Tidak Ada Dialektika di Kampus Unhas-sebuah catatan penangkapan jurnalis pers mahasiswa


(Peringatan: Artikel ini mengandung perkataan tak pantas dari polisi yang dapat memicu tekanan emosional dan mental bagi pembaca)

“apa passlock akun instagram catatan kaki?” tanya penyelidik intimidatif, sebelum berita acara pemeriksaan (BAP) dimulai.

Aksi simbolik yang digelar di Fakultas Ilmu Budaya berakhir kemarahan. Kemarin, 28 November pukul 23.30 kami ditangkap. “keluarko semua!” teriak Amir Ilyas, suaranya menggelegar di sepenjuru koridor. Kami yang sedang menunggu hujan reda sambil membahas liputan, tak ayal kagetnya mendengar suara teriakan yang diulang-berulang seolah kami bersembunyi dari telinga.

Dengan wajah heran kami keluar dan bertanya, “apa ini pak? Kenapa ini?” Namun bukannya menjawab, Amir Ilyas malah berteriak membentak tanpa ada satu katapun yang jelas keluar dari mulutnya. Kami yang masih belum mengerti apa yang sedang terjadi, kembali mengajukan pertanyaan “Ada ap…” tapi belum sampai pertanyaan kami, tetiba saja suara langkah dan lari dari polisi datang dari berbagai arah mengepung, memenuhi lorong koridor sastra.   

Bersama satpam dan polisi, Amir Ilyas berteriak menyuruh kami patuh mengikuti arahannya. Arahan yang kami tahu pasti, bahwa itu bermakna penangkapan. Satu per satu nama kami kemudian dicatat, telepon genggam kami diambil paksa. Kami didorong, ditarik berbaris memanjang-menunduk, berjalan saling memegang bahu melewati Fisip menuju rektorat. Kami dibawa paksa layaknya pelaku kejahatan, bahkan tanpa adanya kejahatan dan surat penangkapan.

Kemarahan dan pembakaran fasilitas kampus dilakukan oleh sejumlah orang tak dikenal. Awalnya kami mengira bahwa penangkapan asal yang penuh teriakan intimidatif ini, sepertinya hanya upaya balas dendam kampus secara instan, yakni dengan mengintervensi aksi lanjutan dari kasus pelecehan seperti yang sudah-sudah. Namun itu dugaan sesaat sebelum Amir Ilyas teriak, “mana jurnalis caka?!”

Rektorat- 29 November, pukul 00.30 dini hari

Unhas habis hujan diselimuti kabut, dari balik pohon tinggi depan gedung lama teknik, kami melihat di halaman rektorat berdiri Muhammad Ruslin selaku WR 1 Unhas, Burhan Kadir (selanjutnya kami sebut: Kak Onil), dan Amir Ilyas. Didampingi polisi dan satpam, kami diminta berbaris di hadapan mereka. Kami didokumentasikan dari berbagai sisi. Identitas kami kembali ditanyakan; nama, fakultas, alamat, dan keterangan-keterangan lain yang sebelumnya telah dicatat. Kami dituduh pelaku pengrusakan, dan dengan suruhan Rektor Unhas Jamaluddin Jompa, kak Onil melakukan pelaporan di kepolisian—atas penangkapannya pada kami.

Sembari menunggu mobil yang akan membawa kami ke Polrestabes, terlihat Muhammad Ruslin, Amir Ilyas, dan Kak Onil berbincang pelan. Kami mulai curiga, sebab dari gerak-geriknya mereka seperti merencanakan hal lain. Namun belum lama kecurigaan kami berakhir, Amir Ilyas benar saja teriak, “mana jurnalis Caka?!”

Seperti sengaja menandai, kami kemudian dipisahkan dari kurang lebih 21 orang yang ditangkap. Kami yang bahkan tidak pernah sekalipun mengungkap identitas jurnalis kami, jelas saja tersentak dengan aksi busuk Unhas yang ternyata diam-diam memiliki maksud lain. Kami dipantau dengan modus keamanan berlebih, bahkan ke wc rektorat pun kami diikuti.

Polrestabes, pukul 01.30 lewat dini hari

Di Polrestabes makassar kami dipisahkan dari beberapa yang lain. Penyelidikan dimulai, kami dimasukkan di satu ruangan dan ditanyai dengan nada dan pertanyaan intimidatif. Tanpa ada surat keterangan dan penggeledahan, telepon genggam kami kembali diambil, barang bawaan kami digeledah, bahkan belakangan kami tahu, bahwa telepon genggam kami juga dibuka tanpa adanya surat perizinan atau apapun itu.

Sebagai saksi, kami dimintai keterangan tentang pembakaran yang terjadi di Fakultas Ilmu Budaya. Kami kemudian menjelaskan secara runut kejadian, dari sejak mulainya diadakan aksi protes terhadap sanksi yang diberikan kepada Firman Saleh, dosen pelaku pelecehan, sampai keluarnya surat DO pada massa aksi yang dinilai cacat secara prosedural. Kami juga menjelaskan terkait aksi simbolik yang diadakan pada hari Kamis, 28 November di fakultas. Kami juga menjelaskan bahwa kami ada di lokasi penangkapan, hanya sedang menunggu hujan reda—tanpa mengungkap bahwa kami sempat membahas liputan.

Namun alih-alih membahas keterangan kami, penyelidik yang sebelumnya memintai keterangan terkait pembakaran yang terjadi malah membalas, “Mana video pelecehannya kah? Liat dulu e, bagi-bagi. Biar dinikmati sama-sama, toh.” Dengan wajah terkekeh, tanpa rasa bersalah (Red: menjijikkan). Tanpa ekspresi, kami hanya merespon diam sikap tidak manusiawi yang ditampilkan oleh penyelidik.

Meskipun sebelumnya kami memang tidak pernah berharap banyak dari seorang penyelidik, tapi melihat sikap tidak manusiawi yang ditayangkan langsung di hadapan kami, tetap saja kami tidak menyangka jika etiket kemanusiawiannya bahkan hilang di tengah penyelidikan. Selain menangkap kami tanpa surat penangkapan, menggeledah telepon genggam dan barang bawaan kami tanpa surat penggeledahan, mengintimidasi kami dengan teriakan dan pertanyaan provokatif berlebih, sekarang malah melecehkan korban pelecehan—penyelidik yang senang nonton video pelecehan, entah mengapa bisa jadi penyelidik.

Rehat subuh. Pagi-Siang-Malam (Pukul tak diketahui. Disorientasi waktu, sebab telepon genggam disita)

Penyelidikan kembali dimulai. Kami kembali diarahkan menuju ruangan untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Penyelidik yang subuh tadi berganti menjadi penyelidik lain, namun sikap intimidatif dan perlakuan provokatif yang diberikan masih sama. Kami dipaksa mengaku sebagai pelaku pengrusakan cctv di fakultas.

Kami dipisahkan dari yang lain, penyelidikan perlahan lebih berani dari sebelumnya. Kami laun-laun diancam pukulan, ditelanjangi, bahkan diperpeloncohi dengan diminta melakukan set dan menyanyikan lagu Indonesia raya di hadapan para penyelidik. Dari ruangan BAP ke jatanras, lalu ke BAP, lalu ke jatanras, berulang-ulang kami dipaksa mengaku sebagai pelaku pengrusakan; atas dasar kamera cctv menangkap pelaku pengrusakan memiliki postur tubuh dan warna kulit yang sama dengan kami.

Berkali-kali kami dituduh, bahkan diancam akan ditelpon orang tua, dikeluarkan dari kampus, dan ancaman-ancaman lain yang dilayangkan tanpa adanya bukti yang jelas. Pagi ke siang, ke sore, mereka satu per satu mendatangi kami dengan berbagai muka dan maksud. Ada yang mendatangi kami untuk melayangkan tangan, ada yang mendatangi kami dengan pertanyaan seolah kawan, lalu ada yang mendatangi kami dengan memberikan provokasi lawan.

Hingga akhirnya alur penyelidikan berubah. Pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya masih berputar pada kasus pelecehan dan pembakaran, tetiba berubah haluan. Tanpa aba-aba, kami diminta keterangan sebagai jurnalis caka. Anehnya, penyelidik sama sekali tidak menanyakan liputan kasus pelecehan yang kami lakukan; penyelidik malah meminta keterangan kami dengan pertanyaan intimidatif terkait internal Caka. Seolah status saksi kami beberapa waktu lalu, tetiba berubah menjadi tersangka.

Laporan Pencemaran Nama Baik, oleh Ilham Prawira pada Catatan Kaki dan Semaun

(Penyelidikan malam, beberapa mahasiswa yang ditangkap telah dibebaskan). Di ruangan jatanras, kami masih menjalani proses penyelidikan. Di hadapan kami, berlembar-lembar kertas bukti pelaporan kasus pencemaran nama baik terpampang di meja. Beberapa judul tulisan Catatan Kaki terlampir di sana, bersama Semaun kami dilaporkan oleh Ilham Prawira atas kasus pencemaran nama baik kampus Unhas. Eksperimen Penghancuran “Tokoh Bangsa”, Kenaikan Ukt; Melindungi Rektor, Mengintimidasi Mahasiswa, 11 Mahasiswa dijemput Paksa oleh Kepolisian, dan masih banyak judul berita lain, yang diam-diam ternyata dilaporkan oleh Ilham Prawira atas kasus pencemaran nama baik. Sesaat kami berpikir, jika pers mahasiswa bahkan diam-diam dilaporkan di kepolisian oleh orang yang tak dikenal seperti ini, bukankah itu menunjukkan secara jelas gelagat Unhas yang begitu licik dan menjijikkan; menguliti sampai berdarah kebebasan intelektualitas mahasiswanya sendiri.

Kami dibawa paksa ke Polrestabes sebagai saksi pembakaran. Perubahan alur penyelidikan yang semula hanya saksi pembakaran, menjadi tersangka jurnalis yang melakukan pencemaran nama baik, jelas adalah hal yang janggal. Seolah kami memang disiapkan untuk ditangkap, dari pelaporan kasus pencemaran nama baik yang memang dari dulu telah disimpan. Padahal pun jika kami harus dilaporkan, pelaporan pers jelas bukan makanan kepolisian.

“Didapat hpmu, ada instagramnya Catatan Kaki.”

“Siapa saja adminnya Caka kah?”

“Hpmu ini kedapat login di Caka!”

“Siapa saja yang mengurus di Catatan Kaki? Semaun, apa yang kau tahu soal Semaun?”

“Kau pimrednya kah?”

“Apa passlocknya instagramnya caka?”

 “JAWABKO SAJA SETAHUMU!”

Pertanyaan provokatif dengan nada intimidatif terus dilayangkan kepada kami. Sengketa pers yang semestinya ada dalam ranah Dewan Pers, tetiba masuk di kepolisian sebagai kasus pencemaran nama baik. Anehnya, kami diminta bekerja sama, menjawab, melakukan BAP dari kasus yang tidak semestinya ada dalam penyelidikan kepolisian. Kepolisian tidak memiliki hak wewenang dalam menangani dan menanyai produk jurnalistik, maupun internal pers kami. Kami tidak mendapat surat panggilan kasus; dan jika kami harus melalui proses hukum dari liputan kami, itu hanya melalui Dewan Pers.

Kami bersikeras tidak akan menjawab tanpa dampingan hukum. Dengan sejumlah ancaman, dan penjelasan prosedural yang entah benar atau tidak, kami dipaksa dimintai keterangan. Bahkan telepon genggam kami yang login di Instagram Caka diambil dan diduga disadap. Kami lalu dibawa ke ruangan BAP, pertanyaan kembali diajukan, dan katanya ini adalah proses BAP—wajib dilakukan, tanpa dampingan LBH.

Pertanyaan mulai diajukan terkait internal Caka. Namun demi menjaga alur penyelidikan agar stabil, seminim mungkin kami menjawab pertanyaan penyelidik dengan cara yang paling aman. Hingga akhirnya kami bernapas lega mendengar di luar ruangan BAP, pendamping hukum telah datang.

Pendamping Hukum LBH, Dihalang-halangi Mendampingi Jurnalis Caka

Di luar kami mendengar keributan, terdengar pendamping hukum dan penyelidik bersitegang beberapa saat. Penyelidik hanya membolehkan satu pendamping hukum yang masuk, namun anehnya bahkan ketika satu pendamping hukum itu ingin masuk, mereka masih dihalang-halangi oleh sejumlah penyelidik yang menjaga di luar ruangan BAP.

Setelah didampingi oleh pendamping hukum, penyelidik kemudian mengatakan, “BAP dimulai!” kami diam sejenak, mengingat bahwa sebelum ini pun, sejumlah pertanyaan yang diberikan katanya adalah proses BAP. Berusaha berpikir positif, mungkin seperti itulah memang proses penyelidikan Polrestabes Makassar bekerja, menerima laporan pers padahal bukan dewan pers, dan melakukan BAP padahal BAP belum benar-benar dimulai.

Satu-satu pertanyaan kembali diajukan, namun tidak selancar BAP sebelumnya, BAP dengan pendamping hukum lebih banyak bersitegang yang terjadi. Pendamping hukum berkali-kali menekel dengan tegas penyelidik, bahwa sengketa pers mesti melalui Dewan Pers; dan Catatan Kaki sebagai pers mahasiswa, berada dalam lindungan MoU Dewan Pers dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dikti).

Proses penyelidikan kemudian berakhir, kami dibebaskan. Telepon genggam kami dikembalikan, dan belakangan kami diberikan surat penggeledahan untuk ditandatangani. Kami baru tahu, kalau surat penggeledahan Polrestabes diberikan setelah penggeledahan berakhir.

Tidak Ada Dialektika di Unhas, Tidak Ada Sama Sekali

Setelah dibebaskan, kami lalu berpikir; jika pelaporan kami sebagai persma mampu dilakukan begitu mudah, mungkin itu adalah alasan kenapa pengeluaran mahasiswa, dan penangkapan mahasiswa dilakukan begitu terang akhir-akhir ini. Seolah tidak ingin dibongkar aksi busuknya, laporan pencemaran nama baik selalu digunakan dalam membungkam mahasiswa. Anehnya, pelaporan yang diberikan, selalu janggal dan terkesan tidak masuk akal.

Pekerjaan jurnalis mahasiswa telah diakui oleh regulasi Indonesia. UU Pers No. 40 Tahun 1999 memberikan perlindungan akan kerja-kerja jurnalis mahasiswa, termasuk di dalamnya para awak Catatan Kaki. Upaya intimidasi dengan melaporkan karya jurnalistik Catatan Kaki ke polisi adalah bentuk ketidaktaatan para pejabat unhas terhadap regulasi Indonesia.

Apalagi Dewan Pers dan Dikti telah membuat MoU pada Senin, 18 Maret 2024, untuk memberikan perlindungan bagi kerja-kerja pers mahasiswa. Sehingga tindakan unhas melaporkan konten Caka dan intimidasi secara verbal bisa kami sebut sebuah upaya pembangkangan hukum oleh para pejabat sebuah perguruan tinggi negeri.

Pihak kampus seolah mencari jalan pintas dengan memboikot suara mahasiswa, menangkap asal, mengintimidasi, bahkan terbukti bekerja sama dengan polisi dalam memberikan intervensi (baca: laporan pencemaran nama baik kepada Catatan kaki dan Semaun). Tidak ada dialektika di Unhas. Tidak ada sama sekali. Akademisi dengan gelar menenteng di belakang nama, tidak lain hanyalah perabot kekuasan yang besar mulut tanpa telinga.


Redaksi Catatan Kaki

Previous KESAKSIAN PENANGKAPAN DAN PEMBEBASAN MAHASISWA UNHAS
Next TAKE A SAD SONG AND MAKE IT BETTER (surat terbuka untuk kita semua)

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *