Oleh: Mumuck

Kebutuhan kapitalisme modern menentukan bahwa kebanyakan mahasiswa hanya akan menjadi kader-kader rendahan (Dengan mengatakan bahwa mereka memiliki sebuah fungsi yang sama dengan para pekerja berskill dalam era baru kapitalisme di abad ke-19).

– Situasionis Internasional, 1966

Tentu tidak dapat dipungkiri, bahwa kapitalisme bahkan jauh telah ‘mengganggu’ ke dalam dapur sekretariat lembaga mahasiswa. Sebagian orang hanya berkutat perihal normatif pasal demi pasal belaka, otonomi lembaga yang terpangkas, pun juga sedikit menyinggung status PTN-BH dan kapitalisme di balik batunya. Namun PR ORMAWA tentu pada dasarnya hanya merupakan satu di antara manifestasi-manifestasi dari jelmaan Universitas Hasanuddin (Unhas) sebagai universitas neoliberal yang cukup sempurna.

Keberadaan PR ORMAWA tidak terlepas dari kait-berkaitnya tentang bagaimana Unhas, dengan menggandeng rentetan korporasi, menjadi titik bertemunya calon tenaga kerja segar dan terdidik kepada pasar tenaga kerja melalui Job fair/Career Expo. Pun juga terbitnya regulasi-regulasi baru dengan motif percepatan masa perkuliahan, melonjaknya biaya kuliah melalui uang pangkal untuk mahasiswa jalur mandiri dengan kisaran 30 hingga 200 Juta, atau bahkan undangan-undangan investasi kapital dalam kampus. Keseluruhan manifestasi di antaranya terangkum dalam satu kecenderungan dominan dalam universitas: Kapitalisme Akademis.

Apa lagi Kapitalisme Akademis itu?

Universitas merupakan bagian inheren dalam jejaring relasi kuasa dari totalitas kapitalisme, bahkan menjadi penunjang dengan peranan yang esensial. Di universitas, keperluan riset bagi korporasi untuk mengomodifikasi komoditas dapat terpenuhi melalui peranan para akademisi. Pun juga calon tenaga kerja segar, mahasiswa menjadi lading investasi bagi pekerja berpengetahuan (knowledgeable workers). Maka jalinan relasi itulah yang kemudian mengonstruksi keberadaan dan orientasi universitas. Setidaknya, kapitalisme akademis dapat dideskripsikan sebagai kecenderungan umum dari perguruan tinggi dengan re-orientasi pada akumulasi profit dalam pendidikan dan bidang penelitian. Deskripsi ini cukup representatif dari berbagai referensi yang membahas rupa kapitalisme dalam pendidikan tinggi.

Mengutip Bob Jessop[1], kapitalisme akademis memiliki tiga dasar penopangnya: Kapitalisme akademis didasari oleh paradigma knowledge-based economy[2], sebagaimana perwujudan dari transisi fordisme menuju pasca-fordisme[3]; 2. Neoliberalisme melalui finansialisasi dan kebangkitan ekonomi berbasis rezim dominasi keuangan; dan 3. Subsidi negara dalam bidang pendidikan publik yang terpotong disebabkan oleh krisis keuangan yang telah berlalu. Keseluruhan dari muatan-muatan kapitalisme akademis telah termuat dalam UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. UU itulah yang kemudian menyulap perguruan tinggi menjelma Private entreprise atau selayaknya korporasi (Baca: Korporatisasi) dengan orientasi akumulasi profit.

Pasca Unhas mengemban otonomi melalui PTN-BH, segala sesuatu yang berada dalam kampus telah dihakmiliki menjadi aset kekayaan kecuali tanah yang masih berada di bawah kekuasaan negara. Aset kekayaan ini merupakan kapital awal untuk mereproduksi profit di samping terpotongnya subsidi negara. Di sisi lain, re-orientasi kepada profit juga tidak dapat terelakkan mengingat universitas memiliki dana abadi sebagai kekayaan yang diakumulasi. Oleh karenanya, logika akumulasi profit mengintegral dalam logika universitas. Memaknai universitas hanya sebagai lahan dari kapital untuk menyemai profit adalah keliru, sebab universitas merupakan sekaligus kapital itu sendiri dan juga berproduksi dan mengakumulasi profitnya sendiri. Pemaknaan inilah yang kerap dikonsepkan pada istilah universitas neoliberal.

Sebagaimana kontruksi universitas yang telah berubah, gagasan mengenai ‘kewirausahaan’ atau entrepreneurialism menjadi kecenderungan yang mutlak. Namun di sini, kewirausahaan tak lainnya adalah diskrusus atau ideologi. Diskursus ini adalah ‘nafas’ dari kapitalisme neoliberal. Konstruksi kapitalisme akademis menyetel universitas agar dapat bertahan melalui ‘kewirausahaan’.

PR ORMAWA, Kewirausahaan dan Universitas Neoliberal

Kembali ke PR ORMAWA, sebagaimana norma hukum memiliki fungsi sosial yang dominan untuk mengontrol ‘tubuh’, kehadirannya merupakan modus normalisasi dan pendisiplinan tubuh lembaga mahasiswa. Pada intinya, syarat dari iklim kondusif investasi adalah adanya stabilitas politik dan keamanan, maka PR ORMAWA ditujukan sebagai daya rekat untuk mengontrol subjek lembaga mahasiswa. Namun menyoal normalisasi dan pendisiplinan tidak hanya menyoal pemangkasan otonomi dan pembatasan ruang gerak lembaga mahasiswa, tetapi juga bagaimana menggiring subjek mahasiswa untuk berwirausaha dan berproduksi dalam kompetisi.

Kewirausahaan menjadi muatan PR ORMAWA dalam Pasal 3 butir a dan 9 ayat (1), serta pemberian sanksi dan penghargaan yang pada ujungnya bermoduskan agar lembaga mahasiswa harus berkompetisi. Kewirausahaan dan kompetisi setidaknya menempati bagian dari tujuan dan landasan kegiatan lembaga mahasiswa. PR ORMAWA menyirat siasat agar bagaimana lembaga mahasiswa ‘bewirausaha’ sekaligus berkompetisi dalam memproduksi sesuatu yang dapat dikapitalisasi. Lantas apa yang sebenarnya mahasiswa produksi? Ia memproduksi penemuan-penemuan yang kemudian dapat dipatenkan oleh korporasi atau Unhas sendiri, mencetak akreditasi-akreditasi fakultas bagi universitas melalui prestasi-prestasi, atau bahkan cukup untuk mengonsentrasikan diri pada percepatan masa kuliah (memproduksi dirinya sendiri sebagai human capital[4]) dan kemudian terjun di pasar tenaga kerja secepatnya. Karena pada intinya, kader-kader pekerja rendahan dari korporasi di masa depan menemukan lumbungnya di universitas (mahasiswa).

Baik kewirausahaan dan kompetisi, merupakan karakteristik mendasar dalam neoliberalisme. Michel Foucault memberikan perbedaan subjek manusia ekonomi (Homo Economicus) dalam kerangka liberalisme klasik dan neoliberalisme. Foucault telah membahas kerangka liberalisme klasik dicirikan sebagai masyarakat yang bertumpu pada pertukaran. Sedangkan neoliberalismemenempatkan aktivitas ekonomi dalam matriks dalam masyarakat bukan lagi pada pertukaran, melainkan kompetisi.[5]

Neoliberalisme, oleh kerangka konseptual Foucault, bukan hanya sekedar moda berjalannya suatu negara serta ekonomi tetapi juga bagaimana individu memerintah dirinya atau memerintah ‘lakunya’. Dalam artian, neoliberalisme menyubjeksi ke setiap individu dalam masyarakat agar dapat bertahan dalam ketidakpastian kompetisi. Mendorong individu-individu mengalkulasi setiap keuntungan, kerugian serta kontribusi yang menciptakan nilai. Sebagaimana dipetik dari Foucault, Manusia ekonomi adalah wirausaha, wirausahawan atas dirinya sendiri! (Homo Economicus is entrepreneur, an entrepreneur of himself).[6]

Manifestasi ini tentu sebagai bagian konfigurasi kapitalisme akademis dalam universitas. Melalui PR ORMAWA, ‘kewirausahaan’ sebagai diskursus dominan dalam kerangka ekonomi politik universitas disubjeksi pada lembaga mahasiswa. PR ORMAWA adalah salah satu medium produksi mahasiswa sebagai subjek neoliberal. Imbasnya, otonomi yang telah dipangkas sedemikian rupa, ruang gerak terkontrol serta pengalihan aktivitas mahasiswa dalam berlembaga. Maka dari itu, benang merahnya terletak pada: Unhas sebagai universitas neoliberal.

Sederhananya, mengapa kewirausahaan memuat dalam PR ORMAWA? Tentunya, sebab Unhas adalah universitas entrepreneurial! Sebab Unhas adalah dan sangatlah neoliberal!  Unhas?! Berkarakter Kewirausahaan Maritim!

***

[1] Bob Jessop (2018) On academic capitalism, Critical Policy Studies, 12:1, 104-109, DOI: 10.1080/19460171.2017.1403342

[2] Knowledge-Based Economy, yang dapat dipadankan pada istilah kapitalisme kognitif, merupakan modus kapitalisme dalam tahap perkembangan lanjut dengan mengapitalisasi kognisi sebagai penunjang produksi nilai dan akumulasi kapital. Kognisi berupa intelektualitas, kreativitas, inovasi, rasa, komunikasi, bahasa, serta lainnya menjadi penopang produksi di era pasca-industrial. Hal ini juga kemudian berimplikasi pada kebutuhan atau permintaan pasar tenaga kerja akan knowledgeable workers atau pekerja berpengetahuan.

[3] Pasca-Fordisme atau dapat pula dipadankan pada istilah Pasca-Industrial, merupakan re-organisasi moda produksi dari kapitalisme, dari produksi berbasis manufaktur menjadi berbasiskan fleksibilitas. Pasca-Fordisme ditandai dengan kompetisi serta tidak terhambatnya arus pasar global, fleksibilitas produksi, mendominasinya knowledgeable workers, konsumsi individual, serta lainnya.

[4] Human Capital hanya merupakan pengganti istilah dari Pekerja/Buruh. Tidak lebih, istilah ini sekeddar eufemisme dari konstruksi subjektivitas di era kapitalisme neoliberal. Penggunaan istilah human capital adalah bagian dari bagaimana mengaburkan antara kesenjangan pemilik modal/majikan dan pekerja/buruh.

[5] Jason Read (2009) A Genealogy of Homo Economicus: Neoliberalism and the Production of Subjectivity, Foucault Studies, No. 6, pp. 23-36

[6] Ibid. 27


Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Previous Matinya Kesadaran Pemuda Jaman Now
Next Bersetubuhnya Universitas & OKP: Pembinaan Ideologi Bangsa dan Agenda Pemberhalaan Negara

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *