catatankaki.org — Tidak kah kita takjub? Makassar dengan gegap gempita pembangunan kota, beton-beton yang menancap memecah tanah atau pagar yang memetak kepemilikan negara dan kapital, merupakan selangkah lagi menuju Kota Dunia? Ya. Mungkin konsepsi terhadap pemerintah sebagai pihak yang hadir untuk mewujudkan kesejahteraan bersama telah mengaburkan pandangan atau membuat kita mengamini setiap yang pemerintah rancang. Sarana dan prasarana, atribut hak, pembangunan, public goods (Layanan publik), fasilitas dan sebagainya, setidaknya mengantarkan pada kesimpulan: Pemerintah hadir untuk sejahteraan bersama, maka apa yang ia lakukan tentu tidak lain untuk kebajikan bersama.
Namun, tidak kah di antara kita melihat bahwa Kota Dunia yang dirancang oleh pemerintah dan konfigurasi kapital beserta institusi keuangan global di baliknya, adalah kekerasan? Bahwa pemberangusan “kekumuhan”, yang berimbas pada penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Makassar atas nama estetika Kota Dunia, adalah kekerasan?!
Sampai di sini, mari menjangkarkan diri di sisi para PKL yang melapak di Jl. A. P Pettarani, tepat di hadapan Gedung Phinisi Universitas Negeri Makassar (UNM). Beberapa bulan yang lalu, pengusiran yang berusaha dilakukan oleh UNM untuk pembangunan pagar permanen sendiri tidak mencapai terangnya sebab UNM sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk menggusur. Namun ketiadaan kewenangan UNM bukanlah berarti penggusuran tidak terjadi. Penggusuran itu sedang menjelang, atas nama Pemerintah Kota Makassar demi relokasi ke PKL CENTER KAREBOSI. Relokasi, sebuah eufemisme istilah yang digunakan oleh pemerintah untuk mengganti penanda kata “penggusuran”, tetap ditolak oleh PKL. Alasannya sederhana: PKL telah melapak berdekade-dekade sebelum Gedung Phinisi menjulang dan pemerintah memacu Makassar menuju Kota Dunia!
Dini hari tadi, tepat Pukul 05.00 Wita di hari Jum’at (30/11/2018), aparatus represif negara datang untuk menjemput takdir penggusuran yang digaris-tangankan oleh pemerintah itu. Mobil Water Cannon, Pengurai Massa dan Polisi Perintis terlihat sedang bersiap “mengamankan” jalannya prosesi persembahan penggusuran sekitar jarak 20 Meter dari lelapak PKL. Melalui solidaritas, ratusan massa pun juga bersiaga menghadang penggusuran tersebut dengan memblokade Jl. A. P. Pettarani. Namun berselang 1 jam kemudian, mereka hanya memberi keterangan, bahwa belum ada penggusuran hari ini sebab Satuan Polisi Pamong Praja tidak hadir.
Tentu, untuk hari-hari ke depan, ketidakpastian adalah hal yang mutlak bagi PKL. Takdir penggusuran itu akan datang secara tiba-tiba, kapan saja. Pemerintah sebagai pewujud kesejahteraan bersama, tidaknya hanya mengorbankan rakyat yang notabene ia berbicara atas namanya. Ambisi dan mimpi pemerintah untuk Kota Dunia adalah kekerasan, dan PKL sebagai rakyat lemah itu sendiri adalah yang dikurbankan deminya.
Gejolak ini, tentu pula tidak terlepas dari natur pemerintah itu sendiri: Pemerintah pasti dan hanya akan memperlakukan rakyatnya sebagai seonggok tubuh atau objek untuk diatur, dikontrol, dinormalisasi, didisiplinkan, dipatuhkan, dan lebih tegasnya: ditindas.
Rakyat hanyalah objek politik dan bukanlah menjadi subjek. Rakyat sebagai subjek politik hanya sekedar retorika di tahun menjelang Pemilihan Umum untuk kepentingan pengisian kotak suara. Maka dari itu, pembangkangan adalah manifestasi sebagai subjek politik itu sendiri! mengutip Henry David Thoreau dalam bukunya, Civil Disobedience, “Ketidakpatuhan merupakan pondasi sejati. Orang yang patuh pastilah budak”.
Olehnya, barisan solidaritas akan terus terbuka untuk siapa pun yang murka terhadap Tuhan bernama pemerintah itu. Jika penggusuran adalah takdir yang digariskan pemerintah, maka takdir itu harus digariskan kembali melalui pembangkangan!
No Comment