Oleh: Mumuck
Do you know we are being led to slaughters by placid admirals & that fat slow generals are getting obscene on young blood? Do you know we are ruled by T.V.? The moon is a dry blood beast. Guerilla bands are rolling numbers in the next block of green vine amassing for warfare on innocent herdsmen who are just dying…
– Petik sajak Jim Morrison dalam An American Prayer
Sekilas, tahun ini adalah tahun politik. Satu tahun menjelang, sebagaimana muatan-muatan penyiaran media korporat, narasi-narasi klise mengenai rakyat yang akan berpesta atas demokrasi ilusifnya kembali menjamur dimana-mana. Setidaknya, ada berbagai Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang memiliki beribu kepala untuk diserahkan kepada salah satu di antara kandidat Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi pada pemilu borjuis nanti, telah ‘dihadiahkan’ legitimasi di perguruan tinggi.[1]
Diluncurkan pada 29 Oktober 2018 lalu, terbitnya Permenristikdikti No. 55 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Ideologi Bangsa akan menyinergikan kembali peran perguruan tinggi, OKP dan negara. Peran strategis ini tidak lain: Memagari gagasan, diskursus atau ideologi yang berkembang, mencaplok serta menggantikannya dengan Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan rupa-rupa lainya. Pasal 1 dari peraturan ini bahkan kurang lebih berbunyi, Perguruan tinggi bertanggungjawab melakukan pembinaan ideologi bangsa, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kokurikuler, intrakurikuler, dan ekstrakurikuler.[2]
Terbitnya peraturan ini, khususnya di Unhas, tentu berimplikasi akan kemungkinan dirombaknya Pasal 2 ayat (2) dalam PR ORMAWA mengenai larangan afiliasi organisasi eksternal. Lebih mengerucutnya, agenda Pembinaan Ideologi Bangsa akan direalisasikan dengan Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM PIB) melalui kolaborasi rentetan OKP dan universitas sendiri. Peraturan ini pula beranjak dari bagaimana upaya negara oleh universitas untuk memangkas diskursus-diskursus yang dapat ‘menganggu’ eksistensi kedaulatan.
Seperti yang disinggung pada paragraf awal, motif dan modus politik praktis dari terbitnya Permenristekdikti No. 55 Tahun 2018 bukanlah titik berangkat dari tulisan ini. Begitupun tentang bagaimana OKP berpolitik praktis dengan ‘menyerahkan’ beribu kepala anggotanya kepada kandidat-kandidatnya. Lagi pula peraturan ini, secara eksplisit melarang politik praktis. Namun tak dapat dipungkiri juga, praktik dari politik praktis dalam kampus (Baca: Oleh Mahasiswa) memang tak pernah ditunjukkan secara eksplisit, bukan?!
Tulisan ini tidak lebih hanya sekedar elaborasi dari beberapa kerangka konseptual mengenai ideologi dan kedaulatan negara, serta peranan universitas dalam mempertahankan status-quo kekuasaan dari kedaulatan.
Universitas dan Agenda Statolatry
Kekuasaan negara tidaklah terkonsentrasi pada satu titik. Ia berjejaring dan menjangkar dimana-mana melalui hegemoni, sebagaimana konsep Antonio Gramsci tentang negara. Oleh kerangka teoritis mengenai hegemoni negara, Gramsci menjadi salah satu pemikir yang memuat konsep Statolatry sebagai bagian kerangka teoritisnya. Hegemoni tidak lainnya adalah perluasan atau ekspansi kekuasaan negara pada jangkauan yang sebelumnya merupakan wilayah-wilayah non-politis. Namun, dimanakah wilayah-wilayah nonpolitis itu? Di antaranya adalah kebudayaan[3], seni, ilmu pengetahuan dan lainnya.
