Oleh : Irfan

Ritual pemiskinan global sebentar lagi digelar. BBM bersubsidi akan dinaikkan dari Rp 6.500 menjadi Rp 9.500/liter. Dengan dalih pengalihan subsidi ke sektor produktif. Lagi–lagi bukan alasan yang tepat. Apa alasannya? (pengalihan subsidi) itu hanyalah akal – akalan pemerintah. Bukankah kenaikan harga BBM akan menyebabkan naiknya harga kebutuhan yang lain meningkat ? Hal ini tentu akan semakin membuat rakyat kecil semakin tercekik.

Menurut penuturan Jokowi, harga BBM bersubsidi akan dinaikkan setelah dilantik sebagai Presiden RI. Subsidi tersebut akan dialihkan untuk memberi tambahan modal pada pelaku usaha mikro di desa-desa, untuk subsidi benih, pupuk dan pestisida bagi petani, serta untuk pembelian mesin kapal bagi nelayan (republika.co.id, Oktober 2014). Tapi apakah BBM yang harus dijadikan tumbal untuk dinaikkan?(bukan itu) ada hal yang lebih penting dilakukan oleh pemerintah yakni pengurangan belanja negara bagi para pejabat negara serta Nasionalisasi atau Negosiasi Ulang Kontrak.

Pemerintah seharusnya melakukakan negosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat. Jika pemerintah Indonesia berani melakukan ini maka akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para investor asing. Negosiasi ulang kontrak karya ini juga sangat mungkin dilakukan dengan Freeport McMoran, yang memiliki anak perusahaan PT Freeport Indonesia.

Freeport merupakan salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia yang melakukan kegiatan eksplotasi di Papua. Bercermin pada ketegasan sikap Rusia terhadap Shell. Rusia mencabut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikantongi Shell. Ini karena perusahaan minyak itu didapati melanggar  Undang-Undang Lingkungan Hidup dengan melakukan pencemaran lingkungan.

Rakyat Indonesia, yang lebih setengahnya berada di bawah garis kemiskinan, selain menanggung mahalnya bahan kebutuhan pokok kini juga masih harus menanggung Utang Luar Negeri (ULN) yang kini mencapai angka 284,9 miliar dollar AS (kompas.com, Oktober 2014). Rencana mengenai penghapusan utang luar negeri Indonesia sempat terdengar pasca bencana tsunami di Aceh.

Namun pemerintah tidak menyambut baik rencana ini akibat tekanan pengusaha dalam negeri yang masih menginginkan utang. Pengusaha swasta dalam negeri menolak tawaran tersebut karena ketika utang luar negeri dihapus, maka  pengusaha dalam negeri tidak bisa lagi berhutang ke lembaga donor asing.

Utang luar negeri Indonesia hanya dinikmati oleh pengusaha swasta dalam negeri, bukan oleh seluruh rakyat Indonesia. “Jika pemerintah memang ingin masih mengedepankan kepentingan rakyat banyak, maka tawaran akan penghapusan utang luar negeri mestinya diterima dengan diikuti penguatan kemandirian ekonomi dalam negeri”,

Kenaikan BBM hanyalah salah satu dampak dari negara perselingkuhan kapitalisme. Dibalik agenda penaikan harga BBM ini, sebenarnya ada agenda terselubung yang lebih besar lagi yakni agenda Neo-Liberalisme. Over produksi modal memaksa negara-negara kapitalis maju untuk ‘mengekspor’ modal mereka ke dunia ketiga.

Guna mensuksekan program ini, maka ada beberapa program Neo-Liberalisme yang harus dipatuhui dunia ketiga. Program tersebut antara lain: Liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, pemotongan-pemotongan anggaran untuk kepentingan publik, pemotongan subsidi-subsidi negara, devaluasi nilai mata uang,upah buruh yang rendah.

INGAT! Negara hadir untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya, bukan menjadikan rakyat sebagai tumbal perselingkuhan negara dengan kaum pemodal. Menjadikan rakyat sebagai budak di negeri sendiri, itu HARAM HUKUMNYA. *


Previous Unhas Menolak Kenaikan BBM
Next Preman Menyerang Kampus Unhas

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *