Aparat Masuk Kampus: Teror Ketakutan Kebebasan Sipil


“Polisi adalah sipil-sipil yang dipersenjatai, mereka diberikan kewenangan oleh negara itu untuk memegang senjata, jadi setiap tindakan itu harus dipertanggungjawabkan”

-Hasbi Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Makassar pada konfrensi pers “Kebrutalan Negara”

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Imu Sosial dan Hukum  (FIS-H) Universitas Negeri Makassar (UNM)  mengadakan konferensi pers merespon represi yang menimpa mereka pasca demonstrasi Hari Buruh 1 Mei 2024. Konferensi pers ini dihadiri para korban, presiden BEM, serta pengacara LBH Makassar di Taman FIS-H UNM Gunung sari pada Selasa (7/5/24).

Bintang, Presiden BEM FIS-H, kembali menjelaskan kronologi kejadian yang menimpanya dan kawan-kawannya. Pasca melakukan demonstrasi bersama Komite Rakyat Berdaulat (KERABAT) mereka langsung kembali ke kampus untuk beristirahat. Ia mengecam masuknya polisi ke dalam kampus dan tegas mengatakan bahwa pembakaran ban pasca aksi bukan merupakan tindakan yang dilakukan massa aksi.

“Jelas kami tidak terkait, karena pada saat massa aksi kami belum sampai di kampus sudah ada sekelompok orang yang melakukan pembakaran,” tegasnya.

Bintang juga mengaku sempat berupaya melakukan negosiasi dengan pihak kepolisian, namun hasilnya nihil, penyerangan terhadap mereka tetap terjadi. Hal ini juga cukup mencurigakan karena instruksi penyerangan hanya terjadi pada area FIS-H padahal tepat di samping terdapat area gedung UKM yang tidak tersentuh sedikit pun.

“Sebelum melakukan penyisiran saya sudah berada di tengah aparat berusaha berkoordinasi. Namun, mereka lantas langsung menyisir dan menyerang mahasiswa dilingkup lembaga FIS-H. Aparat itu masuk hanya menyisir lingkup FIS-H padahal di samping gedung FIS-H itu ada gedung UKM. Namun aparat sama sekali tidak menyentuh area tersebut, kedua area ini sedang ada kegiatan kelembagaan,” ungkapnya

“Memang ada instruksi langsung dari pimpinan kepolisian kepada anggotanya untuk langsung mengambil seluruh mahasiswa yang berada dilingkup FIS-H terutama yang laki-laki,” lanjut Bintang.

Kabar represi yang menimpa mahasiswa FIS-H UNM tersebar sangat cepat melalui internet. Bintang menilai beberapa media tidak mengakomodir kesaksian mereka sebagai korban sehingga tersebar berita palsu tentang adanya mahasiswa FIS-H yang ditahan di Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Makassar.

“Tidak ada mahasiswa FIS-H yang di bawah ke polrestabes,” tegasnya.

Kesaksian korban

  1. Rafli                                                                                                                                 

Mahasiswa Pendidikan sosiologi FIS-H UNM

Rafli bukanlah bagian dari massa aksi yang melakukan demonstrasi pada aksi May Day. Saat itu, ia berada di kampus untuk latihan persiapan inaugurasi angkatan. Sekitar pukul 18.20 Wita polisi mulai masuk ke dalam kampus, dengan panik Rafli dan kawannya berusaha menjelaskan bahwa mereka bukanlah bagian dari massa aksi. Namun, polisi tak peduli dan tetap mengejar mereka. Mereka terengah-engah berlari menuju sekretariat dan mengunci pintu, tetapi polisi berhasil meruntuhkan pertahanan pintu sekretariat hanya dengan empat kali mendobrak. Tanpa diberi kesempatan menjelaskan pipi bagian kanan Rafli dipukul.

“Kenapa dipukulka pak,” tanya Rafli keheranan.

“Karena kau berkeringat,” Rafli berusaha menirukan jawaban polisi.

Rafli tak menyangka alasan remeh semacam itu menjadi sebab lebam di pipi bagian kanannya.

“Saya kira manusia itu normalji berkeringat,” ucapnya pada pers sambil sedikit tertawa miris.

2. Mu`min

Mahasiswa PPKn FIS-H UNM

Sepulangnya dari aksi, Mu`min melihat ada sekelompok orang melakukan pembakaran ban dan memblokade jalan pendidikan tepatnya di depan pintu gerbang UNM Gunung sari. Sebab tak saling mengenal, ia dan massa aksi lain tidak menghiraukan hal tersebut serta langsung menuju sekretariat lembaga untuk beristirahat. Selang beberapa menit, Mu`min memutuskan untuk melaksanakan salat magrib di masjid Nurul Ilmi UNM. Pasca melaksanakan salat magrib sekitar pukul 18.40 ia mendengar suara tembakan gas air mata yang dilakukan polisi secara bertubi-tubi.

“Saya mendengar suara tembakan gas air mata lebih 5 dari kali,” ungkap Mu’min.

Dengan terburu-buru ia menuju pintu gerbang dan menyaksikan mobil polisi sudah memasuki gerbang selatan menggunakan mobil jatanras. Lantas panik kemudian Mu`min berlari menuju sekretariat untuk memberitahukan kabar penyergapan ini kepada kawannya yang sedang beristirahat. Ia menyuruh mereka untuk masuk dan mengunci sekretariat, dalam kondisi itu tak banyak yang bisa mereka lakukan, mereka terkepung gas air mata.

“Junior saya di belakang ada sekitar 20 orang,” jelasnya.

Lalu ia kembali ke depan memastikan kondisi dan menyaksikan mobil polisi, lebih dari 10 motor polisi telah terparkir di depan gedung UKM. Tampak di tengah polisi Bintang sedang berusaha bernegosiasi, namun polisi bersenjata lengkap tetap diperintahkan untuk meringkus mahasiswa terutama laki-laki. Situasi menegang, ia berlari menuju sekretariat untuk bergabung dengan kawannya yang lain. Di belakangnya terdengar teriakan polisi yang saling bersahut-sahutan.

“WOI DI MANA KO SEMUA TELASO”

“JANGKO SEMBUNYI”

“ANGKUT LAKI-LAKINYA” teriakan-teriakan polisi yang menggema saat itu.

Di dalam sekretariat yang sempit terimpit 18 orang, 11 diantaranya perempuan. Hawa mencekam bercampur aroma gas air mata memupuk ketakutan mereka, suara pintu sekretariat didobrak satu persatu, bak sudah terjadwal menunggu giliran pintu mereka selanjutnya.

Riuh ketakutan memuncak, satu-satunya benteng mereka terdobrak, semua laki-laki dalam ruangan itu diseret polisi. Perempuan yang berusaha menghentikan kekerasan itu ditodong senjata kejut dan pentungan. Mu`min dan 6 kawan laki-lakinya diseret melalui koridor sembari dipiting, ia tak dapat melindungi diri dari pukulan. Dari arah kanan, tangan polisi yang terkepal mengenai wajahnya hingga konfrensi pers dilaksanakan wajah bagian kanannya masih tampak lebam. Pukulan selanjutnya mengenai bagian mulutnya, darah tak terbendung mengucur dari bibir bagian dalam  Mu`min

Deh berdarahki pak,” ucapnya mengharap empati dari pasukan berseragam lengkap agar ia tak terus dipiting. Namun percuma, polisi tak sedikit pun melonggarkan genggamannya.

Dengan kondisi bercucuran darah Mu`min dibawa menuju tempat kawan lainnya dikumpulkan. Setibanya di sana seorang polisi berjalan ke arahnya dan mengatakan “ohh inimi ini yang pakai baju hitam” kemudian kepalanya dipukul pentungan. Cukup keras, pukulan itu membuatnya hampir kehilangan kesadaran.

Saat dipaksa melepas pakaiannya, mu`min sempat meminta tisu untuk menyeka aliran darah di bibirnya, tetapi polisi lagi-lagi tidak menghiraukannya.

“Saya kooperatif, saya tidak melawan sama sekali, tapi saya tetap dipukuli,” jelasnya menyayangkan kejadian tersebut.

Mu`min berlaku kooperatif karena menyadari posisinya kala itu sebagai terduga. Semestinya polisi sebagai aparat penegak hukum menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dan tidak semena-mena terhadap mahasiswa malam itu.