Hegemoni negara sendiri memiliki tujuan utamanya: terciptanya ikatan yang utuh antara negara dan warga serta kepatuhan atas kedaulatan. Melalui hegemoni, masyarakat diorganisasikan ke dalam keutuhan institusi negara yang sempurna dengan kepemimpinan kultural, intelektual dan moral. Hegemoni bukanlah sekedar dominasi, melainkan arah berdasarkan kepemimpinan yang baik secara sadar atau tidak disepakati dalam masyarakat.[4]
Buah dari hegemoni tidak lain adalah statolatry. Istilah ini terdiri dari gabungan kata antara State+Idolatry (Negara+Pemberhalaan) yang merujuk pada konsep dan sikap negara-sentrisme oleh warga terhadap kedaulatan negara. Dengan statolatry, eksistensi kedaulatan negara menjadi suatu hal yang sifatnya metafisik, teologis dan tansendental. Keberadaan negara secara spontan terkultuskan melalui mistifikasi sejarah pahlawan masa lalu dan kemudian menjadi tak terbantahkan sama sekali. Implikasinya, memori maupun imajinasi akan masyarakat tanpa negara adalah nihil dan yang lebih parah, pengontrolan akan diskursus atau ideologi menjadi keharusan yang mutlak di bawah bendera kedaulatan.
Agar status-quo kedaulatan tetap terjamin, maka instrumen ideologi dominan (Ruling ideology) megambil bagian sebagai penopangnya melalui aparatus. Louis Althusser merujuk rupa aparatus ini sebagai aparatus ideologis negara. Aparatus ini tersebar pada hampir di setiap titik: Tempat peribadatan, pemakaman, klub olahraga, pendidikan, partai politik, media massa serta lainnya.[5] Aparatus ini berbeda dengan rupa aparatus represif dengan instrumen kekerasannya (Militer, polisi, pengadilan, dan seterusnya) sebagai suatu aparatus negara yang lain. Ia bahkan tampak bekerja tanpa adanya kekerasan, mengonstruksi tataran imajiner, kesadaran dan hal non-material lainnya.
Namun bagaimana posisi universitas sebenarnya? Tentu, ia adalah salah satu penunjang status-quo sistem. Michel Foucault merujuk posisinya sebagai microphysis kekuasaan melalui proses pendidikan.[6] Kekuasaan negara juga menjangkar di universitas sebagai institusi poros intelektualitas dan ilmu pengetahuan. Melalui pendidikan, ideologi dominan disubjeksi ke dalam kurikulum perkuliahan, aktivitas intelektual, seminar-seminar ilmiah, dan bahkan pada kehidupan keseharian kampus. Universitas melalui jajaran akademisi dan guru besarnya merupakan sarang dari Think-Tank untuk merasionalisasi keberadaan kedaulatan negara, penyedia justifikasi ilmiah dan yuridis akan kebijakan-kebijakan pemerintah, riset-riset saintifik, serta lainnya.
Dengan adanya agenda Pembinaan Ideologi Bangsa, yang kemudian diinstitusikan dalam UKM PIB melalui kerjasama dengan OKP, hanya mempertegas posisi universitas dalam jejaring kekuasaan negara. Istilah ‘Pembinaan’ tidak lainnya hanyalah Pengontrolan aktivitas mahasiswa dalam menagkal gagasan dan diskursus yang disinyalir menganggu eksistensi kedaulatan. Dalam artian, potensi universitas sebagai poros intelektualitas untuk mengkritik rezim akan terjebak kungkungan ideologi dominan serta memperhalus pemberhalaan negara (statolatry). Oleh karenanya, universitas hanya akan menjadi tameng dari kekuasaan dalam tataran gagasan, diskursus dan ideologi, di bawah justifikasi ilmiah yang tidak lainnya pula hanyalah dogma pseudo-saintifik terkhusus dalam studi sosial politik.
Merebut Otonomi Kognitif
Lantas bagaimana kemungkinan implikasi dari agenda PIB? Kegiatan mahasiswa dalam mendiskusikan, semisalnya saja mengenai genosida tahun 1965, rentetan pelanggaran HAM oleh negara bagi rakyat Papua, pembacaan dan penulisan atas referensi Marxis, studi-studi radikal ekonomi-politik, aktivitas pengajian dalam masjid, dan lain sebagainya akan diawasi atau bahkan terberangus. Lalu, rangkaian ‘kritisisme’ itu akan digantikan dengan narasi-narasi ideologi dominan. Singkatnya: Negara menjadikan universitas tidak lebihnya hanya sebagai altar penyembahan berhala yang bernama negara!
Dari elaborasi kerangka teoritis tersebut, maka kesimpulan menjijikkan akan dapat ditarik: Universitas hanya merupakan bagian inheren dalam kekuasaan, meski dengan predikat-predikat saintifik palsunya. Walaupun demikian menjijikkanya, aktivitas mahasiswa dalam universitas tetap memiliki potensi untuk mengembangkan diskursus kritis.
Tak perlu ada metafora mengenai mitos identitas mahasiswa dalam masyarakat, sejauh otonomi kognitif tetap diemban meskipun semakin menyusut, kritisisme harus tetap terjaga. Untuk segala tradisi kritisisme yang telah dirangkai, tradisi itu patut untuk dipertahankan. Bahkan dengan mencaploknya ideologi dominan, pengembangan dari tradisi itu adalah keharusan. Narasi absolutisme rezim atau bahkan kedaulatan negara, tetap harus diresistensi walau melalui kegiatan diskusi, kepenulisan, aksi massa dan sebagainya.
Sebagai penutup, kepada rentetan OKP yang telah dihadiahkan ruang istimewa oleh negara dalam universitas serta jika kedepannya Unit Kegiatan Mahasiswa Pembinaan Ideologi Bangsa telah didirikan, tulisan ini merupakan ucapan selamat datang! Semoga pemberhalaan kepada negara dalam altar yang bernama universitas ini semakin khusyuk!
***
[1] Rangkaian kalimat ini hanya merupakan sarkasme. Mengenai OKP, bahkan tidak menjadi rahasia umum lagi bahwa ia adalah organisasi yang sangat rentan akan pragmatisme politik praktis. Mengultusnya relasi kakanda-adinda sebagai kultur bobrok dapat menjadi komoditas politik untuk mengakumulasi suara dalam pemilu bagi kakanda yang akan bergulat dalam pemilu, pemilukada maupun pileg. Fenomena penandatanganan kontrak politik pengurus wilayah atau komisariat OKP tertentu dalam tahun politik adalah salah satu perwujudan kultur bobroknya. Setidaknya pun, kesimpulan awal dapat ditarik sementara untuk menghindari tuduhan over-generalisasi sebagaimana gerutu para anggota OKP jika membaca tulisan ini.
[2] Ristekdikti.go.id. (2018). Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM PIB) akan Dibentuk di Perguruan Tinggi. URL: https://www.ristekdikti.go.id/kabar/unit-kegiatan-mahasiswa-pengawal-ideologi-bangsa-ukm-pib-akan-dibentuk-di-perguruan-tinggi/ Diakses 31 Oktober 2018 Pukul 01.10
[3] Hizkia Yosie P. (2014). Asal-Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis Atas Hasrat Mikrofasis Bernegara. Depok: Kepik, hlm. 85
[4] A.M. Brighenti. (2016). Antonio Gramsci’s Theory of the Civil Society. S. Moebius et al. (Hrsg), Handbuch Kultursoziologie, DOI 10.1007/978-3-658-08000-6_72-1, hlm. 4
[5] Louis Althusser. (2004). Ideology and Ideological State Apparatuses. Literary Theory: An Anthology Blackwell (Second Edition), hlm. 696
[6] P Sunu Hardiyanta. (2016). Michel Foucault: Disiplin Tubuh Bengkel Individu Modern. Yogyakarta: LKiS, hlm. 33
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
No Comment