Catatankaki.org-Setelah tujuh tahun, kasus sengketa lahan masih menghantui warga Bara-Baraya. Bermula pada tahun 2016, kehidupan warga Bara-Baraya mendadak dipenuhi rasa waswas terhadap penggusuran. Nurdin Dg. Nombong & Kodam XIV Hasanuddin mengklaim tanah warga sebagai tanah okupasi asrama TNI-AD. Pihak Kodam kemudian memaksa warga Bara-Baraya untuk mengosongkan lahan tanpa melalui proses peradilan.

Mulai saat itu, Bayang-bayang penggusuran menjelma momok di tiap kepala warga Bara-Baraya, apalagi sejak dikeluarkannya Surat Peringatan pertama (SP 1) oleh Kodam pada awal tahun 2017. Pergolakan yang terjadi antara warga melawan Nurdin Dg. Nombong & Kodam XIV Hasanuddin tidak berjalan mulus. SP 1 direspon warga dengan mendirikan palang-palang di setiap jalur.

Penjagaan dilakukan siang dan malam secara bergiliran oleh warga. Andarias Malondong, mengaku kurang tidur akibat berjaga, “sampai-sampai tiga kali saya sakit.”

Surat Peringatan 2 (SP 2) melayang, membuat Andarias jengkel. Ia sebagai ketua RW mencegat tentara yang mengantarkan SP 2 ke kediamannya. “Saya tarai (hadang) di depan pintu, saya robek (SP 2) di depannya. Saya gertak, lalu saya bicara kotor di hadapannya,” ucapnya. Tak berhenti di situ, kabar burung penggusuran kembali merundung warga. “Nda lama mi itu. Tanggal begini kalian mau digusur,” ujar Andarias menirukan anggota Koramil yang datang membawa kabar penggusuran.

“Kami bukan penyerobot tanah. Seolah (kami) tinggal di tanah ini satu dua hari, satu dua bulan, satu dua tahun. Kami sudah di sini puluhan tahun,” tegas Andarias.

Bayang-bayang penggusuran di Bara-Baraya tentu tidak mengenal umur. Brian, yang masih duduk di bangku SMA kelas 1 saat itu, mengaku memiliki banyak teman yang bermukim di dalam asrama Kodam XIV Hasanuddin. Asrama tersebut dulunya dihuni oleh banyak Kepala Keluarga.

Penggusuran asrama menyisakan trauma tersendiri bagi Brian. Ia kehilangan teman, tempat bermain, dan juga sekolah taman kanak-kanaknya. “Saya bahkan TK di asrama tapi sekarang sudah digusur,” tuturnya.

Keadaan memaksa warga Bara-Baraya untuk meronda setiap malam. Brian turut serta dalam ronda malam tersebut. Setiap hari, ia berjaga sampai pagi kemudian bersiap ke sekolah. Ia acap kali mengantuk dan bahkan tertidur di kelas. Kurang tidur menjadi makanan sehari-hari Brian. “Mengantuk sih mengantuk, (tapi) mau mi di apa,” jelasnya.

Bukan hanya Brian, kedua orang tuanya juga terdampak ancaman penggusuran. Semenjak sengketa lahan, keluarga Brian tak lagi memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan berjualan barang campuran di toko kecil di depan rumahnya.

Mata pencaharian orang tua Brian tak lagi sebagai pedagang. Ia sendiri pernah meminta pada ibunya untuk kembali berdagang di toko yang hendak digusur itu. “Jangan dulu, Nak. Jangan sampai kita digusur. Tidak tahu di mana mau disimpan itu barang dagangan,” ucap Brian itu mengulang perkataan ibunya. Ayahnya juga takut penggusuran terjadi dan barang-barang di dalam toko akan dikeluarkan secara paksa dan dirusak oleh tentara.

Bagi Brian, bayang-bayang penggusuran telah membuatnya gusar. “Nda enak tidur, nda enak makan. Pikiran terambang-ambang kapan selesai ini masalah. Seakan-akan kita terombang-ambing,” ujar Brian.

Kini, Brian tengah berkuliah dan juga bekerja di salah satu mall di Makassar sejak 2020. Bukan cuma di rumah, bayang-bayang penggusuran bahkan menghantuinya hingga ke tempat kerja. “Kak, (saya) minta maaf kalau ada apa-apa terjadi di rumahku, saya pulang nah,” ucap Brian mewanti-wanti atasannya. Ia bahkan tak ragu untuk resign dari tempat kerjanya jika tindakannya tak dimaklumi oleh atasannya.

“Sampai sekarang kadang saya parno di rumah, makanya selalu saya keluar hibur diriku. Karena kalau di rumah, kupikir terus ki. Saya benar-benar parno,” ujarnya. Tujuh tahun waktu terus bergulir dan ia masih harus berhadapan dengan bayang-bayang penggusuran.

Bayang-bayang penggusuran juga begitu melekat di pikiran Lusia Lerong. Ia merupakan salah seorang warga Bara-Baraya yang terancam digusur. Ia sempat melakukan perantauan ke Kalimantan 2021 lalu. Bayang-bayang penggusuran membuntutinya hingga ke Kalimantan. “Saya bayangkan kalau kejadian itu terjadi sama kita,” tuturnya. Akhirnya rumah, keluarga, dan penggusuran menjadi alasannya meninggalkan perantauan dan kembali ke Makassar.

Siti Aminah juga mengaku kaget dengan adanya penggusuran. “Langsung ki kaget. Kenapa mau ki digusur, sedangkan kita punya surat. Karena kita beli ini (rumah) ada Akta Jual Beli (AJB) ta,” ujarnya. Perempuan kelahiran Sinjai itu sampai harus mengungsikan cucunya ke Pao-Pao, Makassar. Sekitar dua bulan pelajar di Bara-Baraya tidak bersekolah akibat dari penggusuran.

Perlawanan Perempuan Bara-Baraya

Lusia Lerong menyaksikan langsung tragedi penggusuran yang didalangi oleh tentara. Menyisakan trauma mendalam padanya. Ia menyaksikan rumah-rumah tetangga yang berada dalam kawasan asrama dirubuhkan. Satu rumah diganyang oleh 30 tentara, menyeret barang-barang berharga keluar rumah. “Ibu-ibu emasnya berhambur nda tau di mana,” tutur Lusia.

Ketika itu Lusia acapkali sakit, sampai-sampai berat badannya menurun. “Pertama-tama itu saya drop di situ. Sakit, turun badan, drop, saya pingsan,” ucap perempuan asal Toraja itu.

Namun, keadaan menuntut Lusia untuk beradaptasi. Menginjak tahun-tahun berikutnya, ia telah menjadi lebih kuat untuk melakukan perlawanan. “Dua tahun, tiga tahun, sudah tidak kaget-kaget mi. Dulu memang saya sempat down sekali. Sedikit-sedikit sakit,” ujarnya.

Dirinya kemudian memantapkan diri berada pada garis perjuangan bersama warga yang lain. Sebagai bentuk nyata dari usahanya untuk mempertahankan haknya sebagai pemilik tanah yang sah. “Saya siap melawan. Saya siap di depan rumah kalo ada apa-apa terjadi. Begitu orang tua saya mengajarkan saya,” tutup perempuan berusia 54 tahun itu.

Tak hanya Lusia Lerong, Siti Aminah juga melakukan perlawanan. Upaya perampasan lahan ini tentu membuatnya harus waspada setiap saat. “Tidak ada dulu yang tidur itu. Ganti-gantian ki tidur,” tegas Aminah. Aminah juga mengaku ia dan perempuan-perempuan yang berusia sepantarannya melakukan ronda malam. Aminah telah dua kali melakukan ronda.

Pada Rabu, 30 Maret 2022, Pasca ronda di malam sebelumnya, kebakaran melahap tujuh rumah warga pada sore harinya. “Tujuh rumah terbakar,” kata Aminah. Api itu berasal dari salah satu rumah yang tanahnya bersengketa. Ialah Banna, yang juga tetangganya. “Pada saat itu, rumah itu sedang kosong karena ditinggal pulang kampung beberapa waktu,“ lanjutnya. Ia hampir menjadi korban fisik dari peristiwa itu, “untung ada cucuku kasi bangun ka.”

Aminah hanya mampu menyelamatkan diri dan surat-surat berharganya. Salah satunya ialah AJB yang menjadi alas haknya mendiami tanah itu. “Api malam dijagai, api sore yang datang,” ucap perempuan kelahiran 1963 silam itu.

Tak jauh berbeda, Yulianti juga mengatakan jarang tidur dengan nyenyak semenjak adanya sengketa lahan ini. Bahkan, ia mengaku jarang tidur di rumah dan lebih sering berada di jalanan bersama warga Bara-Baraya lainnya dan beberapa mahasiswa. “Saya itu jarang ka tidur di rumahku. Di jalanan ka,” ucap perempuan yang kerap disapa Mak Uli itu.

Bara-Baraya Adalah Nyawa Warga

Kehidupan di Bara-Baraya tidak lagi berjalan bersahaja. Awalnya warga saling gotong royong saat ada yang terkena musibah kematian. Andarias Malondong mengatakan sebelum orang tua berseru untuk mencari bambu, para pemuda telah lebih dulu bergerak mendahului perintah. Kesahajaan itu telah sirna. Kini warga dibuntuti oleh bayang-bayang penggusuran.

“Saya merasa jika keakraban model di kampung-kampung itu tercermin di Bara-Baraya, yang sebetulnya sudah sangat susah ditemui di wilayah lain di kota besar ini,” ujarnya.

Brian juga tak pernah menyangka, bahwa rumah yang ditempatinya sedari kecil terancam penggusuran. Bagi dirinya, tempat tinggalnya bukan hanya sekadar rumah. “Ini rumah bagiku kayak nyawa(ku) mi juga,” ucap Brian.

Tak berbeda dengan Brian, Lusia Lerong menganggap rumahnya sebagai tongkonan, rumah adat kampung halamannya, yang menyimpan banyak kenangan bersama keluarganya. “Kami sebagai orang Toraja, rumah ini sebagai tongkonan,” ucap Lusia mengingat kembali .

Satu waktu, ibunya yang tinggal di Toraja bertanya mengenai kabar penggusuran itu. Ia bercerita, “baik-baik ji, Mak. Nda apa-apa ji,” jawabnya. Ia melanjutkan, “saya nda mau bilang rumah ini mau digusur.” Itu ia sampaikan dengan berat hati. Ia tidak ingin membuat ibunya bersedih atas ancaman yang menimpanya beserta rumah itu. Di waktu yang sama, ia mengingat pertanyaan serupa datang dari saudaranya. Namun jawaban yang berbeda keluar dari mulut Lusia. “Berdoa-berdoa saja semoga ndadaji masalah,” ucap perempuan kelahiran tahun 1969 itu.

“Di sini napas hidup orang tua,” kata Lusia mengenang bapaknya yang telah tiada. Ia dititipi rumah dari hasil jerih payah orang tuanya. Berada dekat dengan rumah itu, seolah dekat dengan pesan-pesan orang tuanya yang terasa hidup. ”Jaga rumah itu baik-baik. Anggap saja kami masih berada di dalamnya,” ucapnya mengulang kembali perkataan orang tuanya.

Hingga saat ini, kasus sengketa lahan Bara-Baraya masih berproses di pengadilan. Ridwan, selaku kuasa hukum warga Bara-baraya mengatakan gugatan yang diajukan melalui derden verzet ditolak. Pasalnya, dalam satu putusan pengadilan menyatakan penggugat bukanlah pelawan yang sah menurut hukum. “(Namun) fakta yang terungkap dalam persidangan bahwa pelawan memiliki alas hak yang sah,” ungkapnya. Alas hak sah yang dimaksud ialah bukti otentik dalam perolehan tanah melalui proses jual beli. “Menurut kami bukti tersebut sah secara hukum,” lanjutnya.

“Dasar klaimnya mereka bahwa ada sertifikat nomor 4 tahun 1965, yang kemudian pada tahun 2016 diterbitkan kembali dengan dalih bahwa sertifikat yang pertama itu hilang. Lucunya, sertifikat perubahan nomor 4 tahun 2016 itu kemudian tidak pernah dilakukan pemeriksaan secara faktual,” tegas Kepala Divisi advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar itu.

Merespon hasil putusan sidang oleh pengadilan, salah seorang warga Bara-Baraya mengaku tidak puas dengan kinerja ketua pengadilan. Alih-alih senang dengan hasil putusan sidang, Rahimah justru dibuat geram. Rahimah menilai pengadilan terlalu berpihak kepada mafia tanah dibanding warga Bara-Baraya. Ia mengaku adanya ketidakjelasan selama proses pengadilan berlangsung. Seperti ahli waris yang tidak pernah hadir atau batas-batas kepemilikan lahan yang tidak pernah dijelaskan secara gamblang dalam pengadilan.

“Walikota saja tidak pernah membantu warga Bara-Baraya. Camat, lurah, tidak pernah ada yang membantu. Sedangkan kita ini tiap tahun bayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Tidak pernah kita terlambat,” ucapnya. Rahimah kemudian mengatakan masih akan dilakukan upaya hukum sebagai langkah selanjutnya. “Kita masih ada upaya hukum. Kita banding kembali,” tegasnya.

Langkah yang kemudian akan ditempuh oleh warga masih akan dibicarakan bersama tim kuasa hukum mereka. “Kami pasti akan kembali dengan upaya hukum lain selain upaya hukum yang hari ini kami tempuh,” tutup Ridwan dalam wawancaranya bersama Catatan Kaki.


Reporter: Alicya Qadriyyah Ramadhani Yaras, Astrid BM, dan Ahmad Rhandy.
Editor: Fajar Nur Tahir

Previous MAHASISWA KELUHKAN KEBERADAAN PALANG PARKIR, DIREKTUR PUPA: AKAN ADA DI TIAP FAKULTAS
Next BPN TOLAK PERLIHATKAN WARKAH TANAH SENGKETA BARA-BARAYA

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *