Breaking Down The Ivory Tower


“Breaking down the ivory tower”, runtuhkan menara gading? siapa? Unhas? apakah Unhas menara gading? tunggu sebentar, saya bahkan tidak yakin kalau Unhas adalah menara gading, ia lebih tepat kalau disebut sebagai menara lapuk. Di usia yang cukup tua, Unhas dan segala tetek bengeknya tidak pernah lepas dari persoalan-persoalan kontradiktif sebagaimana ketika membayangkan kampus ideal adalah kampus yang menjunjung nilai kritis serta berpihak pada kebenaran, namun dikondisi hari ini justru malah sebaliknya.

Jika memang ini berkelindan dengan bagaimana kampus mereproduksi pengetahuan dan keberpihakan, sepertinya akan lebih baik mengulas kembali sedikit dari bongkahan fenomena gunung es yang tidak sama seperti apa yang dicitrakan.

Pendidikan dengan skema komersialisasi sudah menjadi momok bagi kalangan mahasiswa yang memiliki perhatian lebih bagaimana membayangkan kampus yang semestinya mudah diakses oleh semua kalangan tanpa ada sedikitpun kesulitan finansial yang dibebankan pada mahasiswa. UKT, permasalahan klasik yang sampai hari ini para pejabat kampus sepertinya seakan tidak peduli. Bukan soal perpanjangan durasi pembayaran, atau bahkan pembayaran berangsur. Ini menunjukkan bahwa uang lebih penting jika dibandingkan dengan bagaimana mahasiswa yang bahkan hampir setiap harinya bertaruh hanya untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup.

Sistem pendidikan saat ini mengisyaratkan ekosistem yang buruk dalam menjalani kehidupan kampus. Jam malam, tak ubah layaknya diktator yang mengatur aktivitas tubuh untuk tidak berkegiatan di kampus pada malam hari. Lewat satuan pengamanan, para mahasiswa dianggap sebagai sumber permasalahan yang mengganggu “ketertiban” sebagaimana kata tertib hanyalah bahasa yang sering digunakan oleh penguasa, pengontrol untuk menundukkan setiap entitas agar ruang kreativitas, kebebasan berekspresi dicap sebagai ancaman stabilitas keamanan kampus.

Di mana ruang kritis? dosen dan para pejabat kampus apakah pernah sejauh ini benar-benar membicarakan serius mengenai nasib pendidikan hari ini dalam dialog terbuka, fair tanpa ada ancaman, jujur tanpa banyak kebohongan, dengan mempertemukan setiap entitas yang ada. Sekali lagi ruang terbuka, bukan tertutup yang dengan sengaja bermanuver pada jumlah partisipan yang tidak dapat terakses hanya karena kuota atau fasilitas ruangan yang tidak mencukupi seperti yang biasa kalian (baca: pejabat kampus) lakukan.

Keterlibatan ini tentu bukan hanya mahasiswa, justru entitas kampus adalah setiap orang yang memiliki perannya masing-masing dalam kehidupan kampus itu sendiri. Pertemuan yang dihadiri oleh setiap entitas yang memiliki keresahan yang berbeda-beda memiliki sebab strukural dengan adanya ketimpangan kuasa. Jika memang kalian para pemangku kepentingan mengaku berhak mengatur kehidupan kampus, lalu bagaimana dengan kabar buruk tentang cleaning service yang gajinya dipotong, pajak iuran  mace-mace kantin yang berjualan kian membengkak, penggusuran tanpa solusi pemberdayaan, penanganan kasus kekerasan seksual, anggaran yang dikelola tidak transparan, pencekokan ideologi kebangsaan dengan menggandeng pihak yang dinilai memiliki jiwa nasionalisme  yang sebenarnya hanya memenuhi kepentingan politik praktis saja.

Lalu bagaimana dengan kriminalisasi mahasiswa dengan dalih ancaman stabilitas citra dengan menggandeng pihak kepolisian. Pihak kepolisian? Bukannya kampus adalah tempat di mana setiap orang punya pikiran dan bahkan bisa untuk membicarakan setiap persoalan yang ada malah justru membiarkan pintu masuk kuasa negara terhadap kontrol dan independensi kampus itu sendiri. Ironi, nampaknya kampus lebih memilih mengakumulasi kekuasaan dengan penekanan pada ancaman, ketakutan, panoptikon terhadap siapapun yang dapat dianggap sebagai pengganggu. Lalu di mana esensi pendidikan? Tanyakan padaku di mana ruang dialektis itu dihadirkan?.

Semoga saja para akademisi dan pejabat kampus kali ini tidak sibuk berpolitik praktis atas-bawah, hura-hura kiri kanan menggait para donatur seakan kampus sebagai penadah tangan bagi para filantropi lewat mitra dengan perjanjian iklan. Parahnya lagi jika mengubah arah dari arena produksi wacana, dialog kritis menjadi kegiatan-kegiatan seremonial, tidak penting, buang anggaran dan lagi-lagi mahasiswa dapat dijadikan alat kontrol yang dengan mudah tergiur istilah ‘benefit’. Seolah-olah dibuat selayaknya transaksi keuntungan. Sekali lagi, semoga saja itu tidak terjadi. Kalaupun iya, mari kita memulainya dari diri kita sendiri dalam melihat “bagaimana posisi kita di kampus” dan “apa yang dirasakan selama ini”. Mengingat kembali pendidikan yang ideal, mulai dari ruang kelas, lingkungan sekitar, dengan kejujuran dan dengan masifnya kritikan.


Penulis: Junk Snacks

Previous Ketika Perempuan Jadi Metafora: Membaca Sejarah Maskulin dalam Sastra Indonesia
This is the most recent story.

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *