Oleh: Mela Menyala

sejak dahulu, Indonesia terkenal sebagai negara agraris yang dimana benih disemai, disitu padi akan tumbuh. Sudah semestinya tanah menjadi hal yang sangat esensial bagi mereka yang mengantungkan hidup padanya, atau yang kita kenal sebagai petani. Dalam menjalankan perannya, petani sangat erat kaitannya dengan tanah yang mereka garap serta hasil garapannya. Makanan pokok yang kita makan saat ini dihasilkan dari hasil jerih payah petani.

Di Indonesia, tercatatat petani merupakan mata pencaharian yang paling banyak. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah petani pada Februari 2016 sebesar 38,29 juta, atau 31,7% dari total angkatan kerja sebanyak 120,65 juta orang (Jefriando, Mei, 2016). Melalui data tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa sektor petanian merupakan hal yang mendasar bagi kemajuan negara agraris Indonesia.

Namun dengan jumlah petani yang banyak tersebut hanya sampai pada kuantitasnya saja, karena sampai sekarang kedaulatan petani belum pernah terwujud. Kekerasan, kriminalisasi petani, pengurangan subsidi, impor beras, perampasan lahan, dan sekelumit masalah petani menjadi bukti.

Hal ini diperparah dengan penerapan Agreement on Agriculture di Indonesia, melalui perjanjian oleh World Trade Organization (WTO) sejak 1 Januari 1995. Melalui putaran ini, maka dimulailah liberalisasi sektor pertanian di Indonesia.

Bukan tanpa sebab karena tujuan pokok adanya WTO tersebut adalah mendorong arus perdagangan antar negara, dengan mengurangi dan menghapus hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa. Dalam AoA inilah Indonesia harus mereformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem pertanian yang adil dan berorientasi pasar.

Sejak adanya AoA orientasi kebijakan pertanian Indonesia yaitu untuk menciptakan kemandirian pangan tanpa campur tangan swasta, berubah haluannya menjadi sebaliknya. Penghapusan hambatan ini dijabarkan ke dalam tiga unsur utama yakni pengurangan subsidi ekspor, pengurangan subsidi dalam negeri, serta akses pasar (WTO, 2017). Ketiganya menyebabkan banyak implikasi yang terjadi di Indonesia serkarang ini yang mengancam kedaulatan pertanian domestik.

  • Akses pasar

Sebelum perjanjian AoA diberlakukan, yaitu pada tahun 1994 Indonesia pernah menjadi negara eksportir beras terbanyak ke-9 di dunia dan terbaik di Asia Tenggara. Namun pada tahun 1998 pasca penerapannya, Indonesia tidak lagi menjadi negara importir beras di dunia, namun menjadi negara dengan jumlah impor salah satu terbesar di Asia Tenggara. Dengan adanya kebijakan perluasan pasar, maka ironi swasembada pangan dan surplus pangan bukan lagi menjadi oase.

Indonesia yang disebut sebagai negara agraris ternyata masih mengimpor beras dari negera-negara berkembang di kawasan Asia. Pada April 2014, Indonesia melalui Badan Pusat Statistik (BPS) mengimpor beras sebesar 31.145 ton atau US$ 13,5 juta. Angka impor beras terus meningkat pada Mei sebesar 34.796 ton atau US$ 13,5 juta, dan Juni sebesar 49.539 ton atau US$ 22,3 juta.

Angka ini masih akan terus bertambah mengingat pada periode Juli hingga Agustus 2014, Indonesia mengimpor 500.000 ton beras dari Vietnam, dengan dana sebesar Rp 300 miliar. Pada semester awal tahun 2014, impor beras terbesar tercatat dari Thailand sebesar 90.763 ton atau US$ 42,6 juta, disusul India 61.546 ton atau US$ 22,3 juta, Pakistan 8.950 ton atau US$ 3,33 juta. Vietnam berada di peringkat keempat dengan 6.206 ton atau US$ 3,3 juta, dan Myanmar 8.136 ton atau US$ 2,7 juta.

Beberapa negara lainnya juga menjadi negara pengekspor beras ke Indonesia dengan kisaran sebesar 675 ton atau US$ 1,9 juta. Besaran impor beras biasanya disesuaikan dengan kondisi panen yang terjadi di negara tersebut. (Sari, Agustus, 2014)

Ini bukan tanpa sebab, impor habis-habisan ini adalah efek dari perjanjian WTO yang menerapkan penurunan tarif dikurangi hingga 24% dalam jangka waktu 10 tahun (Hasibuan, 2015, pp.1637). Hal tersebut menyebabkan impor beras gampang saja di lakukan dan dimasukkan ke Indonesia. Impor yang tinggi tersebut menyebabkan hancurnya harga beras di pasar lokal dan memberikan dampak pada pengadaan pangan dalam negeri.

Misalnya harga beras yang dipatok oleh pemerintah pada September 2017 adalah Rp. 12.800,-/kg sedangkan harga yang dijumpai di pasar hanya berkisar Rp. 10.000,- 11.000,- /kg dalam sampel Pasar Induk Cipinang Jakarta (Idris, September, 2017). Ini tentu tidak sesuai dengan petani dengan menimpang ongkos produksi yang dikeluarkan sampai pada masa panen yang sangat tinggi.

Komodifikasi sektor pertanian memberikan jarak antara petani dengan hasil pertaniannya. Beras impor yang beredar dan lebih murah mematikan produksi beras lokal, maka kedaulatan petani kian hari kian hilang. Padahal jika dihitung tingkat konsumsi nasional tahun 2015 hanya 28 juta ton dan yang dihasilkan 43,94 juta ton per-tahun (Kementan, 2015). Ini tentu menunjukkan surplus, namun kenapa mesti mengimpor lagi? Kemanakah beras lokal tersebut?

Jawabannya adalah angka produksi padi yang tinggi daripada petani tidak selalu berkorelasi dengan angka keterserapan gabah nasional oleh Bulog. Kerena Bulog tak mampu menyerap gabah secara maksimal dan cadangan beras menipis, maka impor beras terpaksa dilakukan.

Kondisi ini disebabkan Bulog dibatasi oleh instruksi presiden (inpres) yang mengatur harga pembelian pemerintah (HPP). Sementara pengusaha beras swasta mampu membeli gabah dengan kualitas bagaimanapun dengan harga berapapun (Himawan, Desember, 2015). Akibatnya banyak petani di Indonesia lebih memilih menjual gabahnya kepada pedagang beras ketimbang kepada Bulog. Sangat jelas bahwa regulasi pemerintah direduksi bagi para swasta.

Ditambah lagi pelemahan sektor Bulog itu sendiri. Pencabutan wewenang Bulog dalam impor beras pada tahun 1999. Pada Keppres No.29 Tahun 2000 tentang Bulog menyatakan pengurangan kewenangan dari Bulog, yaitu hanya pada manajemen logistik beras, namun pada kenyataannya Bulog hanya menjadi wadah dalam mengumpukan beras hasil petani bukan menjadi badan penstabil dan pengendali harga. Sehingga harga ditentukan dari ada tidaknya beras yang beredar dipasaran terutama beras impor.

  • Pengurangan subsidi domestik

Melalui LOI 1997 Bulog sebagai badan independen pengatur sistem pertanian domestik, berubah fungsinya menjadi Perusahaan Umum. Liberalisasi yang tidak dilakukan menyebabkan harga pupuk dan sarana produksi pada lainnya tidak lagi disubsidi oleh pemerintah serta dikembalikan pada mekanisme pasar (Julianto, November, 2009).

Oleh karena itu pupuk subsidi seperti Urea belakangan ini menjadi pupuk yang paling langka ditemui, dikarenakan adanya juga persaingan swasta, misalnya saja Perusahaan Monsanto yang menguasai ketersediaan pupuk domestik. Bulog tidak lagi diizinkan untuk memperoleh privilege Dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) seperti dulu.

Akibatnya, dana pembelian gabah terlambat disalurkan sehingga, amat mengganggu kegiatan utama pengadaan pangan pembelian gabah petani dan program Stabilisasi Harga Beras tidak lagi memberi pengaruh yang berarti bagi keberlangsungan sektor pertanian Indonesia.

Seharusnya subsidi harus berbanding dengan pemberian alternatif bagi para petani. Pengurangan subsidi pupuk ataupun realokasi pupuk bukan menjadi jawaban bagi kesejahteraan rakyat jika hanya untuk membuat masyarakat menggunakan pupuk organik.

Namun lebih dari itu, adanya batasan subsidi pupuk bagi pemerintah dan tidak bagi swastra menyebabkan kelangkaan pupuk subsidi dan akan lebih memilih memakai pupuk swasta daripada gagal panen sama sekali bagi para petani. Hingga pada akhirnya dengan harga beras yang tetap sama dan tidak berbanding dengan tingginya biaya produksi menyebabkan rusaknya harga beras yang semakin menambah keresahan petani.

Sistem Kredit Usaha Rakyat juga tidak memberikan dampak yang besar bagai petani yang tidak memiliki lahan garap, karena mereka tidak memiliki jaminan pasca panen. Oleh karena itu dibutuhkan sinegritas subsidi untuk meningkatkan kemandirian petani secara bertahap.

Alternatif

Dengan serumit permasalahan yang dihadapi Indonesia, penulis mungkin hanya akan memberikan sebuah perspektif dalam mengembalikan kedaulatan petani dalam politik keseharian. Tingginya angka impor beras akibat proyeksi pasar dalam sektor pertanian yang menyebabkan produksi nasional tidak mempu bersaing di pasar. Oleh kerena itu, tidak ada salahnya jika kita mengkonsumsi beras lokal dari pada beras impor.

Dan untuk sekala Indonesia, seharunya negara kita ini telah mandiri pangannya tanpa interpensi liberalisasi oleh WTO melalui AoA. Karena dalam menyelesaikan krisis kapitalisme domestik melalui ratifikasi tidak akan terwujud, karena kapitalisme adalah kriris itu sendiri.

Petani bukan kaum minoritas yang tidak cukup diperhatikan dalam demokrasi, petani adalah kekuatan negara ini. Sudah saatnya petani kita berdaulat, sudah saatnya Indonesia independen tanpa iming-iming koorperat.


Bibliografi :


Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin

Previous Memperingati Hari Tani ke 58, Mahasiswa Lakukan Kampanye Penyadaran
Next Markus Giroth; Usaha Menyelamatkan “Partai” di Sulawesi

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *