Merayakan Hari Perempuan Sedunia dengan Variasi Baru


Sejumlah orang memperingati IWD dengan bekeliling sambil membawa spanduk protes. CAKA/Hanan

Catatankaki.org – Hujan mengguyur kota Makassar sejak matahari terbit di ufuk timur, Minggu (10/03/2024). Serupa tangisan, langit kelabu tiada henti-hentinya meneteskan air mata. Lubang-lubang di jalan perkotaan tergenang, permukaannya yang tidak rata mengalirkan air, dan got-got kecil sedikit demi sedikit meluap. Di balik itu semua, terdapat sekelompok individu yang sedang terpusat di Posko Depan Bara-Barayya. Beberapa dari mereka: masih ada yang terlelap usai memasak bubur manado, bakwan, dan sambal semalaman suntuk, ada yang menghubungi massa aksi lain yang sedang terjebak hujan, dan ada pula yang sedang menyiapkan perlengkapan-perlengkapan longmarch.

Jam-jam menuju longmarch menjadi lebih panjang dikala hujan masih mengguyur. Rintiknya tidak kunjung sirna. Matahari juga tidak kunjung bersinar. Longmarch pun terpaksa diundur, sembari menanti waktu yang tepat bagi hujan meredakan dirinya. Aksi Longmarch ini adalah bagian dari Parade Internasional Women Day (IWD) yang digelar oleh sekelompok individu tadi—tanpa identitas aliansi khusus maupun identitas organ.

Ketika waktu telah menunjukkan pukul 11 siang, massa akhirnya berangkat ramai-ramai dari Bara-Barayya. Mereka tiba di Taman Macan sekitar 10 menit kemudian. Tanpa melupakan fungsi pengeras suara yang turut dibawa, mereka memutar beberapa lagu sembari menunggu kedatangan massa aksi lainnya. Melalui pengeras suara ini pula, musik dengan setia mengiringi prosesi longmarch Parade IWD dari Taman Macan, melalui jalan Somba Opu, hingga memasuki area Pantai Losari.

Mesta, selaku narahubung kegiatan ini, menceritakan bahwa aksi longmarch ini ternyata mampu menuai respons positif dari masyarakat. “Bahkan ada yang ikut nyanyi-nyanyi di pinggir jalan karena ada musik, misalkan ada musik k-pop, ada musik reggae, dan segala macam,” berkat hal itu, Mesta merasa aksi itu lebih hidup.

Hampir satu jam waktu telah berlalu. Pataka-pataka aksi bertuliskan, “Hancurkan Subordinasi! PATRIARKI IS BORING”, “TANGKAP DAN ADILI PELAKU KEKERASAN SEKSUAL”, hingga “WOMAN WILL BE SILENT NO MORE”, banyak mendapat perhatian oleh orang-orang yang berlalu langlang di Pantai Losari. Usai masa aksi berfoto-foto, mereka pun kembali ke Taman Macan dengan longmarch melintasi jalan Penghibur di bawah derai hujan gerimis.

Setibanya di Taman Macan, massa aksi kemudian beristirahat sejenak. Namun, rangkaian Parade IWD masih lah belum berakhir sebab varian aksi lainnya, yakni Pangan Untuk Semua dan Live Mural hendak dilaksanakan di Bara-Barayya.

“Jadi ayo kita kembali ke Posko Depan Bara-Barayya untuk menikmati bubur manado, kalo bisa jalan maki bareng-bareng,” ucap salah seorang peserta aksi melalui mikrofon yang terhubung dengan pengeras suara.

Massa aksi pun bergegas pulang ke Posko Depan Bara-Barayya sekitar pukul 13.00 WITA.

Parade IWD sebagai Counterculture atas Model Gerakan Peringatan Hari Perempuan Sedunia

Selain sebagai perayaan atas kemenangan gerakan perempuan di masa lalu, Mesta menyebut Parade IWD sekaligus ditujukan sebagai medium untuk mengekspresikan kegundahan-kegundahan hati perempuan di masa kini. Melalui parade ini pula, Mesta bersama massa aksi lainnya hendak menawarkan satu eksperimen baru atas taktik gerakan.

“Selama ini taktik gerakan di Makassar, ya, mungkin beberapa dari kita tahu, dari dulu sampai sekarang, ga jauh berbeda gitu,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa Parade IWD kali ini tidak hanya sekadar menuntut secara politis perihal penindasan dan eksploitasi perempuan, tetapi lebih fokus pada menguraikan permasalahan mendasar isu perempuan hari ini. Parade ini menerapkan prinsip kebebasan beragitasi dan berpropaganda. “Setiap orang yang ada di lingkaran kita, setiap yang merasa tertindas, setiap perempuan yang merasakan eksploitasi hari ini, bebas mengekspresikan dan membuat satu tuntutan sendiri, membuat satu bentuk campaign sendiri,” jelasnya.

Salah satu massa aksi yaitu Fitri membenarkan bahwa dalam parade kali ini mereka tidak membawa pembacaan utama tetapi masing-masing orang membawa alasan atau tuntutannya sendiri.

“Saya beda, anak-anak yang lain beda. Tidak bisa merepresentasikan jawabanku,” ujar Fitri.  Ia pun membandingkannya dengan Gerak IWD Sulsel yang memiliki pembacaan utama atas tuntutan-tuntutannya.

“Yang kayak tadi yang saya bilang adalah yang selama ini dalam peringatan-peringatan IWD itu kita hanya mengenal, mungkin mengenal beberapa isu yang mentok misalkan di isu-isu politik perempuan,” ujar Mesta. Ia juga menjabarkan bahwa Parade IWD ini tidak hanya sekadar menyasar tataran kebijakan politik semata, namun juga menyediakan ruang inklusif dengan cara lebih sederhana atas ekspresi dan tuntutan perempuan yang sebenarnya mereka rasakan.

“Kita mencoba mengeluarkan, ya, curhatan dan isi hati perempuanlah sebagai orang yang paling merasakan dampak, entahkah dari kebijakan politik, konstruksi sosial, bahkan penghakiman sosial, dan relasi sosial yang terbangun,” tambahnya.

Ali—salah seorang massa aksi—berharap pada kegiatan Parade IWD ini mampu membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pembebasan terhadap perempuan, terutama dalam mengekspresikan tuntutannya dalam menuntut keadilan. Menurutnya, penting untuk turun ke jalan dan menyuarakan hak-hak perempuan yang tertindas, seperti di dunia pendidikan hingga yang terdekat: di lingkup masyarakat.

“Banyak sekali permasalahan di mana perempuan terkekang oleh norma dan etika yang sering dihadapi,” tutupnya.


Reporter: Erick Evangelista Savala

Previous Unhas sebagai ruang intelektual belum mampu menciptakan ruang yang aman
Next Si Pandir Penghuni Gunung

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *