan hasrat untuk terus memproduksi barang dengan bentuk meng-alat-kan semua yang termasuk dalam pekerja produksi dalam hal ini buruh. Buruh, alat, barang di mata kapitalis semuanya hanya alat semata. Titik awal Marx menyadari bahwa manusia telah keluar dari kehidupannya.

Kapitalisme dengan segala kesenjangannya mengubah skenario sejarah manusia secara semena-mena, bagaimana tidak ketika telur-telur imperialisme dan kolonialisme menetas di mana-mana.

Semua tentang kesenjangan, antara yang miskin dengan yang kaya, si pemilik modal dengan si pekerja dalam hal ini buruh pabrik berangkat dengan kesesuaian suasana Revolusi Industri saat itu.

Dalam pengelanaannya keliling Eropa, Marx menjumpai manusia dalam keadaan tidak pada esensinya sebagai manusia, manusia yang dimaksud sebagian besar adalah buruh pabrik tadi. Beliau pada dasarnya (sebenarnya dasar pikiran saya yang dangkal, setelah baca beberapa buku dan perenungan yang tidak begitu lama,) berkeinginan untuk mengembalikan manusia pada esensinya, manusia yang bebas, manusia yang tidak teralienasi dari manusia lainnya bahkan dengan dirinya sendiri.

Lucu, ketika manusia menciptakan hal yang setara dengan dengan dirinya bahkan lebih akan nilainya sebagai seorang pencipta, tersebut secara sederhana yang dinamakan sebagai alienasi manusia, buruh bekerja bukan untuk kesejahteraan tapi lebih kepada pemanjangan kesenjangan antara ia (esensi) dengan eksistensinya sebagai manusia seutuhnya, semua akibat kemunculan stratifikasi kelas akibat pemilikan modal secara individu.  Bahkan manusia pada masa itu mayoritas hidup sebagai komoditas, dan komoditas manusia adalah komoditas paling berharga dan sempurna jauh daripada rempah-rempah yang ada di Maluku beberapa tahun yang mendahului kelahiran Marx.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, ide-ide dan realitas, Marx mencoba membangun komunisme yang berlandaskan watak murni manusia, lebih jauh lagi diadopsi beberapa pemikir modern, sebut saja Lenin dan Stalin. Nah… ketika Lenin mencul dengan komunisme-nya di Soviet berikut penerusnya Stalin, komunisme mulai berubah haluan, konsep kolektivitas rezim Stalin adalah biangnya, ini sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan Marx dan komunismenya. Demikian komunisme Soviet adalah salah satu bentuk kesalahpahaman yang sangat disengaja oleh seorang anak manusia, semua berangkat dari ‘keserakahan,’ film “Bitter Harvest” akan menjawab kesalahpahaman itu dengan balutan kisah romansa.

Juga, kaitannya dengan salah satu metode Marx mengenai komunisme yang menggunakan kata materialisme di depannya, sebut saja Materialisme-Dialektis atau Materialisme-Historis. Entah kenapa seringkali adanya penyelewengan makna terhadap materialisme ini. Manusia ‘zaman now’ kebanyakan membiaskan kata tersebut dalam ruang lingkup ekonomi saja, seolah-olah Marx hanya berbicara tentang ekonomi, uang, modal dan keuntungan, ini adalah kekeliruan fatal yang melahirkan kesalahpahaman lainnya.

Materialisme yang dimaksudkan secara kasat mata adalah manusia itu sendiri sebagi wujud fisik, wujud materi, wujud nyata sebagai manusia, yang selanjutnya berkembang menjadi wacana ekonomi-politik dan semua antek-anteknya. Imbasnya tak lain kesalahapahaman terbodoh yang pernah ada di pertiwi Indonesia, saya rasa akan sangat jelas ketika menjelang penghabisan September pada setiap tahun (masa Orba bahkan sampai sekarang) di antara perkumpulan-perkumpulan yang turut memuji, mencaci, mengutuki hingga melaknat komunisme atas nama agama seringkali.

Mengenai esensi sebagai manusia saya rasa sudah teramat jauh dari cita-cita luhur Marx, di mana-mana sangat sukar membedakan antara yang esensi atau yang hanya sekadar mencari eksistensi dengan rasa kemanusiaan saja.

Orang-orang terlalu sibuk melihat jauh di belahan bumi lainnya ketika manusia secara terang-terangan dicerabut esensi manusianya di tangan manusia lainnya melalui sistem kapitalis. Lantas di tepi-tepi jalan besar metropolitan bocah-bocah yang bahkan belum tahu jikalau dirinya juga adalah manusia seperti yang dimaksudkan Marx, selalu dengan lapang dada kita luput dari pergolakan nasibnya.

Tak perlu memahami komunisme terlampau sebagai sebuah metode revolusi, jalan untuk mencapai sosialisme jalan untuk menumpas kapitalis jikalau belum selesai perihal manusia. Manusia dan manusia seperti yang dimaknai the founding human Karl Marx. Selain sesuatu yang mengenyangkan, maka komunisme adalah ilmu tentang manusia.

Lantas di mana letak kesalahpahaman kita?

Makassar, Mei 2018.


Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, FIB UNHAS.

Angkatan 2015.

Previous Tak Ingin Disuarakan
Next “Merespon SK Rektor, Jalur Litigasi atau Non-Litigasi?

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *