Oleh:
Don Fahmi & Kokkino
Di awal pemerintahan Jokowi jilid II baru ini, lagi dan lagi kegaduhan memecah dengan keluarnya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang dikemas dalam bentuk Omnibus Law. RUU yang dibangga-banggakan ini sementara dalam proses pembahasan di DPR pusat. Apa tujuan besarnya? Tentu, untuk merevisi dan mencabut beberapa pasal dari induk UU yang dianggap tidak pro terhadap iklim investasi kondusif.
Omnibus Law yang diambil dari bahasa Latin, setidaknya memiliki artian “for everything”, atau untuk segalanya. Black Law Dictionary yang menjadi rujukan definisi istilah hukum sudah menjelaskan apa itu Omnibus Law. Intinya, konsep ini ibarat pepatah sekali mendayung, dua tiga pulau terlampau!
Implementasi konsep Omnibus Law dalam peraturan perundang-undangan itu lebih mengarah pada tradisi Anglo – Saxon, atau lebih dikenal dengan sistem hukum Common Law. Beberapa negara yang memang menerapkan sistem itu seperti Amerika Serikat, Kanada, Irlandia, Suriname, dan lain-lain, telah kerap menggunakan konsep tersebut. Semisal di Irlandia pada tahun 2008, pemerintahnya mengeluarkan sebuah UU yang sifatnya mencabut dan mengubah kurang lebih 3.225 UU.
Secara garis besar, RUU Cipta Kerja merupakan suatu UU yang dibuat untuk satu materi besar: investasi. Poin penting yang harus dicatat dalam kebijakan tersebut yaitu penyederhanaan perizinan demi investasi. Di mana beleid yang dicanang ini merubah dan mencabut sekaligus beberapa pasal dari induknya. Induk yang dimaksud ini adalah UU yang sering menjadi penghambat investor, dikarenakan proses perizinan dalam berbisnis yang sangat berbebelit-belit. RUU Cipta Kerja setidak-tidaknya akan memangkas hambatan demi hambatan itu.
Telah menjadi pandangan umum, masuknya investasi dengan skala besar akan membuka lapangan kerja yang banyak pula. Jelas, bahwa perusahaan-perusahaan membutuhkan tenaga kerja atau buruh untuk mengelola perusahaannya. Namun jangan senang dulu! Karena substansi mengenai perburuhan juga dibahas dalam RUU Cipta Kerja: mulai dari mudahya kaum buruh untuk di-PHK (easy hiring – easy firing), dihapusnya beberapa hak cuti pekerja, perubahan skema pesangon, bertambahnya jam kerja yang mencapai 8 jam kerja per hari dalam seminggu (6 hari), upah berbasis jam kerja, serta problema lainnya. Pula tak bisa dipungkiri, dampak yang akan ditimbulkan dari investasi besar-besaran adalah kerusakan lingkungan bahkan sampai perampasan lahan yang semakin meluas. Dengan kebijakan itu, kaum buruh dengan teguh bergerak malakukan penolakan karena dianggap tidak pro terhadap rakyat.
Kampus (yang Benar-Benar) Merdeka?
Kehadiran RUU Cipta Kerja dibarengi hadirnya kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Kampus Merdeka. Menjadi pertanyaan bagi kita. Apakah mahasiswa dipersiapkan untuk jadi buruh? Dan apa yang terlintas dipikiran kalian ketika mendengar kata ‘kampus’? Dalam pendiskusian kami berdua, kampus merupakan sarana pendidikan sebagaimana ujar salah seorang dari kami sembari memetik gitar mendendang tembang Iwan Fals yang berjudul sarjana muda kala itu.
Diskusi kami semakin mendalam dengan mengurai kata ‘kampus’ lebih dalam. Kampus, pada awalnya digambarkan sebuah lapangan luas tempat di mana proses belajar mengajar dan administrasi berlangsung. Baru pada abad ke-18 kata kampus digunakan untuk menggambarkan sebuah universitas Collage of New Jersey yang sekarang berganti nama menjadi Princeton University. Sekarang, kampus dipahami sebagai tempat belajar dan mendiskusikan segala hal tanpa batas. Sarat akan ilmu pengetahuan yang kemudian bermanfaat bagi peradaban manusia kelak.
Kebijakan Kampus Merdeka itu dikeluarkan sejak rapat koordinasi kebijakan pendidikan tinggi pada Jumat 24 januari 2020. Dalam ceramahnya, kebijakan ini untuk membantu perguruan tinggi mencapai ‘target’nya. Perguruan tinggi harus lebih cepat berinovasi dibanding jalur pendidikan lainnya. Juga harus adaptif dan fleksibel menyesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja, ujar Nadiem Makarim.
Dalam kebijakan ini kampus merdeka memberikan otonomi sepenuhnya bagi kampus negeri dan swasta yang berakreditasi A atau B untuk membuka program studi (prodi) baru. Prodi baru dapat diajukan ketika telah bekerja sama dengan mitra perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral dan TOP 100 QS.
Kebijakan ini memerintahkan perguruan tinggi agar wajib memberikan Satuan Kredit Semester (SKS) sebagai ‘hak’ kepada mahasiwa di luar kampus sebanyak 2 semester lamanya, setara 40 SKS. Selain itu mahasiswa dapat mengambil lagi 20 SKS di prodi lain. Angka 40 SKS yang dimaksud adalah belajar kerja di mana saja, asalkan, lagi-lagi harus berdasarkan rekomendasi pemerintah dan mitra kerja saja.
Mengenai SKS tentu akan mengalami perubahan. Setiap SKS diartikan sebagai “jam kegiatan”, bukan lagi “jam belajar” sebagaimana titah Nadiem. Jam kegiatan yang dimaksud adalah belajar di kelas, praktik kerja alias magang, pertukaran pelajar, proyek di desa, wirausaha, riset, studi independen, dan kegiatan mengajar di daerah terpencil. Dan semua jenis yang dipilih harus dibimbing seorang dosen yang ditentukan perguruan tinggi.
Persyaratan untuk menjadi perguruan tinggi berbadan hukum (PTN-BH) bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) dipermudah persyaratanya. PTN BLU dan Satker dapat mengajukan untuk menjadi badan hukum tanpa ada akreditasi minimum. Dan dapat mengajukan permohonan menjadi Badan Hukum (BH) kapan pun apabila merasa sudah siap.
Secara otomatis, PTN-BH berarti harus belajar mandiri (setidaknya belajar mandi sendiri) soal membiayai dirinya sendiri. Kira – kira kampus mau ambil uang di mana kalau tidak memanfaatkan aset yang ada di kampus yang bisa dijajakan menjadi uang bagi para investor? dan bisa juga memperbanyak golongan uang kuliah tunggal. Atau bahkan juga menggunakan, serta meningkatkan pemungutan uang pangkal bagi mahasiswa yang melewati jalur tikus mandiri.
Selain itu, mahasiswa juga diberikan hak untuk melakukan magang di instansi pemerintah atau mitra perusahaan yang bersekongkol dengan perguruan tinggi. Dengan ini, secara tidak langsung mahasiswa diajarkan untuk bekerja, bukan untuk fokus belajar di kampus. Bayangkan jika kampus bekerja sama dengan perusahaan otomotif, bank dan perusahaan konsultan (Toh, misalkan).
Sekiranya apa yang terlintas di benak kalian jika magang di tempat itu. Apa yang akan kita dapatkan dan perusahaan dapatkan. Dengan dalil membiasakan diri bekerja dan mempraktikkan ilmu yang didapatkan selama di kampus, perusahaan mendapatkan tenaga kerja ‘murah’ yang tak lainnya mahasiswa magang itu sendiri. Jadi perusahaan tidak perlu lagi menggaji pekerja sesuai kebijakan upah minimum, karena ada mahasiswa yang nantinya magang. Perusahaan hanya perlu membangun mitra dengan kampus sesuai kesepakatan yang saling menguntungkan. Siap-siap kerja rodi bagai kuda dong!
Dengan demikian, kebijakan kampus merdeka adalah mempersiapkan mahasiswa untuk menjadi pekerja atau buruh yang bekerja di sebuah perusahaan. Secara tidak langsung kampus sebagai salah satu ranah pendidikan telah secara gamblang mengawinkan dirinya dengan kebutuhhan pasar tenaga kerja. Substansinya sudah membusuk di bawah sistem kapitalisme. Kita tak akan lagi menemukan substansinya sebagaimana yang dijelaskan Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan adalah penuntun segala kekuatan kodrat pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagian setinggi-tingginya. Atau seperti wejangan Paulo Freire yang menegaskan bahwa pendidikan itu memanusiakan manusia.
***
Jelas, Kampus Merdeka memiliki relasi dengan RUU Cipta Kerja. Bahwa kebijakan itu dipersiapkan untuk menunjang tujuan besar Omnibus Law. Pada dasarnya, kampus sebagai sarana pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa telah lari dari substansi yang sebenarnya. Apakah kita sebagai mahasiswa sekaligus masyarakat akan menerima kedua kebijakan tersebut? atau menyusul serikat buruh di garis perlawanan, menolak kebijakan yang mengancam kita?
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum (Angkatan 2016) dan Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Arkeologi (Angkatan 2018) UNHAS
No Comment