“Setelah kami diperiksa kami tidak terbukti bersalah, pertanyaannya kemudian siapa yang harus bertanggung jawab atas kawan kawan kami yang luka-luka, bibir saya yang robek,” pungkasnya sambil melempar pertanyaan kepada audiens yang hadir dalam konferensi pers.

3. Iqbal

Mahasiswa PENDIDIKAN ANTROPOLOGI FIS-H UNM

Sama seperti Mu`min, Iqbal juga merupakan massa aksi yang tergabung bersama KERABAT dalam unjuk rasa Hari Buruh. Ia diringkus saat bersembunyi di sekretariat BEM. Belum sempat membela diri, ia kemudian dipukuli oleh polisi. Trauma tampaknya masih menghantui Iqbal hingga perjumpaan dengan pers kemarin, ia tampak kesulitan menjelaskan kekerasan malam itu kepada awak media.

Sembari berusaha mengatur napas Iqbal bercerita bahwa polisi menuduhnya sebagai provokator yang melakukan pembakaran ban karena rambutnya gondrong, kepalanya dibenturkan ke dinding, dan polisi menodong senjata ke arahnya.

“Mereka menodongkan senjata pistol kepada saya,” ujarnya.

4. Aso

Mahasiswa Sejarah FISH-H UNM

Kembalinya dari aksi demonstrasi, Aso mengarahkan massa aksi pendidikan sejarah untuk langsung menuju sekretariat untuk beristirahat. Ia juga mengaku menyaksikan beberapa orang melakukan pembakaran ban. Namun sama seperti kesaksian yang lain, dengan tegas menyatakan bahwa ia dan kawan kawannya tidak terlibat.

Di sekretariat ia kemudian memutuskan untuk rehat. Tak lama setelahnya, beberapa polisi langsung mendobrak pintu sekretariat dan langsung memukuli mereka. Tak hanya menggunakan tangan kosong, salah satu kawannya dipukul menggunakan pentungan. Kekerasan itu berlangsung tanpa jeda, lagi-lagi polisi tidak memberikan mereka kesempatan membela diri. Seakan lebam saja tak cukup, kata kasar silih berganti bergema dari mulut para polisi, satu persatu mereka diteriaki.

Namun, tiba-tiba hujan pukulan itu berhenti ketika ada salah satu orang yang mengatakan bahwa adegan kekerasan itu direkam menggunakan gawai. Mereka lalu dipaksa melepas pakaian bagian atas, lalu dipiting sembari diseret melalui koridor.

Hasbi (Pengacara LBH Makassar) menilai tindakan yang dilakukan Polri adalah langkah yang gegabah, semestinya ada enam tahap yang dilakukan untuk mengendalikan massa aksi, diantaranya:

1. Pencegahan

2. Perintah lisan

3. Kendali tangan kosong secara lunak

4. Kendali tangan kosong secara keras

5. Kendali senjata tumpul gas air mata

6. Kendali dengan senjata api

Lantas menembakkan gas air mata adalah langkah kelima. Namun, dalam kasus kali ini, semua tahap dilakukan bersamaan dan kejadian ini berulang. “Melakukan penembakan gas air mata itu tahap ke-5, padahal massa aksi tidak melakukan perlawanan.” ungkapnya.

Sedangkan dalam peraturan Kapolri no.1 tahun 2009 itu terkait dengan kekuatan kepolisian harus dilakukan secara bertahap dalam setiap tindakannya karena polisi sebenarnya adalah masyarakat sipil juga.

“Mereka adalah sipil-sipil yang dibersenjatai, jadi mereka diberikan kewenangan oleh UU itu untuk memegang senjata. Jadi setiap tindakan itu harus dipertanggungjawabkan,” lanjut Hasbi.

Sejauh ini bintang dan mahasiswa FIS-H masih mempertimbangkan untuk membawa kasus ini lebih lanjut ke ranah hukum.

“Untuk pengadvokasian selanjutnya mungkin masih jadi pembahasan kami di internal FIS-H sembari berkordinasi dengan teman-teman di LBH Makassar,” tandas Bintang.


Reporter: Alicya Qadriyyah Ramadhani Yaras

Previous Menyoal plakat beasiswa dana abadi, Direktur Kemahasiswaan mengaku paham akan kebingungan Elsa
Next Tuang Keresahan pada Kampus, Mahasiswa Unhas Gelar Panggung Bebas Ekspresi

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *