Apa itu waktu? Apakah waktu ialah juntaian garis linear yang terbagi tiga menjadi lampau, kini, dan nanti. Ataukah suatu hal yang tak perlu diberi babak karena semata-mata ilusi rekaan otak. Apakah waktu serupa sungai yang mengalir dari hulu ke hilir. Ataukah diam tanpa laku, namun nyata layaknya batu. Apapun konsep waktu yang kaupercaya, Teater Garasi akan membuatmu bertanya-tanya kembali. Lewat salah satu kalimat pembuka, “Yang memisah tadi dan nanti, kemarin dan besok, hari ini, sekarang, untuk apa?” penonton diajak membongkar konsep waktu yang ada di kepala dan menyusunnya satu demi satu seiring keberjalanan pertunjukan.
Waktu pada pertunjukan “Waktu Batu. Rumah yang Terbakar” (WB.RyT) ini mengambil wujud sebagai Kala. Raksasa penguasa waktu, pemakan segala. Ia hadir dengan satu misi. “Agar kau tak menikahi ibumu. Agar kau tak menikahi anakmu,” kata para aktor dengan pose masing-masing di atas panggung. Memperjelas intensi Kala, yakni memutuskan hubungan Watugunung dengan ibunya.
Kemudian dengan gerak aneh lagi ganjil, para aktor menyapa penonton. Lalu musik ala video game 16 bit terputar di latar. Terdapat delapan aktor yang saya perhatikan bergerak lebih aneh lagi. Seorang lagi duduk menyendiri tepat di sudut luar panggung. Berjalan layaknya NPC (Non-Playable Character), mereka kesana-kemari memunguti properti yang tersebar di luar panggung yang miring—mungkin 15 derajat—menghadap penonton. Seorang aktor sempat terlihat berusaha berjalan melewati sofa, alih-alih menghindarinya, ia malah meneruskan gerakan berjalan yang kaku meskipun tersangkut sofa. Efek glitch itu menambah kuat kesan video game di pertunjukkan ini. Properti-properti itu mereka letakkan satu per satu di atas panggung, sebelum akhirnya musik ala video game 16 bit itu digantikan suara robotik penanda kelanjutan adegan selanjutnya.
Hadir di Benteng Rotterdam, Makassar, pada tanggal 5 dan 6 Desember 2023, Teater Garasi menjahit tiga mitologi Jawa, yakni Watugunung, Murwakala, dan Sudamala menjadi satu karya seni pertunjukan yang menyilangmediakan teater, video game, dan sinematografi. Karya Teater Garasi yang satu ini merupakan versi ke-4 dari proyek panjang Waktu Batu, proyek yang sudah digagas sejak tahun 2001.
Digarap berdasarkan naskah yang ditulis oleh Alm. Gunawan Maryanto, Andre Nur Latif, dan Ugoran Prasad, pertunjukan ini direkontekstualisasi dengan isu kontemporer global dan situasi terkini di Indonesia yang marak akan pemodal koersif yang merusak alam. Berbeda dengan Waktu Batu versi sebelumnya yang mengangkat diskursus tentang sejarah, kolonialisme, dan gempa modernitas, WB.RyT mengangkat duka ekologis (ecological grief) yang menukik menjadi murka ekologis (ecological rage) sebagai fokus tematiknya.
Disutradarai oleh Yudi Ahmad Tajudin, versi ke-4 Waktu Batu kali ini berkolaborasi dengan seniman-seniman lintas disiplin (Majelis Lidah Berduri, Mella Jaarsma, Deden Bulqini, Tomy Herseta, Rimbawan Gerilya, A. Semali, Retno Ratih Damayanti, Yennu Ariendra) dan para performer lintas generasi (Ari Dwiyanto, Erythrina Baskoro, Arsita Iswardhani, Tomomi Yokosuka, Enji Sekar, Wijil Rachmadhani, Putu Alit Panca Nugraha, Syamsul Arifin, dan Putri Lestari).
Gemuruh mesin derek pelabuhan peti kemas di luar Benteng Rotterdam turut menemani para penonton memahami betapa kapitalisme telah menyebabkan duka ekologis meraung di seantero bumi. Dimulai dari dapur, penonton distimulasi untuk merasakan duka itu dan mengenali siapa yang punya andil dalam kedukaan ini. Dan siapa yang pantas dicambuk dengan kemurkaan yang mengikutinya.
Berbekal apa yang berhasil saya rekam dalam memori dan catat di atas kertas, saya—yang kurang memiliki pengetahuan tentang mitologi Jawa—akan menguraikan apa yang telah saya cerap pada pertunjukkan WB.RyT ini.
IBU PERTIWI SELALU PEKA DAN PEMARAH, NAMUN KAPITALISME TERLALU BUTA DAN SERAKAH
Dewa Siwa dengan birahi yang memuncak memaksa Uma untuk bersenggama dengannya. Uma menolak, ia tak ingin bercinta dengan Dewa Siwa. Dewa Siwa berang. Uma dikutuknya menjadi Durga. Durga yang semulanya Uma gusar menanti kutukannya dicabut kembali. Ribuan tahun penantian ia lalui sambil melihat bumi yang kian hari kian tercemar. Begitulah latar belakang cerita kemunculan Durga.
Durga di WB.RyT digambarkan sebagai perempuan terkutuk berkostum jubah yang sekujurnya menempel beragam sampah, kebanyakan plastik. Sepanjang pertunjukan, ia selalu terlihat ketus. Ia nampak sebagai sosok menyeramkan yang kerap mengutuk-ngutuk apa yang disebutnya sebagai belukar gelap. “Kutukan yang sempat tak kupahami. Sebagai belukar gelap, setan dan haram jadah datang dan pergi, memasukiku tanpa permisi. Setiap kali mereka datang, mereka membawa parang, menggali lubang, menebang jeratan-jeratanmu di kaki-kakiku,” ujar Durga geram. Senandika ini mau tidak mau membuat saya mengasosiasikan Durga sebagai Ibu Pertiwi (mother nature), dan belukar gelap sebagai kapitalisme. Kapitalisme, selalu tanpa permisi, masuk lalu merusak Ibu Pertiwi. Ibu Pertiwi bukannya pasrah, ia tidak pernah pasrah. Ia selalu peka dan kerap menunjukkan amarahnya lewat bencana-bencana alam. Namun, kapitalisme layaknya setan dan haram jadah tetap saja menampakkan sifat desktruktif mereka. Menunjukkan betapa buta dan serakahnya mereka.
Mark Fisher dalam bukunya Capitalist Realism, mengatakan bahwa seiring dengan bertambah buruknya krisis iklim yang disebabkan oleh kapitalisme, kini kepentingan korporasi besar ialah mengadopsi paham-paham enviromentalisme—bukan sebagai langkah untuk memperbaiki apa yang telah mereka rusak, melainkan untuk mempertahankan sistem yang menjadi tempat mereka menapak.
Pertanyaan yang kemudian muncul di benak saya adalah, mengapa alam kerap dipersonifikasi sebagai perempuan? Lewat adegan percakapan dapur, saya menyimpulkan bahwa yang paling memungkinkan untuk memiliki perasaan senasib dengan alam adalah perempuan. Keduanya sama-sama dirugikan oleh kapitalisme. Alam dengan sewenang-wenang dipreteli oleh kapitalisme. Pun dengan perempuan, yang oleh kapitalisme, diubah perannya dalam kontruksi perang gender. Transisi menuju kapitalisme telah memicu konflik antar gender, menyeruakkan sistem patriarki dari dalam rawa akumulasi modal.
Hal ini disuarakan oleh banyak perempuan seantero bumi. Silvia Federici salah satunya. Salah satu adegan di WB.RyT memaparkan analisa Silvia Federici dalam bentuk pembacaan oleh pemeran Dewi Sinta, ibu Watugunung. Pembacaan analisa ini timbul tenggelam karena Watugunung yang terus-terusan merengek minta makan. Ibunya yang sedang sibuk meminta Watugunung untuk bersabar terlebih dahulu. Namun, ia tak dapat bersabar. Alhasil, ia patah hati. Sebab dipukul tepat di kepala dengan centong nasi oleh ibunya sendiri. Sejak saat itu pula ia keluar dari rumah dan mengembara. Meninggalkan Dewi Sinta yang menyesali perbuatannya, sebelum pada akhirnya bertemu dan mengawini anaknya sendiri.
MAK, KENAPA KAU MEMUKULKU?
Selepas dipukulnya Watugunung dengan centong nasi, panggung seketika berubah. Gerak aktor kembali ganjil. Bersamaan dengan itu, laser-laser berwarna hijau muncul di tepi depan panggung, mengingatkan saya akan film The Matrix yang dibintangi Keanu Reeves. Jika pada The Matrix waktu bisa dibengkokkan sedemikian rupa hingga menimbulkan efek slow motion, maka pada WB.RyT waktu tercerai-berai, dan membuat para aktor kembali seperti kehilangan programnya, kembali seperti NPC.
“Mengapa aku melukaimu? Mengapa cintaku melukaimu? Kalau saja kepalamu terbuat dari batu, tentu tak akan mengalir darah itu,” sesal Dewi Sinta setelah memukul anaknya.
Di saat empat aktor bergerak layaknya NPC di sisi kanan panggung, di sisi kiri panggung terjadi adegan berbeda. Kala bersama dua aktor lain duduk dan makan bersama di atas meja makan. Sementara itu di tengahnya terdapat layar vertikal yang menampilkan ekosistem bawah laut. Indah dan memukau ala iklan pariwisata.
Di atas meja makan Kala terus-menerus ditanyai oleh kedua teman ngobrolnya, apa yang tengah ia gambar. Kala pun menjawabnya dengan bermacam-macam jawaban. Siang, malam, laut, langit, kekuasaan, aspal, jalan raya pos sepanjang 1000 km, paradigma Cartesian, pemindahan ibu kota negara, karbon monoksida, adalah beberapa jawaban Kala. Sembari menjejalkan makanan ke mulutnya, ia juga berusaha mencerna konsep-konsep itu. Dengan meja makan yang beberapa kali meluncur ke bawah hingga hampir keluar panggung, sebelum akhirnya ditahan oleh seorang aktor dan seorang kru—hal ini disengaja.
Dari sekian banyak jawaban Kala, tiga jawaban terakhir menarik perhatian saya. Kala menjawab, ia sedang menggambar waktu istirahat, cara mengisi waktu istirahat, dan cara menjual waktu istirahat. Kala Sang Waktu memikirkan waktu istirahat. Menggelikan. Tapi di sisi lain mengerikan. Mengapa demikian? Pertama, Bila yang ditampilkan pada layar yang berdiri di tengah panggung adalah benar iklan pariwisata, maka wajar saja kita memiliki ketakutan itu. Sebab penetrasi modal telah merasuk pada setiap sendi-sendi kehidupan, dengan motif memperoleh keuntungan, bukan tidak mungkin ibu pertiwi dimanfaatkan oleh para pemodal untuk meraup keuntungan lebih melalui “pariwisata”, memanfaatkan kecemasan ekologis kita.
Kedua, apa yang dikatakan Kala sebenarnya sedang terjadi. Waktu istirahat kita dijual, dikomodifikasi. Iklan-iklan berseliweran di mana-mana. TV, internet, jalan raya, lorong-lorong pemukiman padat, hingga lingkungan kampus. Hampir di semua titik, maya maupun nyata, dapat kita jumpai iklan-iklan korporasi besar—belakangan baliho Caleg. Di tengah padatnya aktivitas masyarakat urban yang juga memperkecil waktu istirahat, kita dipaksa meng-click, melihat, dan mencerna produk-produk yang diiklankan.
Hal ini memang mengerikan. Tapi tunggu dulu, sebab permainan baru saja dimulai.
