Oleh: Oshinsky El Cordova
“Dengan tidak mengurangi peraturan yang akan ditetapkan selanjutnya dalam Undang-undang tentang Uang Republik Indonesia, maka sebagai dasar nilai ditentukan sepuluh rupiah uang Republik Indonesia sama dengan emas murni seberat lima Gram.”
— UU 1946 No.19, Pasal 1.
Pada tanggal tertentu, setiap Negara memiliki peringatan “Hari Kemerdekaan”. Dalam buku-buku sejarah yang diajarkan sejak di Sekolah Dasar dikisahkan bahwa kemerdekaan dicapai melalui berbagai perjuangan dalam waktu yang panjang. Di Indonesia dikabarkan bahwa sejak beberapa puluh tahun sebelum kemerdekaan diproklamasikan, para founding fathers[1] sudah melakukan berbagai persiapan, kegiatan, dan perjuangan, melalui apa yang diperkenalkan sebagai “Gerakan Kebangkitan Nasional”.
Berbagai penandanya disajikan sebagai bukti rentetan peristiwa menuju kemerdekaan, yakni kelahiran sebuah negara-bangsa[2] (nation-state). Rentetan peristiwa seperti kelahiran organisasi-organisasi pergerakan, lalu ada Sumpah Pemuda, penciptaan lambang dan simbol negara, yang semuanya berpuncak pada sebuah Konstitusi atau Undang-Undang Dasar beserta bulir-bulir burung yang fiksi itu.
Setelah itu, sebuah garis pemisah zaman pun ditarik dengan tegas. Bahwa masa sebelum detik proklamasi disebut zaman “pra-kemerdekaan”, dan yang sesudahnya adalah zaman “kemerdekaan”. Lalu berbagai pencitraan pun dilabelkan kepada dua zaman berbeda itu. Yang Pertama, Zaman penindasan dan penderitaan, zaman kebodohan, dan keterbelakangan. Yang Kedua, Zaman kebebasan, Zaman kemajuan dan pembangunan.
Kehidupan bangsa Indonesia pun mengalami proses serupa, seolah baru dimulai dari titik “kemerdekaan” itu. Proses keberlangsungan kehidupan selama ratusan tahun sebelumnya—beserta seluruh peradaban yang dihasilkannya, – seolah berhenti, dan bahkan hampir-hampir dianggap tidak ada dan masuk tong sampah sejarah. Ratusan tokoh, para pemimpin masyarakat, para Pangeran dan Sultan – di luar tokoh tokoh pergerakan nasional dan para “Bapak bangsa” (founding fathers) – terlempar ke latar belakang sejarah. Wajah mereka sekedar menghiasi dinding-dinding museum, atau lembar-lembar mata uang kertas, yang juga menjadi penanda utama lahirnya sebuah Negara-bangsa baru, yang di masa-masa sebelumnya tak dikenal masyarakat. Sebab mata uang yang dikenali sebelumnya adalah koin-koin yang terbuat dari emas atau perak, dan tembaga atau perunggu.
Nama-nama mereka sekedar diambil untuk menghiasi sejumlah bandar udara di berbagai kota di Indonesia. Istana-Istana mereka dirampas, direndahkan derajatnya menjadi museum, yang bersamaan dengan itu, terkubur pula tradisi masa lalu, dan tumpas sudah kemungkinan memiliki masa depan. Sultan-sultan yang kini masih ada, secara politik “ditiadakan”, dijadikan bagian dari ajang “Pariwisata dan Budaya” dunia tontonan belaka.
Lebih jauh dari itu, kehidupan pun dibelah dua: zaman modern yang didasarkan pada kebebasan persamaan, dan persaudaraan; dan zaman tradisional yang digambarkan sebagai terbelakang, feodalistik, dan penuh dengan aneka penindasan. Apa benar demikian? Bersamanya orientasi waktu pun dibelah dua;”konon di zaman dulu” dan “di zaman kini/zaman now”. Era kesultanan telah berakhir dan Era Republik menggantikannya. Zaman pun terus bergerak maju secara linier[3].
Dan, begitulah modus kehidupan baru itu terus bergulir tanpa pernah dipersoalkan. Kalau saat ini, dalam kenyataannya, sesudah 73 Tahun Indonesia mengenyam masa “kemerdekaan”, rakyat masih penuh penderitaan – untuk tidak mengatakan semakin menderita – maka dikatakan “cara kita mengisi kemerdekaan” yang keliru. Proses “pembangunan” yang telah kita jalankan beberapa puluh tahun itulah yang belum tepat, dan terus-menerus harus kita tingkatkan. Kita terus bergerak maju. Tidak pernah terlintas dalam sekejap pun pemikiran untuk melongok kembali ke belakang: Adakah yang salah dengan cara berkehidupan yang kita jalani?
Boleh jadi pernyataan berikut menghentak banyak orang; kata “pembangunan” yang selalu didengungkan sebagai “pengisi kemerdekaan” sebenarnya adalah kata sandi bagi “penindasan”. Sebab. Bila pernyataan ini diterima, maka kita perlu mencari cara membebaskan massa rakyat dari “penindasan-berlabel-pembangunan” yang menjajah kognisi.
Dan kalau “pembangunan” adalah raison d’etre[4] sebuah negara bangsa (nation-state), lalu apa konsekuensi lebih jauhnya bila ternyata “pembangunan” adalah “penindasan” yang harus dihentikan? Dan, kalau ”pembangunan” adalah tujuan dan isi “kemerdekaan”, lalu apa makna “kemerdekaan”, bila sejatinya “pembangunan” tiada lain adalah instrumen penindasan? Lantas bagaimana dengan kehendak kita untuk terus “maju dan menjadi modern”?
Marilah kita mengambil jarak sebentar dari seluruh bangunan pemahaman dan ideologi yang dicekokkan pada kita miliki selama ini. Ambillah sebuah parameter yang sama, yang sampai detik ini terus digunakan sebagai ukuran pencapaian zaman, yaitu kebebasan individu. Tetapi kebebasan individu yang hendak kita gunakan hendaknya adalah kebebasan yang mewujud dalam manjusia-manusia bebas sejati, bukan “kebebasan individu” palsu sebagaimana retorika liberalis humanis (yang menjadikan “kebebasan” sebagai slogan dan mantra populer sejak zaman pra-kemerdekaan). Yang kita dapatkan dalam sebuah negara-bangsa “merdeka” adalah kumpulan “individu atomik terisolasi” yang secara agregat membentuk massa pasif, yakni kumpulan manusia budak!
Sebagaimana kita saksikan hari ini, di sekeliling kita, di masa puncak kejayaan liberalism humanism (yang sekarang bermutasi menjadi Neoliberalisme[5]-karena telah berkuasa total atas Negara), yang ada adalah kumpulan massa-pasif dan jinak, yang bukan saja secara sosial submisif –tunduk-patuh- terhadap tatanan sosial yang menindasnya, tetapi juga hidup terprogram – socially programmable.
Warga Negara “merdeka” saat ini tidak lain adalah massa-pasif yang tidak merasa dirinya ditindas. Mereka terselimur oleh puluhan saluran Televisi, yang selama 24 jam yang menyuguhkan program-program yang bukan saja tidak mengandung unsur edukasi, tapi juga semakin tidak bermutu dan tidak diperlukan, dan tidak jelas arah dan tujuannya, baik dengan perut kenyang (di Negara “maju dan kaya”) maupun dengan perut lapar (“di Negara miskin dan terbelakang). Kepada publik disuguhkan mimpi lewat sinetron dan telenovela, tontonan pertandingan sepakbola yang mencipta biusan dan memperoleh profit dari kekaguman para fans, infotaikuchingment, berita-berita sainsfiksi yang an sich-pseudo akademik, serta kuis-kuis dengan hadiah melebihi rata-rata gaji sebulan seorang buruh untuk mereka yang berhasil menjawab pertanyaan bodoh – jika tidak ingin disebut tolol. Sementara kehidupannya sepenuhnya diatur, diadministrasikan, dan dikendalikan oleh Negara. Sedang harta kekayaannya terus dipajaki, dan juga dicuri oleh inflasi dan depresiasi nilai tukar uang kertas.
Demikianlah untuk memahami kondisi kita saat ini dengan lebih jernih, mari kita kupas rangkaian teknik yang digunakan dalam proses penindasan ini. Akan jelaslah bagi kita bahwa masa modern ini adalah masa gelap dalam kehidupan ummat manusia. Yakni cara hidup yang melawan fitrah secala alamiah. Dan karenanya, cara hidup ini tidak akan bertahan selamanya – yang saat ini telah berada dalam masa senjakala.
Masa jeda (interegnum), masa kehidupan tanpa kepemimpinan yang adil dan bertanggung jawab sekarang ini, akan segera berakhir secara alamiah. Konsekuensinya, zaman baru akan menyingsing. Sekaranglah senjakala Negara-bangsa. Kita berada di ambang keruntuhan demokrasi. Perristiwa ini harus kita sambut dengan merestorasi kehidupan masyarakat kita hidup yang sesuai dengan fitrah, sebuah nomos[6] yang sesuai fitrah manusia dan alam semesta.
Lima Metode Perbudakan
Kemerdekaan bangsa-bangsa, yang merupakan gerakan hampir serempak pada awal abad ke-20- yang terjadi di berbagai belahan bumi – sesungguhnya bukanlah sebuah gerakan spontan. “Kemerdekaan Politik” yang susul-menyusul di berbagai negeri hanyalah perubahan bentuk dari sistem yang sama menindasnya, yang sesungguhnya telah dimulai dua abad sebelumnya, melalui sebuah peristiwa yang kita kenal sebagai Revolusi Perancis (1789)[7]. Berubah bentuk dan wadahnya, tapi tidak pada substansinya: kolonialisme secara fisik berganti menjadi neo-kolonialisme yang tak kentara secara fisik.
Revolusi Perancis adalah bermulanya Masa Jeda panjang, yang ditandai dengan berakhirnya model kekuasaan atas dasar Kepemimpinan Personal (Personal Rule) yang digantikan oleh model kekuasaan yang didasarkan atas Kekuasaan Sistem (System Rule) – yang kelak disebut sebagai demokrasi. Pada sisi lain dari koin yang sama, Revolusi Perancis juga menandai awal bergantinya bentuk kekayaan, yang semula berbentuk asset riil berupa tanah serta koin emas dan perak, menjadi kekayaan semu berupa uang kertas yang sedang bermetamorfosis menjadi bit komputer.
Perubahan tersebut bukan sekedar pergantian bentuk, tetapi juga pemilikan. Kekayaan riil yang semula merata dimiliki oleh masyarakat, kini bertumpuk di tangan segelintir orang. Dalam sistem ini mereka, segelintir bankir memiliki hak istimewa untuk menyulap kekayaan riil itu menjadi kertas dan bit komputer yang seolah bernilai, yang kemudian dipaksakan berlaku umum, para bankir dapat menguasai hampir seluruh sumberdaya alam di dunia ini. Sesedikit 1% penduduk menguasai 99% kekayaan di bumi ini.
Revolusi Perancis adalah peristiwa yang menginstitusionalisasi dan mengabsahkan sistem akumulasi bunga finansial yang menjadi jantung kapitalisme. Itu yang terjadi di “Barat”. Di dunia “Timur”, peristiwa serupa berlangsung dengan diakhirinya Daulah Utsmani, melalui teknik yang sama, yaitu pengenalan dan pemaksaan Uang Kertas dan pemberlakuannya menjadi sistem akumulasi finansial (financial usury accumulation based system/utang berbunga dan mengakumulasi kapital massal berkala), yang bermuara pada terbentuknya “Republik Turki”. Terjadilah transformasi pemerintahan menjadi Negara, yang selalu diikuti dengan transformasi perdagangan menjadi akumulasi capital dengan bunga dan paper money deppression. Negara adalah penyatuan pemerintahan dan perbankan.
Selanjutnya, “Gerakan Kebangkitan Nasional”, yang diikuti lahirnya satu per satu Negara-negara bangsa pada abad ke-20- termasuk lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) – adalah pengukuhan dari sistem baru yang menindas “bangsa-bangsa baru” di wilayah-wilayah “pinggiran” – antara lain Kepulauan Nusantara yang kaya raya. Jalan terbentuknya sistem menindas ini ditengarai berlangsung melalui lima teknik yang akan diuraikan berikut ini. Yang biasa dinamakan Neo-kolonialisme.
Teknik Pertama
Teknik Pertama yang digunakan oleh para pelakunya adalah memberikan “kemerdekaan politik” dan memberikan kehormatan kepada “mantan kaum terjajah” sebagai “bangsa-nasional” melalui batasan geografis artifisial: Kesultanan Patani menjadi bagian dari Thailand, Kesultanan Kelantan sampai Temasek menjadi bagian dari Malaysia, Kesultanan Aceh, Jogja, Cirebon, Bintan, Gowa, Buton, Ternate sampai Raja Ampat menjadi bagian dari Indonesia, dan Kesultanan Sulu menjadi bagian dari Filipina. Sementara kaum Muslimin di Nusantara, di Viet Nam, Kamboja, dan Burma tercerai berai dan menjadi minoritas yang tertindas.
Demikian pula Nomos Utsmaniah dicincang-cincang menghasilkan Negara-negara bangsa si Timur Tengah dan Afrika. Libya, Aljazair, Maroko, Sudan, Mesir, Saudi Arabia, Yaman, Syria, Iraq dan Iran, dan seterusnya- yang kemudian sebagian besar masuk jebakan Otoritarianisme komunisme-sosialis yang memang disediakan sebagai negasi opposan kapitalisme-neoliberal. Nomos Moghul di anak Benua India tercabik-cabik menjadi minoritas di sebuah negeri penyembah batu dan gajah.
Demi status dan kebanggaan baru ini, pada tiap-tiap “bangsa merdeka” tersebut, dibangun mitos-mitos dan ritus-ritusnya sendiri secara seragam: lagu kebangsaan, bendera nasional, dan konstitusi berbasis hukum positif manusia belaka. Maka di Paris, di awal abad ke-20, di tengah “gerakan kemerdekaan dan nasionalisme”, hidup subur “toko-toko souvenir dan vandel” yang menjual jasanya bagi keperluan ini dengan menerima pesanan aneka desain bendera nasional, lagu kebangsaan, lambang Negara, yang komplit dengan slogannya.
Segala bengek-teteknya artefak budaya ini boleh saja beragam-ragam, tapi tidak dalam esensinya, yakni “dipisahkannya gereja dan Negara”; dengan doktrin-doktrin turunannya: “Toleransi” (Yang bermakna “Intoleransi”) agama, atau “Kebebasan” (yang berarti pemberangusan) agama-agama. Mitos-mitos Revolusi Perancis: Liberty, Egality, dan Fraternity menjadi mantra dan sesembahan baru di atas altar modernitas. Yang juga disebut sebagai sekularisasi. Pada titik ini, Konstitusi Hukum Positif karangan manusia telah menggeser kitab-kitab Agama yang murni. Rasionalisme[8] menggantikan Eksistensialisme[9].
Teknik Kedua
Teknik Kedua adalah pendefinisian “bangsa-bangsa baru” sebagai “bangsa terbelakang, miskin, berpenyakit, dan bodoh”. Afrika bahkan ditetapkan sebagai The Lost Continent, dan penduduknya, dengan meminjam dongeng-khayali Charles Darwin[10] (yang dinamai sebagai Teori Evolusi), dinisbatkan sebagai kemungkinan The Missing Link[11], makhluk peralihan “dari monyet-ke-manusia”. Asia, Amerika Latin, dan Afrika adalah Dunia Ketiga. Maka, meski “merdeka”, mereka adalah kaum tak beradab, dan arena itu didorong dan dibujuk-rayu untuk menjadi “bangsa maju”, thus butuh ‘pembangunan”. Teori Darwin pun menjadi mata ajaran wajib di sekolah-sekolah.
Maka, selain ilusi psikologis gelora nasionalisme, diwariskanlah kepada para bangsa baru itu dua sihir pembodohan massal lainnya – yakni Uang Kertas dan Bank Sentral – sebagai pengganti bedil, meriam, serta serdadu-serdadu beserta gubernur jenderalnya. Ini untuk melestarikan cengkeraman atasnya secara lebih murah, “etis dan bermartabat”, atas bangsa-bangsa “merdeka” di satu sisi. Di sisi lain inilah modus baru untuk ekspansi kapital, yang tidak lagi berupa koin emas dan perak melainkan uang kertas – atau lebih tepatnya numerologi – yang dengan mudah digelembungkan melalui cara-cara akumulasi kapital berbunga, dan pencetakan tanpa back up emas yang bias ditunaikan kembali. Kolonialisme, atau neo-kolonialisme, menemukan bentuknya yang lebih tak kentara, tetapi dengan efektifitas hampir sempurna. Kita dapat menyebutnya sebagai bankisme[12].
Ketika Soekarno dan Hatta menyatakan kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah Kolonial Belanda tidak serta merta mengakuinya, apalagi menyerahkan kedaulatan republik baru ini, kecuali beberapa syarat terpenuhi.
Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB)[13] pada 1949, kita menemukan sejumlaah kondisi pokok, antara lain:
- Pertama, penghentian Bank Negara Indonesia (BNI) 1946 sebagai Bank Sentral Reublik Indonesia, dan digantikan oleh N.V. De Javasche Bank, sebuah perusahaan swasta milik beberapa pedagang Yahudi Belanda. Bank ini kemudian berganti nama menjadi Bank Indonesiia (BI).
- Kedua, dengan lahirnya Bank Sentral baru, pencetakan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), sebagai salah satu wujud kedaulatan republik baru dihentikan, digantikan dengan uang Bank Indonesia (sejak 1952).
- Ketiga, bersamaan dengan itu, utang pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dollar AS – kepada para bankir swasta itu tentunya – diambil-alih dan menjadi “dosa bawaan” republik baru. Dosa bawaan utang Negara inilah yang memastikan jerat abadi (dalam bahasa bugis biasa dikenal istilah ‘’tado’ puli’’ atas bangsa Indonesia.
Teknik Ketiga
Teknik Ketiga, yang merupakan kepanjangan dari Teknik Kedua, adalah pemberian “Paket Bantuan Pembangunan”. Untuk dapat “membangun”, bangsa-bangsa “terbelakang,miskin, dan bodoh” – dalam definisi baru sebagai “Dunia Ketiga” tersebut – tentu memerlukan Uang. Maka disediakanlah “Paket Bantuan”, termasuk sumbangan untuk mendidik segelintir elitnya- tepatnya mengindoktinasi mereka dengan “ilmu ekonomi pembangunan”,”manajemen pemerintahan”; plus “pinjaman lunak dan bantuan pembangunan” – lewat lembaga-lembaga keuangan ribawi internasional (dengan dua lokomotifnya: IMF dan Bank Pembangun (IBRD)/Bank Dunia).
Kepada segelintir elit baru tersebut diajarkanlah ekonomi neo-klasik, dengan model pembiayaan melalui defisit-anggaran, dengan teknik Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) bersama mimpi-mimpi ilusif Rostowian (Teori Tinggal Landas yang terkenal itu). Tak lain, ini untuk membenarkan pemerintah bahwa pemerintah bisa berutang kepada Bank untuk kehidupannya. Sebagai legitimasi dan pembenaran bagi utang Negara ini adalah perlunya “proyek-proyek pembangunan” demi menyejahterakan rakyat yang diwadahi dalam APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Untuk hal-hal teknis, para teknokrat kemudian “didampingi” oleh para konsultan spesial – Para Economic Hit Man[14] sebagaimana dipersaksikan oleh John Perkins. Semuanya dilabeli dengan segerombolan kata-kata dan nama-nama indah: Kebijakan dan Perencanaan Publik!
Maka, utang luar negeri Indonesia yang di akhir masa Soekarno hanya 6,3 miliar dolar AS (dengan 4 miliar dolar diantaranya adalah warisan HIndia Belanda), Ketika Orde Baru berakhir, utang luar negeri Indonesia telah berlipat hampir 10 kalinya, menjadi 54 miliar dolar AS (posisi Desember 1997).
Lebih dari 10 tahun sesudah Soeharto lengser – yang kepada kita disebutkan sebagai Era Reformasi – utang luar negeri kita pun semakin membengkak menjadi lebih dari 150 miliar dolar AS pada akhir 2011. Meski setiap tahun harus dicicil, utang ini bukannya berkurang, tapi terus membengkak, hingga mencapai lebih dari 272 miliar dolar AS ada awal 2014. Bahkan Bank Indonesia (BI) mencatat, utang luar negeri Indonesia mencapai US$358 miliar pada akhir Juli 2018. Angka itu meningkat 4,1 persen dibanding periode sama 2017 (year on year/yoy). Jika dirupiahkan, utang luar negeri Indonesia itu setara Rp.5.191 triliun dengan asumsi Rp14.500 per dolar AS. Utang itu terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral serta swasta.
Teknik Keempat
Teknik Keempat adalah pengukuhan pada aras politik. Untuk memastikan tatanan status quo maka demokrasi diterapkan sebagai mesin kekuasaan politik. Demokrasi sesungguhnya instrument politik untuk – dalam istilah Nietszche[15] – “mengkonsolidasikan mediokrasi secara kokoh dan ampuh”. Demokrasi akan mencegah lahirnya manusia-manusia bermutu, pemimpin-pemimin sejati – Sang Overmachs[16] (Superman) dalam terminologi Nietzsche. Demokrasi memastikan pemerintahan tanpa otoritas, pembatasan domain politik pada tingkat “nasional”, yang semakin kehilangan kontrol atas sumber kekuasaan yang sebenarnya, yakni uang yang berada pada wilayah Supra-Nasional.
Dalam istilah pemikir Jerman abad ke-20, Carl Schmitt[17], kondisi ini disebut sebagai nihilism[18], “yakni pemisahan pemerintahan dari lokasi ” (separation of order from location). Pemerintahan yang tanpa otoritas memerintah. Christophe Rufin, seorang aktifis dan novelis Perancis, mendeskripsikannya sebagai berikut: “Pemisahan antara Realitas Nasional – yang suka atau tidak, adalah ranah tempat kontrol secara demokratis dapat dilakukan – dan realitas Supra-Nasional tempat keputusan-keputusan penting sebenarnya dibuat, adalah pilar utama otonomi kultur liberal[19]… membuat sistem ekonomi bebas dari kontrol demokratis” . Ini juga memungkinkan protes politik dapat terus dikekang, dengan dibatasinya hanya pada wilayah nasional. Pernahkah anda melihat bahwa keberhasilan kelompok demokratis tanpa kucuran fresh capital? It wouldn’t happened. Justru demokrasilah menjadi mesin kendali para bankir mengobok-obok kekayaan alam dan hasil panen suatu kawasan.
Ringkasnya, para Presiden atau Perdana Menteri, hanya dipilih secara demokratis, yang diatas kertas dikatakan sebagai “pemimpin sebuah bangsa merdeka”, tak lain adalah sepenuhnya boneka Oligarki Bankir Internasional. Governance direduksi menjadi service delivery industry. Tugas ganda pemerintah hanyalah menyerap utang berbunga dari para Bankir di satu sisi (lewat APBN) dan memajaki Rakyat untuk mencicil Utang-Abadi di sisi lain. Peran sesungguhnya Pemerintah (yang diperoleh melalui Pemilu) itu hanyalah mementingkan dan melindungi kepentingan kelas diatasnya; yakni para pemodal – yang dibungkus dalam kata sandi “Kepentingan Pasar”. Peran seorang Presiden atau Perdana Menteri bukanlah memerintah suatu wilayah, melainkan mengadministrasikann penduduknya, demi kepentingan kelas finansial itu.
Teknik Kelima
Teknik Kelima adalah perbudakan itu sendiri. Sesudah setiap individu warga negara dikontrol penuh melalui pengadministrasian penduduk, Pemajakan dan Utang-berbunga terus terus dilangsungkan. Ini sesudah didahului dengan penjualan Aset, komersialisasi[20] layanan jasa sosial yang semula menjadi tanggung jawab pemerintah (komersialisasi pendidikan, komersialisasi Pekuburan melalui Memorial Park, Balai Kesehatan menjadi Rumah Sakit Swasta yang Supermahal, Jalan dan Jembatan Umum menjadi Jalan Tol bertarif gila, Taman-taman kota juga Pesisir Kota yang nice-view diubah menjadi Dunia Fantasi dan Teater GrandMall, serta Sumber-sumber air yang disulap menjadi air dalam kemasan yang mesti anda beli, beli, dan beli.) – ringkasnya, transformasi pemilikan sosial kepada pemilikan Oligarki bankir. Warga negara ditransformasikan secara bertahap, dari manusia-manusia otonom merdeka dengan kebebasan individunya berubah menjadi buruh-upahan dengan bergaji rendah, lantas menjadi konsumen untuk menyerahkan semua produk yang dibuatnya sendiri selaku buruh, dan terakhir menjadi pengutang (debitur) – dan tentu saja, pada saat bersamaan, sebagai wajib pajak!
Setiap individu penduduk negeri diadministrasikan secara total, sejak Ia lahir, dengan selembar kertas bernama Akte Kelahiran, dikukuhkan dengan selembar kertas lain bernama Kartu Tanda Penduduk (KTP). Selanjutnya segala bentuk kehidupan masing-masing orang dikendalikan dengan “dokumen” yang beraneka ragam: Buku Nikah, Kartu Keluarga, Paspor, BPKB, Akta Tanah, NPWP, dan diakhiri dengan selembar “Surat Keterangan Kematian”. Kelak semua akan diintegrasikan dalam sebuah kartu identitas tunggal Nomor Induk Penduduk – yang secara digital dikaitkan dengan sebuah akun rekening Bank. Proses ini telah pula diawali dengan KTP Elektronik (e-KTP). Kehidupan setiap orang dikontrol dari buaian hingga liang lahat.
Selain itu, teknologi Smartphone yang mengintegrasikan data form social media yang anda gunakan sehari-harinya mulai dari e-mail, facebook, twitter ,IG, Path, WA, Line, dll. serta Jaringan Operator akan menjual data dan juga pergerakan mobilitas anda pada institusi pemerintahan dan layanan jasa profit lainnya. Sehingga tak lama lagi akan menjadi pelacak informasi dan keberadaan anda meski dalam keadaan non-aktif berikut pula rekaman fragmen gambar-gambar selfie dan lintasan maps anda selama ini. Selamat datang di Era perbudakan 4.0.
Hasilnya adalah perbudakan massal. Masyarakat menjadi tak lebih dari kumpulan individu-individu robotik, tunduk patuh ada tatanan sosial yang menindas – yang bahkan tak lagi dirasakan sebagai penindasan, apalagi ada keinginan untuk melepaskan diri dari perbudakan ini. Pemilikan hampir sepenuhnya berpindah tangan. Setiap orang yang hendak memiliki rumah, kendaraan, alat-alat rumah tangga, layanan pendidikan dan kesehatan – bahkan keperluan pokok seperti energi dan pangan, dan bahkan untuk jaminan hidup di hari tua sekalipun – harus membayarnya kepada satu dan hanya satu pihak saja: Para Bankir.
Kita telah sampai pada kekuasaan Debtorship atau dalam bahasa Maurizio Lazzarato[21] “We Under Governing By Debt”. “Para mahasiswa Amerika mewakili masyarakat keuangan yang ideal. Kelompok social ini terdiri atas mayoritas debitor dan minoritas anak-anak dari kreditor kaya. Dalam produksi pengetahuan, pembagian kelas tidak lagi tergantung pada oposisi antara kapitalis dan pennerima gaji dari kerja buruh upahan, tetapi pada debitor dan kreditor. Inilah model yang ingin diterapkan para elit kapitalis perbankan ke seluruh masyarakat”. Dalam argumentasinya juga dijelaskan, bahwa di bawah kapitalisme, utang telah menjadi tidak terbatas dan tidak dapat ditampilkan, mengungkapkan hubungan politik dari penindasan dan perbudakan. Pada titik ini, negara bangsa (nation-state) telah menjadi tidak relevan. Penduduk diseluruh dunia dikendalikan secara global oleh kekuatan Oligarki pemilik-pemilik Bank Raksasa. Negara telah menjadi penjara sekaligus pelindung dan penjaga berlangsungnya aksi perampokan massal para bankir.
Para Presiden, Perdana Menteri, dan para “wakil rakyat” serta Plokish sepenuhnya menjadi benteng pelindung bagi penguasa sejati di balik layar, Para Oligarkis Lintah Darat Perbankan tersebut yang menurut Sebastian Saragih[22] di satu sisi juga membiayai nyaris seluruh NGO dan LSM penopang Demokrasi dan Hukum Positif (keadilan semu yang bahkan meredam gerakan perlawanan social[23]) melalui Lembaga-lembaga donor Philanthropis Internasional maupun Regional untuk memastikan Dana Bantuan (Utang maupun Hibah) yang dikelola Pemerintahan berjalan sesuai rencana demokrasi. Sehingga beberapa NGO Anti-Korupsi dipastikan bertugas memantau kapital berjalan sesuai rencana mesin capital berbasis bunga dan financial usury accumulation system. Begitu pula tak boleh ada korupsi didalamnya, disinilah peranan LSM-LSM anti Korupsi yang menanti Donatur Penjudi Obligasi dan Mafia Sawit serupa George Soros[24] dan jaringan klan Bankirnya sebagai pemasok dana-dana dari laba-laba kredit-kredit dan berbunga-bunga.●
To be Ornop To be LSM Continued…
CATATAN KAKI
[1] Istilah Founding Fathers merujuk kepada 68 orang tokoh Indonesia yang memperjuangkan Kemerdekaan Bangsa Indonesia dari Penjajahan bangsa lainnya dan berperan dalam perumusan bentuk atau format negara yang akan dikelola setelah kemerdekaan yang tak kunjung terwujud itu diproklamirkan.
[2] Tatanan global kontemporer didominasi oleh sistem (nation-state). Meskipun konsep bangsa sendiri masih ambigu namun ini tetap digunakan sebagai pembentuk identitas politik. Kehadiran negara-bangsa bukanlah sesuatu yang alamiah politik tapi dapat dilacak dalam sejarah. Kemunculan negara-bangsa dimulai setelah berakhirnya Perang 30 Tahun di Eropa. Perang 30 Tahun (1618-1648) dilatarbelakangi oleh gejolak antara penguasa politik lokal dengan otoritas gereja. Gejolak ini berakibat pada melemahnya kerajaan Romawi yang dirintis oleh Charlemagne.
Perang ini berakhir melalui Perjanjian Westphalia (1648). Perjanjian ini mengakui bentuk-bentuk penguasa politik local seperti monarki, kepangeranan, kebaronan, keuskupan, negara kota, dan negara ordo sebagai penguasa teritorial politik independen. Dari sini muncul konsep kedaulatan (sovereignity). Kedaulatan menjadi prinsip utama dalam pembentukan sistem negara modern.
Sistem negara ini kemudian menyebar ke berbagai belahan bumi yang telah memiliki peradaban mapan seperti China, Inca, Utsmani dan Persia. Dalam pandangan mereka semua peradaban ini tidak dianggap sebagai penguasa politik berdaulat. Ini menjadi pembenaran Barat untuk melakukan kolonialisasi. Menguasai daerah-daerah tersebut untuk dijadikan koloni mereka.
Pada akhir abad 18 dan awal 19 sejumlah koloni-koloni ini melepaskan diri dari negara induknya. Lepasnya negara kolonial ini dipengaruhi oleh Revolusi Prancis. Revolusi ini melahirkan kesadaran tentang hak-hak warga negara (civil rights) dan penentuan nasib sendiri (self-determination) yang sangat paradox dan ganjal karena tak dibarengi oleh penentuan secara otonom sistem erdagangan dan alat tukar mata uang.
Selanjutnya sistem negara ini terus berlanjut hingga berakhirnya Perang Dunia II. Ide tentang penentuan nasib sendiri mendorong orang untuk mendirikan negara berdaulat sendiri.
Akibat menyebarnya sistem negara-bangsa, dimana ketika mahasiswa-mahasiswa calon pemimpin di negara koloni disekolahkan disekolah negara panjajah bangsa mereka sendiri, sejumlah imperium besar runtuh menjadi beberapa negara yang lebih kecil. Seperti Turki Usmani yang kalah dalam Perang Dunia I yang wilayahnya dibagi-bagi dibawah pengawasan Inggris dan Prancis. Menyisakan wilayah Asia kecil yang menjadi Republik Turki. Lebih lanjut lihat pula dalam: Walter C. Opello, Jr. and Stephen J. Rosow, The Nation-state and global order: a historical Introduction to contemporary politics 2nd ed, (Boulder: Lynne Rienner Publisher, 2004)
[3] Yang menjadi variable adalah moment-moment bagaimana kekuasaan dikonsolidasikan dan dilegalkan dari masa-ke masa sebagai indikator konfigurasi perubahan kronologis tatanan politik.
[4] Raison D’etre (Reason To Be/Alasan Menjadi) a.k.a. reason for being ; or the purpose that justifies a thing’s existence.
[5] Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi politik mengacu pada filosofi ekonomi-politik akhir-abad ke-20, sebenarnya merupakan redefinisi dan kelanjutan dari liberalisme klasik yang dipengaruhi oleh teori perekonomian neoklasik yang mengurangi atau menolak penghambatan oleh pemerintah dalam ekonomi domestik karena akan mengarah pada penciptaan Distorsi dan High Cost Economy yang kemudian akan berujung pada tindakan koruptif. Paham ini memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas yang difasilitasi oleh negara-negara merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi yang dimana pelaku kapital perbankan era papermoney (dan numerology fiscal) yang terwujud dari ekspresi suatu negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan standar hidup masyarakat (dengan indikator PDB dan warisan neoklasik lainnya) atau rakyat sebuah negara dan modernisasi melalui peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi dan penerapan skema utang berbunga. Lihat dalam : Auguste Walras (1800-66), French economist, author of De la nature de la richesse et de l’origine de la valeur (“On the Nature of Wealth and on the Origin of Value”), 1848. Dia adalah yang pertama kali melakukan percobaan penerapan numerology untuk pemecahan masalah ekonomi menurut Pierre Bordieu. Lebih lanjut: https://mondediplo.com/1998/12/08bourdieu
[6] Nomos sendiri berasal dari bahasa Yunani νόμος (nomos) yang berarti “peraturan, aturan, atau hukum“.
[7] Revolusi Perancis (bahasa Perancis: Révolution française; 1789–1799), adalah suatu periode sosial radikal dan pergolakan politik di Perancis yang memiliki dampak abadi terhadap sejarah Perancis, dan lebih luas lagi, terhadap Eropa secara keseluruhan. Monarki absolut yang telah memerintah Perancis selama berabad-abad runtuh dalam waktu tiga tahun. Rakyat Perancis mengalami transformasi sosial politik yang epik; feodalisme, aristokrasi, dan monarki mutlak diruntuhkan oleh kelompok politik radikal sayap kiri, oleh massa di jalan-jalan, dan oleh masyarakat petani di perdesaan. Ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan Gereja Katolik digulingkan secara tiba-tiba dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Ketakutan terhadap penggulingan menyebar pada monarki lainnya di seluruh Eropa, yang berupaya mengembalikan tradisi-tradisi monarki lama untuk mencegah pemberontakan rakyat. Pertentangan antara pendukung dan penentang Revolusi terus terjadi selama dua abad berikutnya.
Di tengah-tengah krisis keuangan yang melanda Perancis, Louis XVI naik takhta pada tahun 1774. Pemerintahan Louis XVI yang tidak kompeten semakin menambah kebencian rakyat terhadap monarki. Didorong oleh sedang berkembangnya ide Pencerahan dan sentimen radikal, Revolusi Perancis pun dimulai pada tahun 1789 dengan diadakannya pertemuan Etats-Généraux pada bulan Mei. Tahun-tahun pertama Revolusi Perancis diawali dengan diproklamirkannya Sumpah Lapangan Tenis pada bulan Juni oleh Etats Ketiga, diikuti dengan serangan terhadap Bastille pada bulan Juli, Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara pada bulan Agustus, dan mars kaum wanita di Versailles yang memaksa istana kerajaan pindah kembali ke Paris pada bulan Oktober. Beberapa tahun kedepannya, Revolusi Perancis didominasi oleh perjuangan kaum liberal dan sayap kiri pendukung monarki yang berupaya menggagalkan reformasi.
Sebuah negara republik didirikan pada bulan Desember 1792 dan Raja Louis XVI dieksekusi setahun kemudian. Perang Revolusi Perancis dimulai pada tahun 1792 dan berakhir dengan kemenangan Perancis secara spektakuler. Perancis berhasil menaklukkan Semenanjung Italia, Negara-Negara Rendah, dan sebagian besar wilayah di sebelah barat Rhine – prestasi terbesar Perancis selama berabad-abad.
Secara internal, sentimen radikal Revolusi berpuncak pada naiknya kekuasaan Maximilien Robespierre, Jacobin, dan kediktatoran virtual oleh Komite Keamanan Publik selama Pemerintahan Teror dari tahun 1793 hingga 1794. Selama periode ini, antara 16.000 hingga 40.000 rakyat Perancis tewas. Setelah jatuhnya Jacobin dan pengeksekusian Robespierre, Direktori mengambilalih kendali negara pada 1795 hingga 1799, lalu ia digantikan oleh Konsulat di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte pada tahun 1799.
Revolusi Perancis telah menimbulkan dampak yang mendalam terhadap perkembangan sejarah Modern. Pertumbuhan republik dan demokrasi liberal, menyebarnya sekularisme, perkembangan ideologi modern, dan penemuan gagasan perang total adalah beberapa warisan Revolusi Perancis. Peristiwa berikutnya yang juga terkait dengan Revolusi ini adalah Perang Napoleon, dua peristiwa restorasi monarki terpisah; Restorasi Bourbon dan Monarki Juli, serta dua revolusi lainnya pada tahun 1834 dan 1848 yang melahirkan Perancis modern. Selengkapnya lihat dalam : Bell, David Avrom (2007). The First Total War: Napoleon’s Europe and the birth of warfare as we know it. New York: Houghton Mifflin Harcourt. hlm. 51. The French Revolution, which began in 1789 and led to the total war of 1792–1815….
[8] Berasal dari bahasa Latin Ratio yang berarti akal. Menurut Hegel, adalah sebuah pendekatan yang menekankan akal budi sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamaatan inderawi.
[9] Merupakan paham cara pandang yang menandaskan segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi bukanlah proyek dari berpikir abstrak atau pengalaman kognitif, tetapi merupakan eksistensi ata pengalaman langsung, dan ditegaskan oleh Soren Kierkegard, Albert Camus, juga Friedrich Nietzsche bahwa eksistensi mendahului esensi.
[10] Charles Robert Darwin, ( 12 Februari 1809 – 19 April 1882) adalah seorang evolusionis dan ahli geologi Inggris, paling dikenal untuk kontribusinya kepada teori evolusi. Dia menetapkan bahwa semua spesies dari kehidupan telah diturunkan dari waktu ke waktu dari nenek moyang bersama, dan dalam publikasi bersama dengan Alfred Russel Wallace memperkenalkan teori ilmiah bahwa pola percabangan evolusi dihasilkan dari sebuah proses yang dia sebut seleksi alam, di mana perjuangan untuk eksistensi memiliki efek yang sama dengan seleksi buatan yang terlibat dalam pemuliaan selektif.
Darwin menerbitkan teori evolusi dengan bukti kuat dalam buku tahun 1859-nya On the Origin of Species, mengatasi penolakan ilmiah dari konsep awal dari transmutasi spesies. Pada 1870-an, komunitas ilmiah dan banyak dari masyarakat umum menerima evolusi sebagai fakta. Namun, banyak yang menyukai penjelasan yang menentang dan itu tidak diakui sampai munculnya sintesis evolusi modern dari tahun 1930-an sampai tahun 1950-an bahwa konsensus yang luas dikembangkan di mana seleksi alam adalah mekanisme dasar evolusi. Dalam bentuk yang dimodifikasi, penemuan ilmiah Darwin adalah teori pemersatu ilmu kehidupan, menjelaskan keanekaragaman kehidupan.
Bingung dengan distribusi geografis satwa liar dan fosil yang ia kumpulkan dalam pelayaran, Darwin memulai penyelidikan rinci dan pada 1838 menyusun teorinya tentang seleksi alam. Meskipun ia membahas ide-idenya dengan beberapa naturalis, ia butuh waktu untuk penelitian dan pekerjaan geologinya memiliki prioritas. Ia menuliskan teorinya pada tahun 1858 ketika Alfred Russel Wallace mengirimnya esai yang menggambarkan ide yang sama, mendorong segera publikasi bersama dari kedua teori mereka. Karya Darwin mendirikan penurunan dengan modifikasi evolusioner sebagai penjelasan ilmiah yang dominan dari diversifikasi di alam. Pada tahun 1871 ia memeriksa evolusi manusia dan seleksi seksual dalam The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex, diikuti oleh The Expression of the Emotions in Man and Animals. Penelitiannya pada tanaman diterbitkan dalam serangkaian buku, dan dalam buku terakhirnya, ia memeriksa cacing tanah dan efeknya pada tanah.
[11] Istilah The Missing Link atau mata rantai yang hilang ini populer setelah keluar Teori Darwin bahwa; asal mula semua kehidupan ini, termasuk manusia tentunya sebagai sorotan utama, bermula bukan dari ciptaan masing masing jenis secara khusus, melainkan terjadi dari bentuk kehidupan paling sederhana yang terus berevolusi, berubah secara pelahan lahan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Terjadi perubahan bentuk, sifat, perilaku dan kwalitas hidup menjadi makhluk baru yang lebih tinggi statusnya.
Diperlukan waktu yang tidak terbatas dalam usaha mencari dan menemukan `Mata Rantai yang Hilang` ini untuk bisa dinyatakan bahwa teori evolusi ini konkrit dan bisa dipertanggung jawabkan. Pengaruh teori Darwin ini cukup besar dan luas terhadap bidang Ilmu Pengetahuan lain. Umpama; Ilmu Pengetahuan terjadinya bumi dan seluruh isinya, Ilmu Perbintangan / Jagad Raya yang menjelaskan asal mula terjadinya benda benda angkasa ini dikaitkan serta mengadopsi teori Darwin walau masih terjadi banyak kontroversi satu dengan yang lain dan silang pendapat dari para Ilmuwan.
[12] Bankisme adalah bahasa prokem yang digunakan untuk menandai suatu ekspresi aneh dari kebanggaan yang lahir dari cara hidup yang psikosis terhadap financial usury accumulation system (pen.).
[13] Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia. Sebelum konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Lebih lengkap check this out: Kolff (pub) (1949), Hasil-Hasil Konperensi Medja Bundar sebagaimana diterima pada Persidangan Umum yang kedua Terlangsung Tangal 2 Nopember 1949 di Ridderzaal di Kota ‘S-Gravenhage (Results of the Round Table Conference as Accepted at the Plenary Session on 2 November 1949 at the Knight’s Hall [Parliament Building] in the Hague)(dalam bahasa Indonesian), Djakarta: Kolff.
[14] Confessions of an Economic Hit Man adalah buku yang ditulis oleh John Perkins dan diterbitkan pada tahun 2004. Buku ini berisi catatan Perkins mengenai kariernya sebagai “perusak ekonomi” (economic hitman). Menurutnya, ia telah menulis buku ini sejak tahun 1980-an, tetapi “ancaman atau suapan seringkali membuatku berhenti.”
Menurut bukunya, tugas Perkins adalah meyakinkan pemimpin politik dan finansial negara berkembang untuk berutang besar dengan institusi seperti Bank Dunia dan USAID. Setelah tidak bisa membayar, negara tersebut dipaksa tunduk terhadap tekanan politik dari Amerika Serikat mengenai berbagai masalah. Perkins menyatakan bahwa negara-negara berkembang dinetralkan secara politik, lalu jurang antara orang kaya dengan miskin diperlebar, dan ekonomi negara-negara tersebut dirusak untuk jangka panjang.
[15] Friedrich Wilhelm Nietzsche (lahir di Saxony, Prussia, 15 Oktober 1844 – meninggal di Weimar, 25 Agustus 1900 pada umur 55 tahun) adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno, filsuf, kritikus budaya, dan penyair aforistik. Dia menulis beberapa teks kritis terhadap agama, moralitas, budaya kontemporer, filsafat dan ilmu pengetahuan, menampilkan kesukaan untuk metafora, ironi dan pepatah. Ia merupakan salah seorang tokoh pertama dari eksistensialisme modern. Nietzsche juga dikenal sebagai “sang pembunuh Tuhan” (dalam Also sprach Zarathustra). Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zamannya (dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertung aller Werten) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan).
[16] Übermensch adalah konsep filsafat Friedrich Nietzsche. Nietzsche mengemukakan Übermensch sebagai tujuan hidup manusia dalam bukunya Maka Berbicaralah Zarathustra (bahasa Jerman: Also Sprach Zarathustra). Walaupun demikian dengan kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk menaklukan nihilisme (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung) dan memposisikan manusia sebagai manusia purna Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht). Dan bukan “makhluk buas-pirang”. Fasisme yang lahir kemudian: justru Ia manusia yang sudah mampu menguasai semua hasratnya, naik mengatasi persoalan hidup yang tidak rasional, dan memberikan gaya kreatif bagi karakternya yang kembali (eternal return).
[17] Carl Schmitt (bahasa Jerman: [ʃmɪt]; 11 Juli 1888 – 7 April 1985) adalah seorang ahli hukum dan ahli teori politik Jerman. Schmitt menulis secara ekstensif tentang pengelolaan kekuasaan politik efektif. Karyanya telah menjadi pengaruh besar pada teori politik berikutnya, teori hukum, filsafat kontinental, dan teologi politik. Sebagian besar karyanya tetap berpengaruh dan kontroversial saat ini karena hubungannya dengan Nazisme bersama Martin Heidegger, yang darinya ia dikenal sebagai “ahli hukum terbaik dari Reich Ketiga”. Selengkapnya: Carl Schmitt’s Concept of the Political by Charles E. Frye, The Journal of Politics, Vol. 28, No. 4 (Nov., 1966), pp. 818-830, Cambridge University Press.
[18] Nihilisme di sini juga dipahami sebagai ‘kedatangan kekal yang sama’ (atau dalam terminologi Nietzsche: ‘die Ewige Wiederkehr des Gleichen’) yang merupakan siklus berulang-ulang dalam kehidupan tanpa makna berarti di baliknya seperti datang dan perginya kegembiraan, duka, harapan, kenikmatan, kesakitan, ke-khilafan, dan seterusnya. Selain Nihilisme, Nietzsche juga mengulas mengenai Vitalitas, dan anti establist. Pada konteks nihilism Carl Schmitt, setiap esensi yang di labelkan terhadapnya dalah tak bermakna dan kosong, karena tak mempunyai eksistensi sama sekali, setiap manusia dalam demokrasi, tercerabut orisinalitasnya oleh sistem demokrasi yang seolah-olah terwakili, dan tubuh serta hasil kerjanya ditentukan, ditakar, dan dipajaki terus menerus sehingga Nampak keterpisahaan yang konkrit. Seperti adanya pemerintah, namun pemerintah dalam sistem kapitalisme demokrasi adalah budak pula bagi para bankir, terlilit utang yang terus menerus berbunga, memeras rakyatnya sendiri melalui pajak, dan masa bakti budak bankir yang temporer.
[19] Aforisme dalam karyanya La dictature libérale (The Liberal Dictatorship/Sang Diktator Liberal) ,1994.
[20] Program penyesuaian struktural (bahasa Inggris: Structural adjustment programme; SAP) terdiri dari pinjaman yang diberikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (WB) kepada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi. Dua lembaga Bretton Woods mensyaratkan negara peminjam untuk menerapkan kebijakan-kebijakan tertentu supaya bisa mendapatkan pinjaman baru (atau mengurangi bunga pinjaman pertama). Syarat pinjaman ini menuai kritik karena memiliki dampak besar terhadap sektor sosial.
SAP bertujuan mengurangi ketidakseimbangan fiskal negara peminjam dalam jangka pendek dan menengah dan menyiapkan ekonomi nasional untuk pertumbuhan jangka panjang.[2] Bank pemberi pinjaman menyusun SAP sesuai kebutuhan. IMF biasanya menerapkan kebijakan stabilisasi dan WB menangani tindakan penyesuaian.
SAP memungkinkan ekonomi negara-negara berkembang semakin berorientasi ke pasar. Hal ini kemudian memaksa mereka berfokus pada perdagangan dan produksi agar ekonominya tumbuh. Lewat persyaratan pinjaman, SAP umumnya memperkenalkan program dan kebijakan “pasar bebas”. Program-program ini meliputi perubahan dalam negeri (terutama swastanisasi dan deregulasi) dan perubahan luar negeri (terutama pengurangan hambatan perdagangan). Negara-negara yang gagal melaksanakan program tersebut akan dikenai sanksi fiskal ketat. Para kritikus berpendapat bahwa ancaman finansial terhadap negara-negara miskin mirip seperti pemerasan, dan negara miskin pun tak punya pilihan kecuali mematuhi persyaratan pinjaman tersebut.
Sejak akhir 1990-an, sejumlah pendukung penyesuaian struktural seperti Bank Dunia telah mengusung “pemberantasan kemiskinan” sebagai tujuan utamanya. SAP sering dikritik karena menerapkan kebijakan pasar bebas generik dan tidak adanya kemauan dari negara peminjam. Untuk meningkatkan keterlibatan negara peminjam, negara-negara berkembang saat ini disarankan untuk memanfaatkan Poverty Reduction Strategy Paper (PRSP), pengganti SAP. Beberapa pihak yakin bahwa peningkatan keterlibatan pemerintah daera dalam pembuatan kebijakan akan memunculkan rasa tanggung jawab bersama dan kebijakan fiskal yang lebih baik. Syarat PRSP mirip dengan syarat SAP bank yang asli. Para kritikus mengatakan bahwa kemiripan ini menunjukkan bahwa pihak bank dan negara yang mendanainya masih sangat terlibat dalam proses pembuatan kebijakan.
Kebijakan stabilisasi biasanya terdiri dari: pengurangan defisit neraca pembayaran melalui devaluasi mata uang, pengurangan defisit anggaran dengan menaikkan pajak dan mengurangi anggaran belanja pemerintah (biasanya disebut austeritas), restrukturisasi utang luar negeri, kebijakan moneter untuk menutup defisit pemerintah (biasanya dalam bentuk pinjaman dari bank sentral), peningkatan harga pangan untuk memangkas beban subsidi, peningkatan harga pelayanan masyarakat, pemotongan upah, pemotongan nilai kredit dalam negeri.
Kebijakan penyesuaian jangka panjang biasanya terdiri dari: liberalisasi pasar untuk menjamin adanya mekanisme harga, swastanisasi atau divestasi seluruh atau sebagian badan usaha milik pemerintah, pembentukan lembaga keuangan baru, perbaikan pemerintahan dan pemberantasan korupsi, pelaksanaan hak investor asing lewat hukum nasional, pengutamaan keluaran (output) ekonomi di sektor ekspor langsung dan pemanfaatan sumber daya, kestabilan investasi (melengkapi investasi langsung asing dengan membuka bursa saham dalam negeri).
Syarat-syarat tersebut kadang disebut Washington Consensus.
[21] Para ahli, pakar, dan politisi setuju: utang publik menghambat pertumbuhan dan meningkatkan pengangguran. Pemerintah harus mengurangi utang dengan segala cara jika mereka ingin memulihkan kepercayaan dan kembali pada jalan menuju kemakmuran. Diagnosis Maurizio Lazzarato, bagaimanapun, benar-benar berbeda: di bawah kapitalisme, utang tidak semata-mata masalah anggaran dan kekhawatiran ekonomi tetapi hubungan politik penaklukan dan perbudakan. Utang menjadi tidak terbatas dan tidak dapat dibayar. Ini mendisiplinkan populasi, panggilan untuk reformasi struktural, membenarkan tindakan keras otoriter, dan bahkan melegitimasi penangguhan demokrasi yang mendukung “pemerintah teknokratik” bergantung pada kepentingan modal. Krisis ekonomi 2008 hanya mempercepat pembentukan “kapitalisme Negara baru,” yang telah melakukan penyitaan besar kekayaan masyarakat melalui pajak. Dan siapa yang diuntungkan? Modal keuangan. Dalam situasi bencana sebelum terjadinya dua perang dunia, seluruh proses akumulasi sekarang diatur oleh keuangan, yang telah menyerap sektor-sektor yang pernah diabaikannya, seperti pendidikan tinggi, dan hari ini sering diidentifikasikan dengan kehidupan itu sendiri. Dihadapkan dengan malapetaka saat ini dan bencana yang akan datang, Lazzarato berpendapat, kita harus mengatasi keberanian kapitalis dan menghargai keberadaan, pengetahuan, dan teknologi kita.
Dalam bukunya Governing By Debt, Lazzarato menghadapi berbagai pemikir — dari Félix Guattari dan Michel Foucault hingga David Graeber dan Carl Schmitt — dan mengambil contoh dari Amerika Serikat dan Eropa untuk menyatakan bahwa sudah saatnya kita bersatu dalam penolakan kolektif status quo yang paling mengerikan ini.
[22] Saragih, Sebastian. 1995. Membedah Perut LSM. Jakarta: P.T. Penabar Swadaya
[23] Roy, Arundhati, 2016. The End Of Imagination. Chicago: Haymarket Books.
[24] Search: How Hungarian PM Orban, Sent’ Soros Foundation Packing
https://sputniknews.com/europe/201808141067193636-soros-orban-hungary/
The Hungarian government has established itself as a steadfast opponent of George Soros and the globalist agenda at the political and social levels, but now they have taken the battle spiritual, warning Soros is executing a Satanic scheme to destroy Europe.
https://www.sott.net/article/364474-Hungary-declares-George-Soros-an-Agent-of-Satan
Penulis merupakan anggota majelis peneliti tetap Cordova International Relations Department di Observeryfied Keadilan Alam Semesta Raya Ke Selatan Sulawesi (CITRA ORKESTRA SEKSI).
No Comment