Oleh: Farid Baharuddin
Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pemuda adalah tonggak peradaban suatu bangsa. Dengan usia yang begitu produktif, ia memiliki kekuatan dalam meggerakkan massa ke arah yang lebih baik. Lembaran sejarah membuktikan jika setiap perubahan di berbagai fase kepemimpinan di negeri ini selalu digerakkan oleh para pemuda.
Jika kita mengamati, kesadaran pemuda dalam bergerak tidaklah muncul seketika laksana ombak yang berderu ke tepi pantai. Namun hal tersebut melewati proses yang panjang dimana terjadinya penjajahan dan perampasan hak atas kehidupan mereka – mulai fase penjajahan kolonial hingga fase orde baru – sehingga terpantiklah kesadaran mereka untuk berjuang dengan dinamis, dialektis, dan romantis.
Gambaran Historis
Sebelum terlalu jauh, penulis mengajak para pembaca untuk menengok kembali catatan historis mengenai sejarah pergerakan pemuda. Saat Belanda menjajah negeri ini, ia menerapkan beragam cara antara lain VOC (1602) sebagai jembatan dalam berdagang, politik adu domba (devide et impera) yang secara substansial ingin membuat pertempuran antara satu kerajaan dan kerajaan yang lain, sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) suatu kebijakan yang dikeluarkan Gubernur Jendral Johannes Van Bosch (1830), dan politik etis atau kerap disebut politik balas budi (Drs. Sudiyoso, Pergerakan Nasional, 2004: 7-8).
Dari bentuk represi di atas, sistem tanam paksalah (1830-1870) yang paling mencekik urat nadi rakyat. Kebijakan ini lahir lantaran terjadinya pemberontakan yang cukup besar di Jawa yaitu Perang Diponegoro yang mengakibatkan Belanda harus menelan pil pahit karena harus kehilangan prajurit dan biaya persenjataan yang begitu besar. Untuk mengembalikan biaya tersebut, Belanda – melalui kebijakan ini – lebih menaruh perhatian di bidang perkebunan dan pertanian, mengingat negeri ini merupakan negeri agraria yang kaya akan rempah-rempah.
Untuk mengeruk keuntungannya, Belanda harus merampas tanah petani (lebih dari 1/5 tanah), mempekerjakan rakyat tanpa diberi upah dengan tanaman yang sesuai kebutuhan pasar internasional dan dijarah keluar. Tak selang berapa lama, negeri kincir anginpun menjadi makmur di mata dunia. Tan Malaka dalam bukunya Aksi Massa yang mengungkapkan, jika dulunya Belanda hanya negeri kecil “tetapi bangsa Belanda datang ke Indonesia dan balik ke negerinya dengan karung yang penuh berisi” (Tan Malaka, 1926:37).
Kebijakan Cultuurstelsel berakhir pada 1870 namun dihapusnya sistem ini bukan berarti berkurangnya penghisapan atas rakyat. Sistem ini kemudian berganti jubah dengan sistem penghisapan yang lebih modern tapi lebih intensif dan sistematis (M.R Siregar, 2000:17) dimana Belanda mengeluarkan kebijakan politik etis sebagai propaganda balas budi Belanda yang diantaranya edukasi, irigasi, dan imigrasi.
Terpantiknya Kesadaran Pemuda pada Masa Kolonial
Pada masa politik etis, kebijakan edukasi pada dasarnya tidaklah bertujuan untuk mengembangkan taraf kebudayaan rakyat secara menyeluruh. Terbukti pendidikan kala itu tidaklah diperuntukkan bagi kelas menengah ke bawah, namun pendidikan hanya dapat dirasakan oleh kalangan priyayi. Selain itu, secara esensi pendidikan Belanda hanya bertujuan agar pemuda pelajar dapat mengoperasikan sistem dari kebijakan yang diterapkan Belanda. Sekolah-sekolah yang terbentuk seperti pendidikan di bidang kesehatan (STOVIA), hukum admininstrasi (Rechts School), (Hoofdenschool) sekolah yang nantinya mendidik bumi putra sebagai pamong praja, dan beragam sekolah lainnya.
