Ini hampir-hampir telah sebulan meninggalnya Kinan, wajahnya yang sayu keriput ditelan usia tak henti-hentinya kurindu; di ranjang, meja makan, dan kamar mandi. Bayang-bayangnya jujur saja teramat menganggu, seperti membuatku merasa kesepian dan sewaktu-waktu begitu dingin.
Bangunan tua yang menjadi tempat teduhku bersama Kinan, seketika menjadi asing tanpa wajah Kinan yang selalu menyediakan keperluanku di sana. Kami tidak memiliki anak satu pun, dan Kinan sampai akhir hayatnya tidak pernah menyesali kemauannya itu. Walaupun selalu aku merasa begitu perjaka dengan keberadaan Kinan saja, dan terus memintanya menjadikanku suami yang menjadi ayah, tapi Kinan selalu meyakiniku bahwa memiliki anak bukan tanda bahwa aku telah menjadi ayah sepenuhnya, tapi memiliki anak adalah bahwa kita berdua menginginkannya.
Aku tidak mau selepas kepergianmu, atau selepas kepergianku anak yang kau ingini, akan menjadi perandaianku terhadapmu, atau perandaianmu terhadapku. Aku merasa memanfaatkan kasih sayangku. Aku belum memiliki alasan untuk mempunyai anak, aku sangat cukup dengan keberadaanmu-Kinan
Aku masih ingat wajah Kinan setelah selesai dia curahkan hatinya di detik-detik terakhir sebelum dia meninggal waktu itu, mata bolak miliknya perlahan berair yang tak lama kemudian mukanya penuh dengan air mata. Ahh Kinan, kenapa kau harus nangis saat itu, padahal kau yang menyampaikan itu, walaupun jujur aku belum tau.. itu untuk kebaikanmu, kebaikanku atau untuk kebaikan yang lain.
***
Umurku 14 tahun ketika ibu meninggal dunia. Aku sangat terpukul saat itu, seperti kehilangan separuh jiwaku — aku hilang berhari-hari selepas kepergian ibu. Rumah sepi, ayah yang ceria ketika bersama ibu dulu lebih terpukul lagi. Ayah mengurung dirinya berhari-hari, seperti aku mengurung diriku.
Tak ada sarapan, tak ada sajian makan siang, begitu juga makan malam. Berhari-hari aku dan ayah mati lalu hidup kembali. Aku tidak tau di hari keberapa kami makan dan bicara, aku juga tidak tau mengapa kami bisa saling melemparkan senyum. Aku tidak tau siapa yang memulainya, ayahkah atau akukah – yang aku ingat jelas sejak kepergian ibu setelah kami berhari-hari menginginkan mati adalah, bahwa ayahku mulai memanggilku dengan nama “Nan” setelah sebelumnya memanggilku dengan “Nduk” atau tanpa nama saja.
Wajah ayah nampak berseri ketika memanggilku dengan panggilan “Nan”, walaupun dulu ayah jarang marah, tapi tidak juga pernah ayah memanggil namaku dengan wajah berseri seperti saat itu. Hanya jawaban ya dan tidak setidak-tidaknya percakapan kami ketika masih ada ibu. Tapi ketika sore itu ayah memanggilku “Nan” , aku seketika merasa bahwa ayah tidak melihatku sebagai Kinan, tapi sebagai Lanan almarhum ibuku.
Mengetahui fakta itu tidak sedikitpun prasangka buruk menghampiri pikiranku, entah karena aku masih berumur 14 tahun, atau karena di hatiku yang dalam aku menginginkan itu. Perlakukan kasih, lembut tutur, dan gerayangan-gerayangan tangan manis ayah di sekujur tubuhku — aku memikirkannya seperti; aku menjadi satu-satunya disayang setelah kepergian ibu.
Setahun pertama dengan sikap ayah yang begitu berubah, aku merasa sangat dibutuhkan, malah hampir-hampir setiap malam aku tidak lagi tidur di kamarku, melainkan di kamar ayah. Pun sebelum tidur, rutin ayah menceritakanku kisah cinta manis pria dan wanita, kadang juga kami menonton pasangan-pasangan yang bercucur keringat di ranjang putih kamar. tapi itu seks edukasi bukan? Guruku di sekolah dan sosial media ramai membahasnya saat itu.
Kadang ketika bersama ayah, pertanyaan-pertanyaan random tetiba saja muncul di kepalaku, tentang “Apa dulu bersama ibu ayah juga melakukan rutinitas semenyenangkan ini? Apa dulu bersama ibu, ayah sebucin ini? Dan atau Apa aku masih diandaikan sebagai Lanan, atau Lanan hanya alih-alih ayah untuk memilikiku sebagai Kinan?”. Namun itu hanyalah pertanyaan diam, yang sejam kupikirkan, lalu sejam berikutnya kunikmati. Pada akhirnya dulu, memiliki umur 14 tahun membuatku bisa memiliki hak istimewa untuk diam dan tidak tau apa-apa, termasuk menjadi Lanan dengan sepengetahuanku.
Pernah satu kali ayah menceritakanku tentang Lolita, gadis yang katanya cantik sepertiku. Dia menceritakan bahwa Lolita adalah gadis remaja yang jatuh cinta dan menjalin kasih dengan ayah tirinya. Hubungan mereka berdua bukanlah hubungan yang menjijikkan, melainkan cinta sejati, karena kisah cinta mereka tidak memandang umur, tidak memandang hubungan darah, dan karena itulah cinta mereka bersih dan suci. Lolita dan ayah tirinya saling mencintai, mereka pergi dari rumah dan berkelana, mereka menikmati kisahnya, dan tidak ada satu orang pun yang bisa menganggu mereka. Walaupun banyak yang mengatakan bahwa itu bukanlah hubungan yang masuk akal, tapi dalam cinta tidak ada yang masuk akal, adakah teori yang bisa menjelaskan perasaan yang begitu memihak seperti cinta? Ayah sangat mencintai karakter Lolita, walaupun aku belum yakin bagaimana jelasnya karakter Lolita dan kisah cintanya bersama ayah tirinya itu, tapi saat itu aku setuju pada ayah bahwa tidak ada yang masuk akal dalam cinta. Habis menceritakan itu, seperti begitu bahagia ayah memelukku tidur di ranjang. Namun tiga hari setelahnya, aku menemukan ayah gantung diri di kamarnya dengan kondisi tubuh tanpa sehelai kain pun. Aku tidak tau itu surat kematian atau apa, tapi di tangannya tertulis, “Aku mencintaimu. Aku memang monster, tetapi aku mencintaimu. Aku jahat, brutal, dan semua yang buruk, maisjemais, jet’aimis (baca: Tapi, aku mencintaimu, aku mencintaimu). Ada saat-saat ketika aku tahu perasaanmu, dan rasanya seperti di neraka, Sayangku.”1
Aku sangat menangis di pemakaman saat itu, seperti kehilangan duniaku, aku kembali mati berhari-hari tanpa ayah. Dia ayahku karena dia suami dari ibuku. Aku tidak tau perasaanku saat itu, bahkan sampai sekarang pun aku tidak tau. Aku kehilangan keberadaannya, aku kehilangan sosoknya, tapi kenapa yang kurindukan adalah aku yang menjadi Lanan, dan bukan Kinan?
Sejak saat itu juga aku memutuskan untuk tidak lagi sekolah, sekali-kali keluar rumah hanya keluar untuk belanja bulanan dan menarik uang. Semua berjalan biasa-biasa saja, sampai akhirnya kamu datang dan melamarku. Walaupun jujur aku belum mencintaimu saat itu, tapi tante dari keluarga ibuku mengatakan bahwa cinta akan tumbuh dengan sendirinya, dan aku berusaha mempercayai itu. Itulah mengapa kita akhirnya menikah, dan menjadi tua seperti sekarang. Kita tumbuh menjadi pasangan suami istri dengan perasaan cinta yang akan muncul dengan sendirinya. Aku menjadi istrimu dan kau menjadi suamiku; aku berusaha menjadi sebaik-baik pelayan untukmu, dan kau berusaha menjadi sebaik-baik pemberi nafkah untukku. Walaupun aku tau bahwa terkadang kau merasa begitu perjaka dengan keberadaanku saja, tanpa anak diantara kita… tapi aku tidak mau selepas kepergianmu, atau selepas kepergianku anak yang kau ingini, akan menjadi perandaianku terhadapmu, atau perandaianmu terhadapku. Aku merasa memanfaatkan kasih sayangku. Aku belum memiliki alasan untuk mempunyai anak, aku sangat cukup dengan keberadaanmu saja.
Hubungan sungguh seegois itu kan, dan entah kita selalu atau sedang berusaha percaya kekuatan cinta. Kau barangkali berpikir tentangku kembali, setelah sebelumnya itu hanya terjadi sekali pada pertemuan lamaran bertahun-tahun kemarin. Tapi sayang, di umur 14 tahun aku setuju pada ayah bahwa tidak ada yang masuk akal tentang cinta, dan sampai sekarang pun aku masih setuju tentang itu. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa mendefinisikan sesuatu yang seberpihak itu? Aku tau kebingunganmu, tapi Itu adalah cinta pada pandangan pertama, pada pandangan terakhir, pada pandangan selama-lamanya.2 Ada saat-saat ketika aku tahu perasaanku, dan rasanya seperti di neraka, Sayangku”
***
Aku menyenangi kau yang begitu jujur, tapi ini begitu dingin, entah mengapa aku tiba-tiba saja tidak mengerti, pada akhirnya kondisi kita ini; pernikahan kita dan kau yang tidak ingin ada anak diantara kita, apa benar karena traumamu, atau karena kau yang belum mempercayaiku? Atau malah apakah mungkin perasaan yang seharusnya tumbuh padamu dalam pernikahan kita, belum juga muncul dan mencintaiku? Atau tidak, apakah trauma padamu adalah kesimpulanku, yang bahkan kau tidak berpikir bahwa itu iya? Aku berharap kau masih memiliki nafas panjang menjelaskanku, sama seperti kau menceritakan kisahmu, Kinan. Tapi pertanyaan-pertanyaan bodoh itu hanya berakhir di kepalaku, yang kuharap sama dengan pertanyaan randommu saat berumur 14 tahun, yang sejam kau pikirkan, dan sejam selanjutnya kau nikmati. Tapi aku tidak tau apa bisa menikmatinya, dengan kalimat terakhir perpisahanmu yang terngiang-ngiang – dengan manik bola matamu yang penuh dengan air mata.
“Itu adalah cinta pada pandangan pertama, pada pandangan terakhir, pada pandangan selama-lamanya.2 Ada saat-saat ketika aku tahu perasaanku, dan rasanya seperti di neraka, Sayangku”
1 Halaman 412 Novel Lolita karya Vladimir Nabokov
2 Bagian Kedua, Bab 29 Novel Lolita karya Vladimir Nabokov
Penulis : PK
Editor : Dina
No Comment