Kuasa adalah modal utama dalam menentukan sesuatu. Sebab ada banyak hal yang dapat dipengaruhi oleh adanya kuasa. Sebagai agen dari sebuah struktur yang terbentuk dalam bermasyarakat, saya memiliki kausa atas kedaulatan diri sebagai manusia merdeka. Walaupun belum benar-benar merdeka dari belenggu penjajahan sistem yang saat ini sedang berlangsung, kapitalis biadab.
Sebuah sistem yang mampu mempengaruhi beragam dimensi kehidupan kini dan mendatang. Ada banyak standar yang terbentuk secara tidak langsung dari adanya sistem tersebut. Mulai dari pola konsumtif, standar fashion pembentuk sekaligus pemecah identitas, pergeseran nilai fungsi, ketimpangan ekonomi antar kelas, dan masih banyak lagi. Saya bukan pembaca tulen ekonomi-politik, hanya saja sedikit mencoba melihat fenomena yang ada sebagai wujud langgengnya sistem tersebut. Oleh karena itu, bahasan mengenai spesifikasi sistem kapitalisme kita tahan dulu yah.
Kalimat pertama di paragraf awal, cukup untuk memunculkan beragam pertanyaan di benak saya terkait seberapa pengaruh kuasa dalam menjalankan roda kerja orang-perorangan maupun di dalam sebuah struktur masyarakat, apa pun itu. Mengapa sebagian orang dapat dengan mudah patuh dan tunduk terhadap suatu perintah? Lalu bagaimana jika perintah itu dilanggar? Dengan adanya kuasa pasti akan ada orang yang dikuasai termasuk diri sendiri.
Mari kita berkenalan dengan Michel Foucault, seorang pemikir asal Prancis yang banyak membahas tentang konsep kekuasaan (1926-1984). Sumbangsi pemikiran Foucault banyak memengaruhi perspektif tentang sebuah kekuasaan. Foucault beranggapan bahwa kekuasaan bisa bersifat tidak stabil, produktif dan menyebar seperti jaringan kehidupan di setiap relasi sosial.
Terdapat banyak contoh kekuasaan terhadap relasi sosial. Diantaranya hubungan orang tua dan anak, pertemanan, guru dan murid, dosen dan mahasiswa, hubungan kerja dan masih banyak lagi. Dengan adanya kekuasaan, seseorang yang memiliki kuasa dapat memengaruhi pola perilaku seseorang baik berupa perintah dari atasan dalam sebuah hierarki struktur yang ada terhadap bawahannya. Namun, dalam penjabaran selanjutnya mungkin akan sedikit menyentil dari sebuah ekosistem mahasiswa dan dunianya.
Hubungan kepatuhan dengan relasi kuasa
Membaca karya tulis tentang “Kemiskinan Hidup Mahasiswa” oleh Mustapha Khayati (Situationist International) dan mahasiswa-mahasiswa di Strasbourg, November 1966. Problematika kehidupan mahasiswa cukup tergambarkan dari tulisan tersebut, salah satunya adalah bagaimana relasi mahasiswa patuh dan tunduk terhadap dua otoritas tertinggi, yakni keluarga dan universitas. Mahasiswa sering kali diidentikkan dengan kebebasan berekspresi untuk memperoleh beragam cara bagaimana menempa diri di lumbung pengetahuan. Namun, dibalik identitas mahasiswa sebagai insan merdeka terdapat banyak jeratan baik secara aturan, kebijakan, kultur atau bahkan sistem yang sedang berlangsung saat ini termasuk relasi kuasa bahwa sadar atau tidak, jelas nyata adanya.
Seperti halnya jika dalam konteks relasi kuasa dari orang tua dan anak. Sadar bahwa kita masih terikat dengan satu otoritas tertinggi, yakni keluarga. Orang terdekat yang menemani kita dari awal kehidupan hingga dewasa kini. Seberapa pengaruh kuasa orang tua dalam mendidik anaknya dengan berbagai cara agar kelak di kemudian hari bisa menjadi apa yang diharapkan, jelangnya. Sedikit banyak pengaruh keluarga, orang terdekat termasuk lingkungan sekitar dapat memengaruhi aktualisasi diri kita sebagai manusia.
“Scientia potensi est” ungkapan latin dari Sir Francis Bacon yang secara harfiah diterjemahkan menjadi “pengetahuan adalah kekuatan”.
Relasi kuasa tentunya dapat dipengaruhi oleh pengetahuan. Benar-tidak, baik-buruk adalah salah satu bentuk pembagian dari penilaian terhadap pengetahuan. Mengapa bentuk kekuasaan menurut Michel Foucault bersifat positif, artinya kekuasaan tersebut bersifat relatif, tergantung cara pandang masing-masing seseorang tentang baik-buruknya suatu hal yang dihasilkan dari kekuasaan.
Relasi kuasa dari hubungan Dosen dan Mahasiswa
Anggapan bahwa dosen memiliki banyak pengetahuan sudah barang tentu bisa diakui. Lantaran sebagaimana kita tahu bersama begitu banyak proses panjang yang ia lalui untuk bisa diberi predikat sebagai golongan kaum intelektual. Pandangan ini diaminkan sebagai bentuk penghormatan kepada jasa tenaga pendidik yang masih merawat akal sehat di kampus.
Fenomena mahasiswa patuh dan tunduk terhadap dosen sebenarnya bukan suatu masalah. Akan tetapi, menjadi suatu masalah jika kekuasaan dari sebuah relasi dosen dan mahasiswa dicampuri oleh urusan kepentingan golongan tertentu. Adanya pelanggengan posisi atau jabatan dengan menghalalkan segala cara untuk membungkam imajinasi kritis mahasiswa. Lagi-lagi pencitraan dibuat menyimpang dan begitu mengganggu nilai keaslian seseorang.
Belajar dari pengalaman, tak sedikit fenomena tersebut berlangsung di lingkup kampus. Baik dari pemangku kebijakan hingga di tataran mahasiswa itu sendiri. Tak jarang mental anti kritik begitu marak terjadi di kampus yang seharusnya menjadi arena pertarungan ide dan gagasan. Usaha mempertahankan posisi atau jabatan demi menjaga citra baik terus digaungkan oleh sekelompok orang yang ingin terus terlihat baik.
Kekuasaan mencampuradukkan Kebenaran dan Etika baik-buruknya seseorang
Jauh panggang dari api, paradoks dari sikap pejabat kampus yang menggaungkan citra akademis insan intelektual harus kritis namun dalam praktik sering kali membentengi diri dengan moralitas. Seperti ada keanehan di dalamnya, urusan moral urusan personal dan pemangku kebijakan tentunya harus profesional. Konsekuensi ketika mendapat kekuasaan idealnya mampu membedakan mana tanggung jawab dan mana pandangan subjektivitas, apalagi jika dalam mengeluarkan suatu kebijakan kampus.
Kultur feodal dari adanya relasi kuasa yang terbentuk sering kali menyabotase ruang dialektis. Fakultas Kehutanan menjadi salah satu cerminan bahwa relasi kuasa, dibarengi dengan kultur feodal turun temurun, terus dilanggengkan atas dasar romantisasi masa lalu. Alhasil sebagian mahasiswa terjebak dalam perkara moralitas.
Baca reportase “1 SKS Wajib Diperjualbelikan PKMR Fakultas Kehutanan” di catatankaki.org. Menjadi saksi dari ruwetnya ruang ideal pendidikan, membiaskan pandangan terhadap suatu masalah yang seharusnya dibedah dengan analisis permasalahan struktural dinodai dengan adanya relasi kuasa dengan menebar ketakutan akan potensi dipersulit urusan akademik, nantinya.
“Takut ka saya nanti dipersulit akademikku kalau melawan ki”
“Ndak mau ja saya terlalu pusing, intinya mau ka cepat lulus”
“Mending ikutimi saja aturannya daripada nanti bermasalah kuliahmu”
Akibat adanya kesewenangan dari Kekuasaan, memecah kolektivitas Mahasiswa
Dampak dari penebaran benih ketakutan oleh dominasi yang memiliki relasi kuasa akan menimbulkan kekhawatiran secara berlebihan untuk menjalani hari-hari di kampus sebagai mahasiswa. Konflik internal dalam diri takkan bisa dihindarkan apabila memandang suatu permasalahan dikomparasikan dengan rasa ketidakenakan jika mengkritik pejabat kampus yang notabenenya dalam usia lebih tua. Maka dari itu perlu adanya pembacaan mengenai pandangan ageisme sebagai tumpuan bahwa kita entitas yang sama, entitas masyarakat ilmiah, apalagi menyangkut kekuasaan dalam melahirkan kebijakan.
Citra baik sering kali tak sejalan beriringan dengan kepekaan melihat ketimpangan sosial yang ada. Orang-orang luput akan pentingnya empati antar sesama, mencekoki mahasiswa lainnya dengan mentalitas anti kritik. Melabeli gerakan mahasiswa sebagai gerakan yang mengganggu cita-cita keluarga besar Universitas Hasanuddin seperti dalam pidato Jamaluddin Jompa selaku rektor di depan Mahasiswa Angkatan 2023 saat hari penyambutan, Agustus 2023: Jangan coba-coba menganggu keluarga besar Universitas Hasanuddin untuk meraih cita-citanya.
Alih-alih membangun nuansa kolektif malahan sikap individualis dan mementingkan diri sendiri sudah merebak hampir ke seluruh aspek. Mentalitas penjilat lagi-lagi jadi persoalan jika karakter oportunis mendarah daging bagi siapa pun yang ingin selalu main aman di tengah krisis melanda. Krisis karakter dan identitas, ketergantungan dari atensi publik selaras dengan sikap bodo amat akan permasalahan yang ada. Dan lebih parahnya lagi, menjadi informan pengkhianat sesama mahasiswa itu sendiri. Putuskan mata rantai kultur feodal di lingkup kampus, wujudkan iklim dialektis dan hilangkan mental anti kritik.
Terakhir bagi pembaca, silakan mencaci maki tulisan ini jika tidak sepakat dan bertentangan dengan moralitas anda.
Referensi:
- https://id.wikipedia.org/wiki/Struktur_dan_agen
- Mustakim. Kapitalisme, Sejarah dan Nilai/ Ciri/ Karakternya (DariLiberalisme Hingga Sekularisme). Jurnal Ekonomi Syariah, Vol 5, Edisi II : Desember 2022.
- Kebung, Konrad. Membaca ‘kuasa’ Michel Faoucault Dalam Konteks ‘Kekuasaan’ Di Indonesia. STFK Ledalero. Maumere : Melintas, 2017.
- https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/20/110000665/memahami-kekuasaan-dalam-pemikiran-michel-foucault?page=all
- Mustapha Khayati. Kemiskinan Hidup Mahasiswa. Strasbourg. Bureau of Public Secrets : November,1966.
- https://rhapsodystrategies.com/knowledge-is-power-or-is-it/
- https://www.catatankaki.org/2024/04/18/1-sks-wajib-diperjualbelikan-pkmr-fakultas-kehutanan/
- https://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi_usia
- catatankaki.org/2023/08/22/kelindan-neoliberalisme-dan-kultur-feodal-unhas-sebagai-cerminan/
- instagram.com/reel/Cv6xiGUspJQ/?igsh=MXJyMTFjMnJhNDFldQ==
Penulis : Siapaabid
No Comment