Judul Buku: Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam
Penulis: Dian Purnomo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Cetakan 1, 2020
Tebal Buku: 320 halaman
ISBN: 9786020648453
Trigger Warning
***
Magi Diela berada diambang neraka. Ia diperhadapkan dengan beberapa pilihan, yakni meninggalkan orangtua dan tanah kelahirannya, menyerahkan diri kepada si mata keranjang, atau mencurangi kematiannya sendiri. Hancur sudah Impian Magi untuk membangun Sumba, tanah kelahirannya. Sirna sudah kehidupan yang didambakan Magi ketika ia mendapati dirinya menjadi korban pemerkosaan yang dibalut oleh istilah tradisi kawin tangkap.
Kawin culik atau Yappa Mawine merupakan salah satu adat ataupun tradisi yang berasal dari Sumba di mana perempuan diculik oleh laki-laki untuk diperistri. Hal ini dilakukan untuk mempersingkat urusan adat dan belis (mahar) pun sebelum tradisi ini dilakukan, maka pihak keluarga laki-laki dan perempuan sudah sepakat satu sama lain.
Tradisi inilah yang menimpa Magi. Dari sekian banyaknya kesialan saat itu, ia langsung mengalami mimpi terburuk dalam hidupnya. Diculik dan diperkosa oleh Leba Ali—laki laki yang ingin memperistri Magi. Hancur sudah harga dirinya ketika ia diperlakukan selayaknya binatang. Harapannya pun semakin hancur ketika mengetahui Ama Bobo (Ayah Magi) ternyata diam-diam telah menyetujui pernikahan putrinya dengan Leba Ali.
Dian Purnomo menggambarkan sosok Magi sebagai perempuan yang gigih, dan berani bersuara ketika kemerdekaannnya sebagai perempuan direnggut. Posisi Magi yang menjadi korban tidak dilihat seperti itu oleh keluarga dan orang-orang disekitarnya karena alasan adat.
Adapun tokoh Leba Ali adalah laki-laki angkuh, dalang dalam perenggutan kebebasan Magi dengan menggunakan tradisi kawin tangkap. Penyalahgunaan kekuasaan, posisi dan adat untuk memperistri Magi secara paksa hanya demi memuaskan hasrat dan nafsunya. Tak tanggung-tanggung banyak hal yang dilakukan oleh Leba Ali agar rencananya bisa terwujud.
Selain Leba Ali, orang terdekat Magi yang semakin menjerumuskannya, yakni Ama Bobo. Magi tidak menyangka bahwa ayahnya telah menyetujui dan keukeuh untuk menikahkannya dengan laki-laki mata keranjang itu. Sifat dominan Ama Bobo sebagai kepala keluarga yang memegang keputusan tertinggi membuat Magi semakin tidak berdaya dan memilih jalan yang tak ingin dilaluinya.
Bayaran Mahal sebuah Kebebasan
Magi adalah perempuan yang tangguh. Ketika kemerdekaannya sebagai perempuan direnggut ia tidak diam meratapi nasibnya, namun banyak melakukan segala cara agar dapat terbebas. Seperti dalam novel, saat Magi berusaha untuk kabur dari rumah Leba Ali, ia meminta pertolongan pada keluarganya. Hal yang sia-sia. Magi benar-benar pasrah dan memilih mencurangi kematiannya. Kematian tak secepat dirasakan Magi, ia masih bisa menghirup udara segar yang mencengkat lehernya. Sadar bahwa sekalipun mencurangi kematiannya tidak akan membuatnya bebas dan menang.
Perjuangan demi perjuangan Magi lakukan, bahkan harus kabur dari rumahnya, namun takdir lagi-lagi membawanya kembali. Sampai pada keputusan untuk menerima Leba Ali sebagai suaminya. Tidak menerima takdir begitu saja, tetapi Magi lagi-lagi membiarkan dirinya diperkosa dan mencurangi kematiannya sendiri. Adapun hal itu ia lakukan agar bisa mendapat kebebasan dan menjerumuskan Leba Ali ke dalam jeruji penjara. Saat itu mungkin, Magi boleh saja membunuh Leba Ali, akan tetapi ia tidak mau kematian menjemputnya lebih awal. Ia ingin laki-laki tersebut merasakan kesengsaraan dibalik perbuatannya.
Bukan hanya itu, Magi rela menempatkan dirinya pada jalan sepi yang tidak dilalui orang-orang. Stigma dan streotip jelas akan selalu mengikutinya. Lagi-lagi, semua hal itu dilakukan demi sebuah kebebasan dirinya.
Dari serentetan perjuangan Magi mengantarkan pada pertanyaan “Apakah kebebasan semahal itu?”
Apakah tidak ada kebebasan untuk menentukan hidup dan pilihan kita (perempuan) sendiri. Apakah dengan mencurangi kematian, barulah kita mendapat sebuah kebebasan itu seperti yang dilakukan Magi? Saya rasa jelas tidak, semuanya mungkin tidak akan bernasib sama dan seberani seorang Magi.
Perempuan dalam Belenggu Budaya Patriarki
Dalam masyarakat Sumba, mereka masih menganut budaya Patrilineal. Budaya ini merupakan sistem keturunan yang ditarik menurut garis ayah sehingga laki-laki lebih diutamakan dan menerima hak yang lebih semisal hak waris. Sementara Perempuan tidak menerima hak waris sebab ketika perempuan menikah, maka mereka akan menjadi milik keluarga suaminya dan akan berpindah ke kabisu (suku) sang suami. Sama seperti Tara, kakak ipar Magi yang berpindah kabisu menjadi Weetawar saat menikah. Selain dalam novel ini, sistem patriliniel dalam Masyarakat Sumba juga dapat dilihat dalam Film Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak. Ketika Marlina menjadi seorang janda, ia sendiri mendapat beban ganda untuk melunasi utang-utang suaminya, Marlina pun juga menjadi sangat rentan terkena kekerasan.
Adanya sistem di atas membuat perempuan di Sumba semakin terjerumus dalam budaya patriarki. Budaya patriarki menempatkan kedudukan dan posisi perempuan sebagai kelas kedua dan laki-laki menempati posisi utama. Dalam novel ini, perempuan sehari-harinya harus bekerja dalam ranah domestik dan tidak disarankan untuk bekerja di luar itu. Sehingga banyak perempuan yang tidak bersekolah tinggi-tinggi sebab ujung-ujungnya pun para perempuan akan menjadi milik keluarga laki-laki. Perempuan lebih dituntut untuk bisa menyenangkan suaminya lewat memasak, mengerjakan pekerjaan rumah dan bisa menenun. Adapun menurut Magi, kemungkinan ia disekolahkan tinggi-tinggi oleh orangtuanya semata-mata agar ia dibelis dengan mahal.
Selain itu, patriarki masih bisa dilihat dalam pengambilan keputusan pada musyawarah adat yang hanya dihadiri oleh kaum laki-laki saja dan perempuan sisa menunggu hasil keputusan. Seperti Ina Bobo (Ibu Magi) yang tidak bisa berbuat banyak untuk membantu Magi karena ia harus menyetujui dan mendukung keputusan Ama Bobo. Hal ini cenderung membuat perempuan tidak mampu mengembangkan potensi dan pemikiran di ruang publik.
Tidak hanya itu saja, sistem patriarki juga digambarkan lewat denah rumah di Sumba. Di mana ada terdapat pintu laki-laki yang terletak di depan dan hanya boleh dilewati oleh laki laki begitu pun dengan pintu perempuan yang terletak di samping dan berdekatan dengan dapur.
Dalam sistem masyarakat seperti ini, semakin melanggengkan perempuan sebagai kelompok rentan yang kerap mengalami kekerasan seperti dikutip dari Pos Kupang bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumba Timur terus mengalami peningkatan. Sejak tahun 2021 terdapat 63 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, lalu di tahun berikutnya terjadi peningkatan sebanyak 128 kasus. Pada dua tahun ini menunjukkan persentase peningkatan kasus kekerasan.
Kekerasan ini tidak dapat dihindarkan ketika budaya patriarki masih begitu melekat. Kasus seperti itu juga digambarkan Dian Purnomo pada mantan istri Leba Ali yang sering mengalami kekerasan oleh Leba Ali. Hingga memutuskan untuk meninggalkan Leba Ali. Magi pun ketika diperkosa oleh Leba Ali bukannya dipandang sebagai korban, ia malah dipaksa untuk segera menikah dengan pria tersebut.
Kawin culik ataupun kawin tangkap yang dialami Magi ini merupakan sebuah praktik pemaksaan pekawinan yang dibalut dengan adat. Pemaksaan yang muncul menjadi bentuk kekerasan dan pelecehan pada perempuan. Di mana hak-haknya direnggut, sebagaimana perempuan harus tunduk pada aturan dalam masyarakat.
Budaya kawin culik ini pun perlahan berubah tergerus oleh zaman. Kawin culik yang diperuntukkan pada awalnya untuk hal tertentu, kini telah banyak disalahgunakan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan dan adanya relasi kuasa.
Novel ini cukup kompleks mendedah kedudukan perempuan di tengah kontruksi masyarakat. Di luar sana pun masih banyak Magi lain yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan. Lewat Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam ini dapat menginspirasi bagi perempuan di luar sana untuk terus berjuang menyuarakan suaranya. Memperoleh hak sebagaimana mestinya dan berani melawan kungkungan ketidakadilan yang menimpanya
Sungguh Magi dan perempuan-perempuan lainnya sadar atau tidak, jelas telah banyak mengalami ketidakadilan gender. Mulai dari subordinasi, marginalisasi, stereotip, beban ganda sampai pada kekerasan, jelas digambarkan Dian Purnomo dalam novelnya.
“Tangisnya kepada bulan hitam adalah tangis perempuan yang tubuhnya masih menjadi properti laki-laki. Kisah perempuan lain masih mungkin akan diusir dengan tinta darah, selama pendewaan terhadap adat mengalahkan logika dan kemanusiaan.” Hlm. 312
Reporter: Pinklily
No Comment