Kondisi inilah yang membuat pemuda mulai terdidik dan akhirnya menjadi cikal bakal perjuangan. Mereka ibarat rumput liar yang kehadirannya tak dapat terhindarkan, tak diinginkan, dan siap menjalar di berbagai taman (maju dan bergerak). Secara gegap gempita mereka menyatukan kesadaran politiknya dengan membentuk organisasi Boedi Oetomo (1908) sebagai organisasi pemuda pertama di negeri ini.
Praktis hal tersebut memantik kesadaran rakyat untuk memperkaya organisasi lain seperti Vereniging van Spoor-en Tram Personeel (VSTP) dibentuk pada 1908 merupakan organisasi pemuda buruh kereta api, Sarekat Islam (dulunya Sarekat Dagang Islam) yang bergerak dalam perjuangan politik islam dan dipimpin oleh H.O.S Cokroaminoto. Dari rahim pemikiran beliaulah nantinya lahir beragam pemuda revolusioner dengan pemikiran variatif seperti Semaoen dan Musso (ekstrim kiri komunis), Soekarno (nasionalis), Kartosuwiryo (ekstrim kanan/islam radikal).
Meski kala itu pemuda mendapat represi dari pemerintah Belanda – bahkan banyak yang dipenjarakan dan dibuang, hal tersebut tidak memadamkan api semangat juangnya. Hingga para pemuda dari berbagai penjuru mulai menunjukkan taringnya dengan melontarkan Sumpah Pemuda yang menekankan jika mereka berbangsa, bertanah air & berbahasa satu.
Gerakan Pemuda Jaman Old pada Masa Orde Lama & Baru
Pada zaman orde-lama, Bung Karno memiliki doktrin NASAKOM sebagai warna politiknya yang bertujuan memutus mata rantai sistem penjajahan NEKOLIM. Praktis organisasi politik dan kebudayaan yang tidak berpihak pada perjuangan revolusi akan dicap sebagai musuh revolusioner (Toer, 14:200) dan kerap mendapatkan perlakuan represi oleh pemerintah kala itu. Satu diantaranya ialah Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang menjadi sasaran teror dari massa golongan kiri (PKI) sehingga pemerintahan Soekarno harus menenggelamkan Manikebu sebagai wadah sastrawan anti-kiri kala itu.
Dalam buku Salim Said, Gestapu 65 ia menjelaskan Setelah Manikebu dilarang oleh Soekarno pada 1964, para pendukungnyapun menjadi sasaran pengganyangan (Said, 2015:34). Situasi ini diperparah dengan naiknya harga bahan pokok, sehingga mahasiswa dan beberapa golongan politik oposisi Nasakom melakukan unjuk rasa dengan tuntutan TRITURA – Bubarkan PKI, Rombak Kabinet Dwikora, dan Turunkan harga – yang mengakibatkan pemerintahan orde lama tumbang dan masuknya orde baru dengan harapan kepemimpinan lebih baik.
Dalam tiga dekade berkuasa, kekuasaan orde baru telah membungkam kesadaran berdemokrasi para pemuda dengan moncong senjata. Instrumen militer tidak lagi bekerja sebagai alat pertahanan teritorial melainkan untuk mengintimidasi pemuda yang kritis. Terbukti di awal pmerintahan orde baru, mahasiswa menggelar demonstrasi yang mengkritik keberpihakan pemerintah terhadap kemajuan pengusaha Cina, namun di sisi lain pengusaha pribumi banyak gulung tikar (Zulkarnain,2012:122). Aksi ini kemudian dinamai Malapetaka Lima Belas Januari (Malari 1974).
Belajar dari aksi tersebutlah, pemerintah orde baru – melalui Menteri Pedidikan kala itu, Daoed Joesoef – mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Seacara substansil, kebijakan ini bertujuan agar mahasiswa tidak lagi berada pada poros tengah (pengontrol pemerintah) melainkan hanya mengurusi persoalan akademik, sehingga terjadi depolitisasi dan deideologisasi di tubuh pemuda mahasiswa kala itu.
Namun, kebijkan tersebut tidaklah membuat mahasiswa bungkam, melainkan semakin tumbuh kesadarannya untuk memperjuangkan hak demokrasinya. Sehingga pada tahun 1998 menjadi saksi sejarah bagaimana para pemuda (Mahasiswa, Buruh, petani, bahkan akademisi muda) berkumpul untuk meneriakkan reformasi untuk kehidupan berbangsa yang lebih baik dan jauh dari sistem yang fasis.
Refleksi Pemuda Jaman Now dan Pemuja Tik Tok
Di era reformasi saat ini, para pemuda seakan dininabobokan dengan beragam instrumen yang ada. Mereka seakan alergi dengan hal yang berbau persoalan politik perjuangan. Bahkan jika seandainya terdapat pergerakan yang didominasi oleh pemuda, gerakan tersebut hanya sebatas politik identitas (SARA) dan tidak masuk pada tataran perjuangan substansial. Hemat penulis, kekuatan mereka hanya digerakkan oleh kelompok politik tertentu untuk melawan oposisi mereka, sehingga mereka tidak lagi disandangkan sebagai social control.
Penulis melihat salah satu instrumen yang didesain untuk membungkam para pemuda, ialah media perfilman (sebagai corong kebudayaan). Siaran TV indonesia seakan lebih concern pada sinetron yang bernuansa asmara para remaja, horor/mistik, kekerasan para remaja, dan beragam tetek bengek lainnya. Sehingga hal tersebut menjadi hegemoni sosial, lalu tertanamkan secara psikologis, sehingga menjadi karakter dari pada anak-anak dan pemuda jaman now, pemuja Tik Tok[1] atau dalam istilah Bourdieu disebut Kelas Populer[2] (Nanang:2012).
Parahnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), seakan memberikan panggung besar untuk para pesinetron yang arahnya dapat merasuki jiwa para penikmat film. Padahal, KPI tentunya memiliki power untuk menyaring film apa saja yang produktif dan layak untuk dikonsumsi agar masyarakat dapat meningkatkan taraf kebudayaan mereka.
Untuk itu penulis melihat keadaan sosialah yang menentukan maju kembangnya kesadaran pemuda. Dulu, keadaan Indonesia terjajah secara fisik – seperti penjelasan di atas, namun kini penjajahan telah bertransformasi secara halus namun memiliki daya pukul yang lebih kuat secara psikologis. Sayangnya keadaan objektif tersebut tertutupi oleh intrumen perfilman – dengan tujuan menidurkan kesadaran pemuda. Olehnya, pemuda mesti selalu mawas untuk mempertajam kesadarannya lalu merenungkan, jika memang dunia perfilman hanya fokus pada sinetron asmara. Akankah kita ikut pada arus? Atau memberontak dengan menyuguhkan bacaan/film alternatif dan memilki nilai sosio-politik perjuangan?
Catatan Kaki
[1] Tik Tok merupakan istilah Pemuja Jejaring sosial semisal Instagram atau Facebook yang mempertontonkan video tarian dan nyanyian sebagai ekpresi eksistensi mereka.
[2] Kelas Populer dalam istilah Bourdieu ialah suatu kelas yang kurang menguasai modal budaya dan modal simbolik sehingga masyarakat yang berada pada posisi sosial kelas populer hanya dijadikan objek dari Kelas Dominan (posisi strategis pada struktur sosial masyarakat) untuk mempopulerkan habitus dari kelas dominan.
Bibliografi
- Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Ide Sosiolgi Pendidikan oleh Piere Bourdieu. Jakarta. Prajagrafiindo Persada. 2012
- Said, Salim. Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto. Bandung. Mizan. Terbitan Pertama 2015
- Siregar. Menentukan Nasib Sendiri Versus Imprealime. Medan.Sumatra Human Rights Watch Network (SHRWN). 2000.
- Sudiyoso. Pergerakan Nasional: Mencepai & Memperthankan Kemerdekaan. Jakarta. PT. Rineka Cipta. 2004.
- TanMalaka Aksi Massa. Yogyakarta. Narasi. . Dituliskan pada 1926 dan dicetak oleh Penerbit Narasi pada 2013.
- Toer, Pramoedya Ananta. Realisme soialis dan Sastra Indonesia. Jakarta. Lentera Dipantara. Cetakan I 2003.
- Zulkarnain. Pare dan Catatan Tak Usai: Pergolakan Mahasiswa & Spirit Kampung Bahasa Pare. Makassar. Phisophia Cafe. 2012
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasanuddin Prodi Studi Bahasa Inggris
[…] https://www.catatankaki.org/2018/10/25/matinya-kesadaran-pemuda-jaman-now/ […]