Oleh: Yl
We hold these truths to be self-evident:
that all men and women are created equal.
~Elizabeth Cady Stanton
Laki-laki dan perempuan diciptakan sama. Itulah yang dikatakan oleh Elizabeth Cady Stanton. Meski bukan pelopor gerakan wanita pertama, dia adalah pejuang hak-hak wanita terkenal di abad ke-19 dari Amerika. Apa yang dikatakannya di atas kiranya sama dengan yang melatarbelakangi munculnya Feminisme, bahwa baik laki-laki maupun perempuan diciptakan sama, tetapi ada ketidakadilan terkait gender dimana kaum perempuan merasa dirugikan (laki-laki pun mengalami ketidakadilan tapi tak dirugikan seperti perempuan sehingga tak ada yang namanya Maskulinisme), terutama dalam masyarakat patriarki dan agraris yang senantiasa menempatkan lelaki di depan dengan segala hak-hak istimewanya. Sementara perempuan tinggal di dalam rumah (seringkali juga dengan alasan yang diindahkan bahwa ini demi kebaikan perempuan sendiri), karena itu perempuan merasa selalu dinomor duakan dan hanya senantiasa menjadi objek, sementara laki-laki adalah subjeknya.
Melawan ketidakadilan sosial sepanjang sejarah peradaban manusia memang hampir selalu menjadi hal yang menarik. Gaungan Feminisme yang sudah sejak lama, yaitu sejak awal Liberalisme tak pernah cukup nyaring untuk sampai pada telinga dunia, walau sebuah hari telah diperingati sebagai “Hari Perempuan Internasional” (International Women’s Day) yaitu tanggal 8 Maret. Hingga kini di berbagai belahan dunia banyak perempuan yang sedang bermetamorfosis menjadi feminis, sementara sebagian lainnya tetap merasa nyaman sebagai patriarkis. Mereka yang patriarkis tentu bukanlah buruh dengan gaji rendah, yang tak bisa berobat saat sakit karena tak punya cukup uang. Kebanyakan mereka beranggapan bahwa mereka telah merasa nyaman dan untuk apa lagi ada Feminisme? kenapa harus ada feminisme? Feminisme adalah sesuatu yang egois, tidak semua perempuan mau berubah, tidak semua perempuan ingin disetarakan, mereka sudah cukup nyaman dengan kondisinya.
Mengapa Ketidakadilan Gender Harus Dihentikan?
Tanggal 8 Maret lalu kaum perempuan merayakan harinya. Itu adalah hari perempuan internasional (International Women’s Day). Hari itu media sosial ramai oleh unggahan foto bertuliskan “Intenational Women’s Day” dengan caption yang sama. “Bangun pagi, update status di media sosial “Selamat Hari Perempuan Internasional” lalu kembali sibuk dengan rutinitas yang menjemukan. Apakah itu esensinya?” Dunia memperingati Hari Perempuan Internasional bersama-sama untuk mengakui ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan (ketidakadilan gender), dan pada saat yang sama merayakan pencapaian-pencapaian perempuan yang telah mampu mengatasi berbagai hambatan terkait dengan ketidaksetaraan gender.
Gender bukanlah kodrat atau ketentuan Tuhan, melainkan ciptaan manusia yang melekatkan sifat-sifat bagi laki-laki dan perempuan melalui konstruksi sosial maupun kultural. Gender, sebagaimana dituturkan oleh Oakley (1972) dalam Sex, Gender, and Society berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan, sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequlities), namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki, terutama untuk kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korbannya. Bagi perempuan, hal ini dapat menimbulkan marginalisasi perempuan, baik dalam pekerjaan, rumah tangga, masyarakat, kultur atau Negara sekalipun.
Kebanyakan orangmasih selalu mempertanyakan persoalan relevansi Feminisme saat ini?, Apalagi yang ingin diperjuangkan kaum perempuan?, Bukankah hak-haknya telah terpenuhi?, Bukankah pemerintah sudah menentukan upah tanpa membedakan jenis kelamin?, pertanyaan seperti itulah yang sering dilemparkan pada kaum perempuan yang sedang bertransformasi menjadi feminis. Jika begitu kiranya, perhatian kebanyakan orang hanya terfokus pada pemenuhan kebutuhan saja, tetapi cenderung mengabaikan pelanggaran-pelanggaran yang hingga kini masih sering dialami kaum perempuanmeski feminisme telah mengaung sekeras-kerasnya.
Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam pernikahan.
Kedua, KDRT atau tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence).
Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan meki sudah mulai jarang saat ini.
Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution).
Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi, dan masih banyak lainnya.
Tak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut juga merupakan dampak dari ketidakadilan gender, seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa perempuan hampir selalu menjadi objek. Jika sudah begitu kiranya,hal ini tentu saja telah menjawab kenapa feminisme masih ada? maka tak ada kata lain selain “Lawan…! Lawan…! dan Lawan…!”
No Comment