Oleh: Malik aje

Hidup mapan yang coba dibangun oleh masyarakat modern sangat ironis. Disadari atau tidak, hidup mapan yang dibangun dengan keterpaksaan, tetap saja merugikan individu lain. Kenyataan yang dipaksakan ini tidak begitu saja diterima oleh semua individu. Beberapa individu dan komunitas menolak sistem yang harus mapan dan sejahtera dengan merugikan mayoritas individu lainnya. Perlawanan ini memiliki banyak varian-varian, salah satunya adalah “counter culture” yang menggunakan taktik “do it yourself”  yang dilakukan oleh individu-individu dan komunitas-komunitas underground. Mereka membangun sebuah alternatif yang menurut idealnya dapat menjadi sesuatu yang tepat guna sebagai kontra hegemoni terhadap sistem yang selalu mengincar modal dan keuntungan. Taktik “do it yourself” ini merupakan sebuah langkah untuk melawan tatanan masyarakat pasif yang dihegemoni oleh kekuatan media untuk membeli, membeli, dan membeli.

Salah satu bentuk counter culture yang dilakukan para aliran underground yaitu  bermunculannya berbagai distribution outlet atau sering disebut Distro. Dari distro ini kita dapat membeli barang-barang alternatif dan tepat guna dengan harga relatif murah yang lebih fungsional dibandingkan dengan barang-barang yang diproduksi secara massal oleh pabrik-pabrik yang memiliki modal besar tapi buruh yang dibayar murah.

Meninjau kembali makna kata distribution outlet yang secara mendasar berarti kedai distribusi, fungsi utama dari distro adalah sebagai sarana pendistribusian barang-barang seperti musik, pakaian jadi, dsb, yang diproduksi secara terbatas dan lebih mengutamakan nilai guna. Jadi dengan adanya distro, maka individu  ini setidaknya dapat memaksimalkan gerakan counter culture mereka dari trend budaya massa yang diciptakan oleh kapitalisme. Lebih jauh, distro juga berkembang sebagai media bagi penyampaian ide-ide kaum underground, dimana segala sesuatu tidak harus didasarkan pada perhitungan pendapatan yang detail.

Jika dilihat dari realitas masa kini, distro mulai berubah fungsi secara drastis dari sebuah pranata ekonomi menjadi sebuah lembaga yang mencari profit. Profit tetaplah dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup dari distro itu sendiri, terutama untuk menghidupi komunitas tersebut, namun idealnya profit bukanlah sesuatu yang diutamakan dari berdirinya suatu distro. Ironisnya, beberapa distro saat ini malah tidak lagi dimiliki oleh komunitas undergroud, melainkan hanya dimiliki oleh satu atau beberapa orang dengan modal yang dapat dibilang besar. Distro tidak lagi menjadi sebuah komunitas yang egaliter, melainkan telah terjadi hirarki antara bos dan bawahan atau pemilik modal dan pekerja.

 Distro telah berkembang dari sekedar suatu sarana distribusi menjadi sebuah kekuatan dari komunitas underground itu sendiri. Salah satu ciri khas yang menonjol dari subkultur underground ini adalah solidaritas antar komunitas, jadi distro memperkuat eksistensinya dengan menjalin hubungan antar satu distro dengan distro lainnya.

Yang perlu ditekankan dari fungsi utama distro adalah bahwa distro sebagai distributor, dan bukansebagai produsen. Hal ini menimbulkan persepsi yang fundamental bahwa distro adalah sama dengan produsen. Hal inilah yang menimbulkan bahwa distro sebagai sebuah kultur baru yang telah berubah menjadi sebuah bentuk trend dari budaya massa. Hampir semua distro yang ada saat ini, telah kehilangan esensi awalnya sebagai sebuah counter culture terhadap kebudayaan dominan yang menghegemoni dan menjebak orang-orang pada masyarakat tontonan.

Dalam masa sekarang, distro telah kehilangan eksistensi dari persepsi awalnya. Bahwa karena modal awal mereka yang kecil, sehingga harga harus sedikit dimahalkan agar mereka tidak gulung tikar. Dalam banyak hal barang-barang yang dijual di distro cenderung lebih mahal dibandingkan dengan barang-barang yang dijual di mal, misalnya. Apa bedanya dengan penganut neo-liberalisme yang mengatakan, bahwa negara-negara miskin dapat dibantu untuk mengentaskan kemiskinannya dengan solusi masuknya modal-modal asing berupa utang, pendirian perusahaan-perusahaan asing, yang pada intinya hanya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang ditekan habis-habisan. Dalam prakteknya, solusi ini hanya mengawang-awang tanpa pernah dapat mengentaskan kemiskinan dari masyarakat dari negara miskin tersebut. Yang terjadi kemudian malah membuat kaya segelintir orang dan memiskinkan mayoritas orang.

Esensi awal lainnya yang ternegasikan saat ini adalah, barang-barang di distro yang tadinya bersifat nulai guna, menjadi tidak lebih dari sekedar pernak-pernik perhiasan yang membuat orang yang memakainya atas dasar perasaan bangga, sepeti kebanggaan saat disebut gaul atau funky.

Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah yang terjadi ini hanya  kesalahan dari para pengelola distro, ataukah ada faktor-faktor eksternal yang mengikutinya? pada era 90-an banyak distro yang mempraktekan do it yourself dengan keyakinan yang tinggi. Kapitalisme mungkin juga turut berjasa atas terjadinya perubahan ini, dimana kekuatan media untuk membuat realitas-realitas sebagai alatnya telah sedemikian merajalela. Lihat saja dinamika dari musik underground, dimana beberapa komunitas-komunitasnya terpecah, saling memberi label (pengkotak-kotakan) dan saling menjelek-jelekan antara yang satu dengan lainnya.

Salut untuk distro-distro yang tidak terjebak pada realitas buatan kapitalis tersebut, yang masih percaya do it yourself dan meneruskan counter culturenya untuk menuju sebuah masyarakat yang egaliter tanpa dominasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, dan pengorbanan sesama manusia.

Ketika kapitalisme mampu menseparasikan hampir semua hal dan menjadikan hampir setiap orang untuk percaya dan patuh pada realitas yang dibuatnya, sehingga manusia yang satu dengan manusia yang lainnya kehilangan komunikasi, maka percayakah kita pada kebersamaan dan budaya berbagi dapat mengcounternya? Bagaimana jika kerja, hobi, dan komunitas bersama-sama dapat juga dijadikan sebagai perjuangan untuk mencounter budaya dominan bersama-sama?.


Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin

Previous Perempuan di Titik Nol: Pelacur Sukses Lebih Baik dari Seorang Suci yang Sesat
Next Feminisme dan Ketidakadilan Gender

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *