Catatankaki.org-Di bawah rimbunan pepohonan, Rabu (28/02/24), berlangsung dialog terbuka bertajukkan “Ruang Aman Untuk Kita”. Dialog yang digelar pada sore hari itu berlangsung di depan gazebo Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin melibatkan dua pemantik, yakni Santi dari Komite Anti Kekerasan Seksual (KAKS) Unhas dan Ekbess, penulis Zine Bookgasme. Dialog tersebut membahas isu kekerasan seksual yang sedang marak di kampus dan juga tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).
Santi mulai membuka jalan dialog dengan memaparkan bagaimana kampus yang notabenenya berisi orang-orang intelektual pada kenyataannya tidak mampu menciptakan ruang aman yang dicita-citakan. “Ternyata intelektual itu merupakan salah satu alat kuasa bagi para pelaku untuk melegalkan atau membenarkan kasus kekerasan seksual,” ungkapnya.
Sejalan dengan itu ia memberikan contoh dengan menyebut beberapa kasus kekerasan seksual yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan, salah satunya di FIB yang menyeret ketua Himpunan Mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah (Humanis) sebagai terduga pelaku. Menurutnya hal-hal seperti itu harus direspon, apalagi berbicara mengenai kasus kekerasan seksual, selain itu menjadi tugas kampus, juga menjadi tugas kaderisasi lembaga mahasiswa.
Santi juga membeberkan lewat Catatan tahunan (Catahu) KAKS banyak kasus yang terjadi dalam himpunan antara senior dan junior, antara teman dan teman, dan menurutnya hal itu patut dipertanyakan. “Bagaimana mungkin sebuah lembaga yang membahas tentang kaderisasi, penanaman nilai dan lain-lain, mengesampingkan hal-hal yang sifatnya juga berbicara tentang tentang penanaman nilai dan moralitas,” pungkasnya.
Selain daripada itu, ia juga mempertanyakan sikap kampus dalam melihat kasus kekerasan seksual. Ia menilai masih banyak yang kecewa kepada Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Satgas PPKS hanya memberikan rekomendasi hukuman administratif kepada rektorat dan pihak rektoratlah yang memutuskan.
Santi juga mengatakan jika rektorat masih mempertahankan status quo-nya, yakni mengesampingkan atau tidak inklusif dalam melihat kasus kekerasan seksual, maka hukuman-hukuman yang diberikan pada si pelaku pun tidak akan memberikan efek jerah. “Kemarin ada kasus di Fakultas Hukum, dari pihak Komisi Disiplin (Komdis) Hukum sudah memberikan hukuman Drop Out (DO) (untuk pelaku) tapi karena kasusnya itu untuk pemberian sanksinya harus melalui rektorat, (maka) rektorat keputusannya hanya memberikan sanksi skorsing dua semester,” ujar Santi.
Santi pun menuturkan bahwa hal-hal seperti di atas perlu dikawal oleh seluruh kalangan civitas academica. Apakah betul pihak kampus tidak secara inklusif melihat kekerasan seksual itu sebagai isu yang sangat urgen.
Setelah pemaparan dari Santi dan berlalunya sesi tanya jawab, sesi berikutnya diisi oleh Ekbess. Dalam penyampaiannya ia menjelaskan kasus pelecehan dan kekerasan seksual tidak akan ada habisnya untuk dibahas. Apalagi berbicara soal edukasi seksual, sesuatu hal yang masih dianggap tabu. Dirinya percaya bahwa satu-satunya cara untuk menghapus ketabuan itu adalah dengan membicarakan edukasi seksual terus-menerus sampai kita menyadari bahwa itu adalah hal yang lumrah.
“Termasuk kenapa budaya pelecehan itu masih terus berjalan, bahkan di lingkungan yang kita anggap intelektual ini karena banyak orang yang belum menerima kenyataan bahwa semua orang berpotensi menjadi pelaku dan semua orang berpotensi menjadi korban,” jelas Ekbess.
Reporter: Anisa Pakulla’
No Comment