Oleh: Ardiansyah Ibrahim
Beberapa pekan lalu, wakil rektor tiga kembali mengeluarkan titah. Titahnya berupa pemberlakuan jam malam. Layaknya titah penguasa pada umumnya, pemberlakuannya tidak pernah melalui proses musyawarah, selalu saja sepihak. Tak ada tempat untuk suara-suara bising yang sangat mengganggu dari kalangan mahasiswa. Mahasiswa tak lagi dipandang sebagai subjek dari aturan, namun sebagai objek yang tak memiliki pertimbangan moral.Dalam hal ini aspirasi untuk kepentingan bersama.
Jika menyoal tentang seberapa penting kebijakan ini, rektorat sudah memberi jawabannya. Sama seperti kebijakannya, jawabannya pun terlihat kusam tak terurus. Jawaban yang masih sangat rentan untuk kaum intelektual sekaliber akademisi. Dengan menyoroti iklim kampus yang nyaman bagi sivitas akademika, maka persoalan tagihan listrik yang membengkak, menjaga ketertiban kampus dan bagaimana menggunakan sekretariat lembaga layaknya kantor terdengar sangat tidak substansial serta jauh dari pembenaran. Jika kita menilik penganggaran pengadaan mobil dinas dekan, tentu sangat kontradiktif dengan niat baik birokrasi untuk mengurangi beban anggaran kampus dalam hal tagihan listrik.
Perlahan-lahan, penerapan kebijakan ini mulai nampak. Bagi yang akrab dengan aktifitas malam di kampus,tentu sangat merasakan betapa susahnya mencari sumber air dikampus serta tingginya frekuensi pemadaman listrik dikampus.
Kebijakan jam malam merupakan produk lama yang selalu dipugar pada tiap datangnya penghuni baru di kursi kekuasaan kampus ini. Catatan kaki pernah mengabarkan hal yang sama pada tahun 2002. Kala itu ada jualan program 5K. Tapi lagi-lagi penolakan terjadi. Beberapa tahun yang lalu pun terjadi hal yang sama, kebijakan itu diproduksi kembali dan tetap lagi ditolak.
Bila melihat aturan ini secara terpisah, tentu akan bermuara pada citra, bahwa kampus ingin memperbaiki atmosfir akademik yang ada dikampus merah. Berarti ada yang salah dengan atmosfir akademik selama ini. Kegiatan mahasiswa untuk berlembaga pun dipandang cenderung mereduksi capaian akademik. Namun, kebijakan ini tidak bisa dilihat secara parsial. Perlu dilihat keterkaitannya dengan aturan-aturan lain yang sedang digodok di rektorat maupun pada pemegang otoritas tertinggi. Pemberlakuan larangan menginap dikampus, sistem UKT, dan kuliah 5 tahun menyamarkan rencana besar untuk menumpulkan kreatifitas dan memarjinalkan aktifitas berlembaga mahasiswa.
Para pemangku kebijakan seharusnya lebih peka dalam melihat kondisi. Terlihat jelas aspirasi didalam penolakan itu. Bahwa mahasiswa membutuhkan tempat dimana mereka bebas berekspresi, bebas menuangkan gagasan dan netral tanpa ada batasan. Tempat itu adalah kampus.
Jika ruang dan waktu dibatasi, maka intensitas pertemuan untuk menyikapi persoalan yang dikeluarkan kampus akan semakin berkurang dan akan membunuh secara perlahan eksistensi lembaga. Sejarah menjadi saksi, bahwa intelektual organik lahir dari lingkungan-lingkungan dialektis, penuh dengan dinamika, dan diskusi-diskusi kritis. Lembaga mendapatkan kehidupan dari mahasiswa-mahasiswa merdeka, cerdas dan kritis yang mengisinya. Maka tidak ada celah untuk mengamini pengebirian aktifitas berlembaga dikampus ini. Segala macam penindasan yang dibalut kebijakan harus ditolak.
Sebuah universitas merupakan tempat dimana kaum intelektual ditempa. Jika tempatnya tak lagi kondusif untuk melahirkan gagasan yang progresif dan melahirkan pemikiran kritis terhadap segala situasi sosial yang ada, lantas dimana lagi kita bisa menjadi sebenar-benarnya mahasiswa? Kita harus keluar dari persembunyian dibalik benteng “selemah-lemahnya iman”.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin
No Comment