PERINGATAN: Artikel ini mengandung konten eksplisit yang dapat memicu tekanan emosional dan mental bagi pembaca. Meskipun begitu, kami menyarankan Anda untuk tetap membaca artikel ini, guna meningkatkan kesadaran akan kekerasan seksual yang merebak di Unhas. Kami juga lebih menyarankan artikel ini dibaca oleh Satgas PPKS Unhas.
Catatankaki.org-Dua tahun yang lalu, tepatnya 31 Agustus 2021, Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi disahkan. Pengesahan ini membawa angin segar bagi para pendamping dan penyintas kasus kekerasan seksual di seantero perguruan tinggi Indonesia.
Pada aturan ini, perguruan tinggi diinstruksikan untuk membentuk Satgas PPKS paling lambat setahun setelah disahkannya. Unhas pun baru menanggapi instruksi itu melalui pembentukan Satgas PPKS Unhas pada 12 Juli 2022. Kurang dari dua bulan menuju tenggat. Ironisnya, pada Kuliah Kerja Nyata (KKN) gelombang 108 di rentang bulan Juni-Agustus 2022 lalu, justru terjadi kasus kekerasan seksual.
Perihal kasus tersebut, Catatan Kaki menyambangi Farida Patittingi selaku Ketua Satgas PPKS Unhas (22/9/2023). Di sana, ia mengungkapkan bahwasanya pelaku yang bernama Fuad Alhadi itu telah dijatuhi sanksi akademik berupa skors selama satu semester. Ia turut menambahkan bahwa selama penyelesaian perkara itu, Satgas PPKS telah berada di bawah tampuk kepemimpinannya, meskipun saat itu Satgas yang didirikan belum sesuai dengan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 yang berlaku. Pasalnya, menurut aturan tersebut, pembentukan Satgas PPKS mesti melalui panitia pelaksana. Akan tetapi, Dwia Aries Tina Pulubuhu selaku Rektor Unhas kala itu langsung membentuk Satgas PPKS tanpa prosedur yang berlaku guna menangani kasus yang terjadi ketika KKN itu.
Ketika ditanyai mengenai pertimbangan sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku, ia menyebutkan bahwa sanksinya masuk dalam kategori sedang dan berlandaskan pada kriteria yang tercantum pada Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Sementara, yang tertera pada Bab III Penanganan Bagian keempat mengenai Pengenaan Sanksi Administratif Pasal 14, hanyalah bentuk-bentuk dari ketiga jenis sanksi, yakni sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi berat. Tidak ada penjelasan mengenai bentuk-bentuk tindak kekerasan seksual yang menentukan kriteria atas ketiga sanksi tersebut.
Farida pun menegaskan pertimbangan secara rincinya tidak dapat diungkapkan begitu saja karena menyangkut kode etik. Adapun pada Peraturan Rektor Universitas Hasanuddin Nomor 7/Un4.1/2023 Tentang Kode Etik Satuan Tugas Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Universitas Hasanuddin Pasal 4 Bagian b, dijelaskan bahwa Satgas PPKS wajib menjaga citra, harkat, dan martabat Unhas di berbagai forum, baik formal maupun informal.
Farida Patittingi juga mengatakan bahwa dalam penentuan sanksi, Satgas PPKS Unhas hanya menyimpulkan perkara bila telah terbukti dan memberikan rekomendasi kepada Rektor mengenai bentuk dari sanksinya. “Rektor yang menetapkan sanksinya. Jadi Rektor itu dapat memperberat atau dapat memperingan. Rektor melakukan penilaian lagi terhadap itu. Jadi, yang berwenang untuk menetapkan sanksi adalah Rektor,” ujarnya.
Di sisi lain, Santi, selaku Koordinator Umum Komite Anti Kekerasan Seksual Unhas (KAKS Unhas) masih mengingat bagaimana KAKS Unhas menanti penyelesaian kasus kekerasan seksual tersebut. Sayangnya, ia tak kunjung mendapatkan jawaban pasti dari Rektorat—khususnya Farida Patittingi—mengenai penyelesaiannya. Asumsi soal kuatnya backup pelaku sempat sampai kepada KAKS Unhas sehingga mereka menyesalkan kurangnya transparansi Unhas kala itu. Siaran pers yang dikeluarkan oleh posko KKN pelaku, menjadi satu-satunya informasi yang mereka dapatkan.
Abizard, demisioner Wakil Ketua Perhimpunan Mahasiswa Sastra Inggris Keluarga Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Perisai KMFIB-UH) periode 2022/2023 mengucapkan hal yang senada dengan Santi. Abizard turut mengamini ketidakjelasan birokrasi dalam penanganan kasus tersebut.
Karena Fuad Alhadi—Pelaku kekerasan seksual—yang merupakan mahasiswa Sastra Inggris, Abizard pun melakukan audiensi dengan Nasmilah selaku Ketua Departemen Sastra Inggris Unhas. Hasil audiensinya hanya menuai jawaban bahwa kasus tersebut sementara diselesaikan di Pusat Pengembangan Kuliah kerja Nyata (P2KKN) Unhas.
Dalam audiensi itu pula, Abizard menanyakan tindak lanjut pihak kampus atas status mahasiswa pelaku. Ini dikarenakan, pelaku sudah terjerat pelanggaran berat atas Peraturan Rektor tentang Kode Etik Mahasiswa Unhas yang semestinya disanksi berupa pemutusan hubungan studi (drop out). “Beliau (Nasmilah) justru tidak tahu menahu ki mengenai itu,” kenang pria yang akrab disapa Abi itu. Ia juga menyebutkan bahwa Fuad Alhadi memang bukan anggota Perisai KMFIB-UH, tetapi perkaranya sempat membuat risih warga-warga himpunannya, terutama yang sedang KKN di gelombang 108 kemarin.
Berdasarkan keterangan Farida, Satgas PPKS rencananya akan merilis laporan tahunan dari sejumlah aduan yang telah masuk pada bulan November tahun ini. Pelaporan ini rencananya juga akan mengundang wartawan-wartawan serta civitas akademika se-Unhas. Namun, laporan itu akan terlebih dahulu diserahkan kepada Rektor, sebagaimana Satgas PPKS bekerja di bawah Surat Keputusan (SK) Rektor. Sampai saat ini, laporan tahunan Satgas PPKS belum juga dirilis.
“Harusnya kan itu transparansi ke mahasiswanya (juga), bukan ke Rektorat (saja),” tegas Santi. Menurutnya, Satgas PPKS Unhas mempunyai kapabilitas dalam mengeluarkan semacam siaran pers mengenai penyelesaian kasus KKN gelombang 108, kasus Nabil, dan kasus-kasus kekerasan seksual lain yang telah menyoroti nama Unhas. Namun, Farida Pattitingi menanggapi berbeda. “Oh, maksudnya kita harus umumkan?” tanyanya dengan sedikit tawa.
Santi menambahkan, semestinya di dalam transparansi itu bukan hanya sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku, namun juga menyertakan hak-hak apa saja yang telah diberikan kepada korban dalam proses pemulihannya. Senada dengan hal itu, ihwal atas hak perlindungan dan hak pemulihan dimiliki sepenuhnya oleh korban sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 9 Mei 2022 silam. Berdasarkan konferensi pers “Komitmen Percepatan Pembentukan Peraturan Turunan UU TPKS”, Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, menyatakan bahwa disahkannya UU TPKS menjadi landasan dalam memberikan hak atas pencegahan, perlindungan, penanganan dan pemulihan secara komprehensif atas korban, keluarga korban, dan saksi tindak pidana kekerasan seksual.
Korban Bertebaran, Unhas Masih Kurang Serius
Rabu, 21 Juni 2023, adalah hari keberangkatan mahasiswa Unhas yang mengikuti KKN gelombang ke-110. Di Baruga Andi Pangerang Pettarani Unhas, ribuan mahasiswa saling berebut dan memenuhi kursi di aula akbar berlantai dua itu. Para mahasiswa ini mengikuti pembekalan guna mempersiapkan diri sebelum turun mengabdi kepada masyarakat.
Uni (samaran), ialah satu dari ribuan mahasiswa yang hadir kala itu. Ia menyoroti salah satu materi bertajuk “Melangkah Bersama: Mewujudkan KKN bermakna Bebas Kekerasan dan Pelecehan Seksual” yang dibawakan oleh Mardiana Ethrawaty Fachry mewakili Ketua Satgas PPKS. Uni masih mengingat dengan jelas ketika di penghujung materi, Mardiana mengklaim, bahwa saat itu merupakan kali pertama materi yang bertemakan kekerasan seksual dibawakan di pembekalan KKN Unhas. Sehingga, harusnya sudah tidak ada lagi kekerasan seksual yang terjadi pada KKN nantinya.
Perihal klaim itu, Uni merasa janggal. Ia bercerita, materi soal kekerasan seksual semestinya sudah ada sejak KKN 109, mengingat kasus kekerasan seksual yang menyoroti nama Unhas pada KKN gelombang 108. “Kan aneh, kenapa nda dari kemarin (KKN 109) saja.” ucapnya.
Di lain pihak, Farida Patittingi menerangkan telah ada usaha-usaha dalam mencegah kekerasan seksual terjadi kembali di KKN. Usaha-usaha tersebut meliputi pemberian rekomendasi kepada Rektor, di antaranya pembuatan kebijakan agar dalam praktik KKN, laki-laki dan perempuan tidak satu rumah, pengawasan yang lebih ketat dari supervisor, serta pembekalan kepada mahasiswa KKN. Meskipun begitu, kasus kekerasan seksual di KKN tetap tak terbendung.
Salah satu sumber Catatan Kaki yang mengikuti KKN gelombang 110 lalu selama 45 hari, menceritakan kejahatan yang telah menimpanya. Ia mengalami tindak kekerasan seksual nonverbal oleh pelaku yang merupakan mahasiswa dan berperan sebagai koordinator di poskonya. Ironisnya, kata korban, pelaku justru menampakkan citra yang baik di hadapan masyarakat setempat, sehingga semakin menghimpit posisinya di bawah relasi kuasa.
Selain itu, ia juga bercerita bahwa bukan hanya dirinya seorang yang menjadi korban. Ketika ia memberanikan diri untuk menceritakan tindak asusila pelaku kepada kedua teman sekamarnya, ia merasa pilu, sebab kedua temannya ternyata terikat dalam satu benang merah yang sama dengannya.
Mereka sempat kalang kabut di kebuntuan kepada siapa hendaknya mereka bisa mengadukan tindak asusila tersebut. Terlintas ide untuk mengadukannya kepada Dosen Pengampu KKN (DPK) serta melalui pranala aduan Satgas PPKS Unhas. Namun, rasa keraguan dan kekhawatiran muncul di benak mereka.
“DPK juga sibuk sekali, slow respon ki. Takut ki juga disoroti. Khawatir juga sampai mempengaruhi nilai apalagi sampai ketahuan identitas ta,” tuturnya dengan sendu.
Pranala aduan Satgas PPKS Unhas yang menuntut mereka untuk login dengan menyertakan data pribadi terlebih dahulu, justru menguatkan keraguan mereka. Mereka juga merasa terkendala dalam menyediakan bukti fisik tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku, sebagaimana pranala aduan tersebut mewajibkan adanya lampiran bukti pendukung. Akhirnya, mereka pun mengurungkan niat untuk mengadu dan memutuskan untuk lebih berhati-hati serta menjaga jarak dengan pelaku.
Sementara itu, Santi berpendapat bila Satgas PPKS Unhas menggunakan kode etik gender dalam penanganan kasus kekerasan seksual, korban tidak semestinya diwajibkan untuk melampirkan data pribadinya, terlebih bukti fisik kejadian. Hal ini dikarenakan, terbukanya identitas korban justru meningkatkan potensi adanya serangan balik yang bersumber dari stigma miring masyarakat atas kekerasan seksual. Selain itu, kekerasan seksual juga bukan tindak kejahatan yang mana korban siap sedia, sehingga sangat sulit untuk mengadakan bukti fisik kejadian. Kedua kondisi inilah yang justru menyurutkan kepercayaan diri korban dalam menyampaikan aspirasinya—terutama untuk keluar dari rasa trauma.
Ia juga beranggapan bahwa sebuah aduan akan lebih efektif ditangani bila kondisi dan kebutuhan korban yang lebih banyak diperjelas dalam sebuah pranala aduan, bukannya identitas korban. Apalagi kebanyakan korban biasanya memiliki ketakutan untuk angkat suara pasca mengalami kekerasan seksual. “Di kami itu (KAKS Unhas), kalau ada kasus masuk, langkah pertama itu harus percaya dulu sama korban. Meskipun ada kemungkinan dia ada kebohongan atau apapun, yang penting percaya dulu. Kami rasa itu cukup membantu ki (korban) untuk tetap percaya diri (dalam) speak up,” ungkapnya kepada Catatan Kaki.
Tidak hanya saat KKN, kekerasan seksual juga masih terjadi di area kampus, tepatnya ketika kelas berlangsung. Sumber lain Catatan Kaki pernah mengalami tindak kekerasan seksual berbentuk verbal dan nonverbal dari dua dosennya sendiri. Tidak sendiri, ia juga mengatakan ada beberapa temannya yang turut menjadi korban dari kedua dosen tersebut. Ia bahkan menyebutkan, bahwa salah satu dari kedua dosen tersebut telah bergelar profesor.
Ia juga telah mencoba mengadukan keresahannya atas tindakan-tindakan tersebut kepada dosennya yang lain. “Ih kau tau mi itu prof, suka ki bercanda,” ujarnya menirukan jawaban dosennya selepas ia mengadu. Tak berhenti disitu, ia juga pernah menyinggung keresahannya ini kepada Sekretaris Departemennya. Sayangnya, jawaban bahwa hal itu sekadar gurauan lagi-lagi ia dapatkan. Rasa kecewa makin menggerayangi dirinya untuk menelusuri secercah keadilan bagi keresahannya itu.
“Mau ki melaporkan juga, dikasih malu-malu ji diri ta, ‘biasa ji itu, bercanda ji itu dosen’. Pasti kayak orang orang (bilang) ‘balle-balle ja ko kapang, nu anggap biasa ji itu’. Baru malas ka juga prosedurnya,” satirnya ketika ditemui di area Fakultasnya.
Reporter: Erick Evangelista Savala, Hanan Afifah
Editor: Fajar Nur Tahir
No Comment