Hari yang sibuk seperti biasanya begitu pun dengan cuaca. Langit Makassar lagi-lagi dikerumuni oleh awan, entah pertanda hujan atau tidak nantinya, siapa yang tahu? Namun, niatku tetap kulancarkan untuk melihat matahari terbenam di pesisir Makassar.
Saya pergi bersama teman sejabatku, mengendarai sebuah motor membelah padatnya ruas jalanan. Di tengah macetnya kota, kami melintasi berbagai tempat bertemu dengan banyaknya kendaraan dan aktivitas yang terus berjalan. Tanpa jarum kompas, kendaraan roda dua ini telah membawa kami cukup jauh sampai ke pinggir kota, yaitu Kecamatan Tallo. Memasuki daerah tersebut, kita akan disambut dengan gapura bertuliskan “Selamat datang di kawasan Bersejarah Tallo“.
Sekelebat ingatan saat membaca tulisan Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) membuatku hanyut pada penggambaran abad ke-16. Di saat Kerajaan Gowa-Tallo pertama kali muncul atau ketika Karaeng Loe ri Sero mendirikan kerajaan ini atau pada saat kawasan ini menjadi sentra pelabuhan utama Indonesia Timur. Langkah demi langkah kususuri dan terlintas pertanyaan dalam benakku: Apakah saya salah lokasi? Kemana jejak kejayaan itu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus bermunculan dalam kepala.
Tallo Masa Kini
“Na kemai ki nak?“ tanya seorang Ibu paruh baya padaku yang tampak kebingungan.
“Ibu, kecamatan Tallo mi ini?“ tanyaku dan sang Ibu mengiyakan, lalu aku kembali bertanya. “Terus di mana sungai Tallo bu?“
“Ini di belakang, sungai Tallo mi itu.” jawabnya lagi.
Dugaan saya ternyata benar, tempat kaki saya berpijak sekarang adalah Tallo masa kini. Saya kembali berbincang, namun karena keterbatasan bahasa akhirnya kami pun tak banyak bercerita.
Masih dengan rasa penasaran dan keheranan, saya memutuskan untuk menyusuri lokasi ini. Memasuki lorong-lorong rumah warga hingga sampai di pinggir sungai Tallo, saya melihat beberapa anak-anak kisaran umur 10 tahunan sedang memainkan ikan tangkapan mereka, lalu ada bapak-bapak yang sedang memperbaiki jaring dan beberapa ibu-ibu yang sedang bersenda gurau.
Saya sekarang berada di Agampancayya, Tallo, dikatakan bahwa di tempat saya berada masih tersimpan bendera Kerajaan Tallo. Namun, belum bisa saya validasi secara benar-benar sebab tidak ada penjaga di sana. Saya pun bertanya kepada warga-warga sekitar dan menurutnya mereka tidak mengetahui hal tersebut. Jejak peradaban kerajaan Tallo benar-benar menghilang ditelan zaman, hanya menyisakan beberapa peninggalan saja.
Wangi sebuah pohon yang tak kuketahui namanya, memanggil saya untuk mengunjungi tempat yang tak jauh dari perumahan ini. Langkah kecil dan wangi pohon tadi membawa saya pada kawasan Makam Raja-Raja Tallo. Saya berkeliling dan memutuskan untuk beristirahat di gazebo yang disediakan. Saya bertanya secara gamblang kepada para raja yang telah menyatu dengan tanah, entah siapa yang dapat mendengarnya, tetapi yang pasti tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu. “Bagaimana perasaanmu melihat kondisi Tallo yang sekarang?“ Raja-raja masih mendiami tempat ini, tetapi tak lagi bisa berbuat apa-apa.
Saya kembali teringat dengan tujuan awal ke tempat ini, yakni ingin melihat pemandangan matahari terbenam. Kami kembali mengendarai motor dan hanya beberapa saat, lalu sampai dan segera mencari tempat ternyaman untuk duduk. Menikmati laut dan suara deburan ombak, tetapi suara motor mengalihkan titik fokus kami. Tak jauh dari sana, beberapa anak muda sedang mengendarai motor mereka dengan suara knalpot yang cukup keras. Di seberang juga dapat dilihat sebuah perumahan unik milik warga sekitar sebab terlihat mengapung di atas air.
Tak terasa hari sudah hampir gelap, para nelayan mulai mengeluarkan perahunya harap-harap malam ini berpihak pada mereka. Mendapat banyak tangkapan ikan untuk kebutuhan hari esok. Matahari telah terbenam namun tak terlihat. Keberuntungan tidak berpihak pada kami saat ini, keinginan kami tidak terwujud meskipun mencari cukup jauh.
Author: Wanti
No Comment