Catatankaki.org-Pengumuman penerimaan mahasiswa baru lewat Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) pada Selasa (28/3) menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu oleh para calon mahasiswa baru (camaba). Mendapat lampu biru di laman pengumuman sontak membuat mereka senang, menangis, terharu dan berbagai macam ekspresi bahagia lainnya. Namun di samping itu, kebahagiaan hanya sejenak dirasakan. Beberapa camaba harus menelan pahitnya besaran nominal uang kuliah tunggal (UKT) yang mereka dapatkan. Utamanya bagi mereka yang berasal dari keluarga miskin.
Gugur akibat tak mampu bayar UKT
Bulan Maret lalu, pengumuman SNBP diumumkan. Berdasarkan hasil Konferensi Pers seleksi jalur SNBP 2023, Universitas Hasanuddin (Unhas) menduduki posisi ke-10 sebagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) penerima terbanyak di jalur ini. Sebanyak 2.517 camaba dinyatakan lulus di Unhas. Di antara ribuan mahasiswa yang lulus, segelintir dari mereka harus memegang sekop dan mengubur mimpinya dalam-dalam. Khusnul Chatimah adalah salah satu pemegang sekop itu.
Keinginan Khusnul dalam melanjutkan pendidikan harus ia pendam dalam-dalam. Ia terpaksa gugur sebab tak mampu membayar UKT sebagai syarat registrasi menjadi mahasiswa baru. Kondisi ekonomi keluarganya yang rendah menjadi hambatan dalam menebus UKTnya.
Khusnul sendiri mendapat beban UKT golongan dua dengan nominal sebesar satu juta rupiah. Biaya kuliah ini ia rasa berat melihat pekerjaan ayahnya yang hanya seorang petani tanaman jangka panjang, yang memiliki penghasilan tidak tetap dan bergantung pada hasil panen. Sementara sang Ibu bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Selain itu, Khusnul yang merupakan anak sulung memiliki tiga orang adik yang menjadi tanggungan orang tuanya.
“Usaha mi tapi nda dapat pi memang (uang UKT),” senyum kecut pun kian terpatri di wajah Khusnul.
26 Mei menjadi tenggat waktu penutupan pembayaran UKT. Sayangnya, Ayah Khusnul baru bisa menjual sedikit dari hasil panennya 9 hari kemudian. 7 Juni Khusnul datang ke Makassar untuk menghadap ke Rektorat. Niatnya mendapatkan kebijakan, akan tetapi yang ia dapatkan dari Mardani, selaku Direktur Keuangan, Akuntansi dan Pelaporan Unhas, hanyalah pernyataan bahwa ia telah gugur sebab telah melewati batas tenggat waktu pembayaran.
“Itu ji na bilang ibu (Mardani), nda bisa mi sama sekali karna tertutup sistem katanya,” tutur Khusnul.
Khusnul sendiri mengaku bahwa ia sama sekali tak mengetahui perihal pengguguran otomatis ketika terlambat membayar. Ia bahkan baru mengetahui hal tersebut ketika datang menghadap Rektorat. Ia pun turut mengatakan bahwa tak adanya pemberitahuan dari pihak heldesk dalam grup WhatsApp camaba, membuat beberapa camaba tidak mengetahuinya, termasuk dia sendiri.
Di sisi yang sama muncul cerita salah satu camaba Unhas lain yaitu Mita. Semenjak namanya tercantum sebagai siswa yang memenuhi syarat untuk mengikuti pendaftaran SNBP dari SMAN 2 Soppeng, Mita berusaha untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi merupakan impian Mita. Ia memilih Universitas Hasanuddin (Unhas) dengan pilihan jurusan Teknik Lingkungan sebagai pilihan utama. berkat saran dari sepupunya.
Saat pengumuman SNBP diumumkan, Mita diterima menjadi mahasiswa baru Unhas angkatan 2023. Jelas ini adalah momentum bahagia untuk Mita, sebab dapat berkuliah di Universitas impiannya. Sayangnya kabar bahagia itu hanya bertahan sebentar.
Sama seperti Khusnul, Mita harus mengubur mimpinya dalam melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan tatkala mengetahui besaran UKT yang mesti ia bayarkan. Mita mendapat beban UKT golongan tiga dengan nominal sebesar dua juta rupiah. Hal itu ia rasa berat karena Mita sendiri memiliki latar belakang yang sama dengan Khusnul.
“Dari awalnya memang, Kak. Ini saya ikut daftar kuliah saja, modal nekat,” ucap Mita dengan suara yang parau saat dihubungi Catatan Kaki lewat panggilan seluler (9/6).
Mita diam beberapa saat ketika dimintai alasan dari pernyataannya di atas. Berselang kemudian Mita mulai berbicara dengan suara yang berbeda dari sebelumnya. Terdengar jelas suara lembutnya bergetar lirih. Ia mengaku kondisi ekonomi membuatnya tidak berani bercerita kepada ayahnya perihal biaya UKT yang harus ditebusnya. Mengingat pekerjaan sang ayah sebagai pencatat barang yang masuk di sebuah usaha lampu dengan gaji sekitar dua juta rupiah tiap bulannya.
“Mengingat kondisi ekonomi, takut ma cerita sama bapakku,” masih dengan suara yang sama, Mita berucap.
Sadar akan kondisi ekonomi keluarga, membuat ia memilih untuk memendam dan tidak membicarakan hal tersebut kepada siapapun. Alhasil, Mita baru memberitahu keluarganya mengenai persoalan UKT pada awal bulan Juni, itupun melalui sang nenek. Akhirnya Mita mendapatkan pinjaman uang dari sepupunya dan segera pergi untuk membayar keesokan harinya. Nahasnya, sewaktu tiba di Bank, pegawai teller Bank mengatakan pembayaran Mita tidak ditemukan dan namanya tak lagi tercantum sebagai camaba Unhas.
Mengetahui hal itu, Mita pun segera menghubungi Helpdesk Unhas melalui WhatsApp dan tetap mendapat jawaban yang sama yakni, “sudah tidak bisa”. Lalu Ia bertanya lebih lanjut terkait solusi lain, namun jawaban yang ia dapatkan masih sama.
“(Helpdesk) bilang ‘tidak ada’. Dan saya tanya lagi, jadi nama saya sudah tercoret? Bilang mi lagi ‘iya, kan sudah ada jadwalnya’,” kata Mita menirukan obrolan chatnya dengan Helpdesk.
Padahal, keinginan Mita untuk berkuliah sangatlah besar, dukungan dari Almarhumah Mamanya menjadi salah satu faktor utamanya. Mita bercerita sewaktu mamanya masih hidup, ia ingin menguliahkan Mita sampai ke jenjang perguruan tinggi. Bahkan pada awalnya Mita mengaku akan didaftarkan di jurusan Kedokteran oleh mamanya.
Lagi-lagi Mita diam sejenak lalu kemudian berbicara dengan suara yang masih bergetar, “tapi kan semenjak nda ada mi (mama), baru turun ekonomi. Sadar ma kalau biaya kedokteran itu mahal. Jadi kayak mau sekali ka (sebenarnya) jadi dokter, cuman itu mi karena biaya.”
Akibat biaya pendidikan yang mahal, Mita harus memendam keinginannya menjadi seorang dokter, sebelum pada akhirnya gagal juga untuk berkuliah di kampus impiannya.
Mita juga menceritakan bahwa ia sebenarnya tak menyangka dapat lulus SNBP, apalagi dinyatakan lulus di jurusan pilihan pertamanya. Setelah mengetahui kelulusannya, ia langsung saja mengurus beberapa beasiswa termasuk Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Bahkan Mita sendiri juga telah dinyatakan lulus berkas dalam pendaftaran KIP Kuliah. Sisa menunggu pengumuman. Namun, pengumuman beasiswa yang Mita daftari termasuk KIP Kuliah baru akan keluar bulan Juli. Sehingga bagaimanapun juga Mita harus tetap membayar beban UKTnya terlebih dahulu.
Khusnul dan Mita adalah camaba yang menjadi bagian dari 10,9 persen lulusan SNBP yang dinyatakan gugur. Berdasarkan keterangan Muhammad Ruslin, selaku Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan (WR 1), kuota yang hangus di jalur SNBP akan ditarik menjadi kuota jalur mandiri, sehingga jalur mandiri bertambah kuotanya.
Standarisasi UKT satu yang tinggi
Pada tahun 2023, Unhas menerapkan kebijakan baru terkait golongan dan nominal baru UKT yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 02914/UN4.1/KEP/2023. Kebijakan yang dikeluarkan pada 27 Maret ini berlaku pada camaba 2023.
Adanya perubahan dan peningkatan beberapa golongan UKT dari tahun sebelumnya, dirasakan oleh Mita dan Khusnul. Menurut mereka, mendapat beban UKT golongan dua dan tiga terasa memberatkan sehingga mereka tidak mampu membayar UKT dan dinyatakan gugur oleh Unhas.
Kasubdit Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) Unhas, Yuyu Ichsani, menjelaskan pada saat pengumuman kelulusan ada verifikasi UKT. Suatu tim pun dibentuk untuk memverifikasi UKT, untuk itu mereka bahkan menggunakan aplikasi. ia juga mengatakan penentuan UKT ditentukan dari berkas yang dimasukkan oleh camaba.
“Ada yang lolos UKT nol karena memang sudah terbukti, karena memang ada persyaratannya di bidang dua (WR 2). Tidak langsung serta merta (kami) lakukan oh kamu UKT 1 ya, kamu UKT 4, UKT 5. Ada data, dia (camaba) harus mengumpulkan itu. Ketika dia tidak mampu membuktikan bahwa dia tidak mampu, tidak bisa diklaim,” jelasnya.
Di dalam SK Rektor sendiri untuk mendapatkan UKT satu yang bernominalkan nol rupiah, seorang camaba harus termasuk ke kriteria penerima UKT satu terlebih dahulu.
Adapun kriteria-kriteria penerima UKT satu adalah mahasiswa yang berasal dari panti asuhan/panti sosial yang terdaftar di Kementerian Sosial (Kemensos) dan dibuktikan dengan surat tinggal minimal selama 3 tahun. Kriteria kedua adalah mahasiswa yang merupakan anak yatim dan memiliki saudara kandung lebih dari dua orang yang masih dalam tanggungan orang tua/wali dan memenuhi persyaratan lainnya seperti memiliki KIP, kartu peserta Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), dan terdata masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau menerima program bantuan sosial yang ditetapkan oleh kementerian.
Selain itu, dalam SK rektor juga tertulis bahwa penentuan golongan UKT bagi camaba 2023 dilakukan secara partisipatif. Dimana mahasiswa dan orangtua ataupun wali yang membiayai kuliahnya memilih kelompok UKT sesuai kemampuan ekonomi masing-masing. Dengan memasukkan beberapa berkas sebagai bukti, utamanya Surat Keterangan Penghasilan Orang Tua dari pihak berwenang.
Khusnul sendiri ketika melakukan registrasi ulang, turut melampirkan Surat Keterangan Penghasilan Orang Tua yang ia urus di kantor desa tempatnya tinggal. Di surat tersebut diberikan keterangan ‘Penghasilan tidak menentu’ sebab faktanya Ayah Khusnul hanya bekerja sebagai petani dengan penghasilan yang memang tidak menentu.
Menurut Muhammad Ruslin, dalam melampirkan Surat Keterangan Penghasilan Orang Tua utamanya seperti kasus Khusnul, kata ‘tidak menentu’ itu harusnya lebih dijelaskan secara detail lagi.
“Kita sudah buka peluang di UKT kita. Di UKT kita sudah ada UKT satu yang UKT nol. Yang memang disiapkan untuk (kasus) kayak tadi, kalau memang sama sekali nda mampu. Nah, cuman ini harus nyambung lagi dengan data yang dia masukkan,” jelasnya.
Standarisasi UKT 1 yang memiliki segudang kriteria itu, menurut Muhammad Ruslin disiapkan untuk mahasiswa yang tidak mampu ataupun berpenghasilan rendah. Namun, dilihat dari kasus Mita dan Khusnul, mereka tidak mendapatkan UKT 1 sebagaimana mestinya sebab terhalang tembok standarisasi yang tinggi. Berasal dari keluarga berpenghasilan rendah, ternyata tidak pernah cukup untuk mendapatkan UKT tersebut.
Tidak bisa berkuliah di Universitas Negeri, sisa swasta?
Tak dapat membayar UKT membuat Mita dan Khusnul tidak dapat melanjutkan perkuliahannya di universitas negeri. Mimpi dan harapan keluarganya harus pupus ketika keduanya dinyatakan gugur, sebab tidak mampu menebus beban UKTnya sampai tenggat waktu pembayaran.
Gugurnya mereka tak hanya berdampak sekarang, namun akan berdampak pada tahun-tahun selanjutnya. Muhammad Ruslin mengatakan bahwa camaba yang telah dinyatakan lulus di jalur SNBP tidak dapat lagi mengikuti jalur SNBT.
“Nda bisa, (kalau) sudah gugur, (camaba) dihukum. Itu regulasi dari pusat juga,” terangnya.
Menanggapi regulasi tersebut, Khusnul mengatakan bahwa jika tak dapat berkuliah di Unhas, maka ia tak tahu lagi dimana ia akan melanjutkan pendidikannya.
“Nda tau mi. Baru (saya) nda bisa (kuliah di) swasta. Mahal sekali,” tutur Khusnul.
Ia sendiri turut mengeluhkan biaya pendidikan perguruan tinggi swasta yang terbilang mahal sehingga memutuskan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Namun, yang didapatinya adalah kenyataan pahit bahwa PTN maupun Swasta sama saja mahalnya, bahkan pada jalur prestasi yang disediakan.
Setali tiga uang dengan Khusnul, Mita juga mengaku kecewa atas apa yang menimpanya. Melalui sambungan telepon, ia dengan pasrah mengatakan, “semisal nda bisa mi memang diterima di Unhas, mau mi di apa, karena memang begitu mi juga jalannya.”
Penulis: Anisa Pakulla‘
Reporter: Anisa Pakulla’ & Alga Wahyu Ramadan
No Comment