GAME OVER
“Kau sedang menggambar jenis kelaminku!” olok player 1 (Kala/Wisnu) kepada player 2 (Watugunung). Setelah itu player 1 tertawa terbahak-bahak, sebelum akhirnya mengambil posisi untuk bertarung, disusul player 2. Musik ala video game bergenre fighting pun terputar di latar. Aktor ketiga yang tadinya ikut ngobrol soal apa yang digambar Kala, tetiba memecah “dinding keempat” dan mengajak penonton berinteraksi. Ia menginformasikan kepada penonton soal keberadaan tiga joystick yang disebar secara acak di bawah bangku yang akan disorot lampu. Joystick inilah yang nantinya dapat mengontrol pergerakan player 1, player 2, dan satu karakter digital yang terdapat pada layar vertikal.
Tiga bangku terpilih pun tersorot lampu. Aktor tadi melanjutkan panduannya kepada tiga penonton terpilih. Cara kerjanya simpel. Melalui joystick yang digenggam penonton terpilih, mereka dapat memberi instruksi kepada avatar masing-masing. Mereka bertiga dapat memberikan empat macam instruksi, yakni pukul, lompat, tendang, dan tangkis. Instruksi ini akan direspon avatar mereka setelah mendengar perintah dari suara robotik yang keluar dari pengeras suara usai tombol-tombol pada joystick ditekan.
Pertarungan pun dimulai. Instruksi demi instruksi dilontarkan ketiga penonton terpilih kepada avatarnya. Lompat, pukul, lompat, lompat, tendang, tangkis, tangkis, tangkis. Suara saling bertabrakan. Ada suara instruksi avatar, riuh penonton lain, tepuk tangan, gelak tawa, mesin derek pelabuhan peti kemas, semuanya saling menabrak satu sama lain. Nahas, player 2 terkena pukulan telak sampai-sampai jatuh tersungkur. Player 1 pun melakukan berbagai finishing moves-nya, lengkap dengan kalimat-kalimat congkak.
“Jangan berhenti. Setiap kali kau berhenti. Kau kehilangan kesempatan untuk berlari dariku. Apalagi mendekatiku. Tidak selamanya. Tidak seribu kali selamanya,” ucap player 1 sombong. Victory. Game over.
Pada adegan gimmick video game ini antusiasme penonton begitu terasa. Hal ini menunjukkan keberhasilan Teater Garasi dalam menghapus sekat antara penonton dan penampilnya dalam suatu seni pertunjukan. Penonton merasa terlibat.
Pada adegan selanjutnya, waktu kembali kacau balau. Empat aktor perempuan masuk. Mereka dengan bergantian bercerita bagaimana Dewi Sinta mencari-cari Watugunung sehabis dipukul centong nasi olehnya, dan Durga dengan ribuan tahun penuh deritanya. Mereka dengan lantang mengutuki setan dan haram jadah, siapapun yang masuk tanpa permisi. Mereka juga dengan lirih mencemaskan kepergian Watugunung.
Di penghujung adegan, suasana dalam panggung kian intens. Hingga pada akhirnya mereka berempat membacakan daftar orang celaka pada hari itu. Dan percayalah, kita ada dalam daftar. Bukan sekadar orang celaka, tapi yang turut andil dalam membuat celaka itu sendiri. Setelah lampu dimatikan dan nama terakhir dalam daftar disebutkan, Majelis Lidah Berduri langsung memainkan riff lagu penutup. Memantik gelombang tepuk tangan dari penonton.
Apa yang menjadi salah satu kalimat di awal adegan pertunjukkan WB.RyT saya kira dapat menjadi kesimpulan atas karya ini. Bila saja duka ekologis berlanjut tak berkesudahan, maka, “Tak ada ibu yang akan bercerita pada anaknya. Tak ada kekasih yang akan bercinta. Tak ada yang akan bercinta sambil bercerita. Pula, tak ada yang akan bercerita tentang cinta.”
Penulis: Fajar Nur Tahir
Fotografer: Agus Linting
No Comment