Jalan Panjang Unhas Menuju Kampus Ramah Difabel


catatankaki.org-Guiding block atau jalur pemandu di trotoar sepanjang jalan utama Universitas Hasanuddin, Kota Makassar, Sulawesi Selatan hari itu terlihat terlepas, menipis, dan tertutupi tanah. Tidak ada pola titik sebagai penanda ujung dari guiding block. Jalur pemandu untuk difabel netra itu berbatasan langsung dengan dahan pohon dan pembatas jalan.

Selain itu, jalur pemandu punya kemiringan yang curam. Tidak ada jalur pemandu pada beberapa titik, seperti di depan Taman Pascasarjana, depan Fakultas Kedokteran, dan depan Fakultas Ilmu Sosial dan lmu Politik. Selain itu tidak ada simbol braille untuk difabel netra pada tombol lift gedung rektorat dan toilet khusus difabel hanya ada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Nabila May Sweetha, seorang difabel netra yang berkuliah di Unhas mengeluhkan guiding block di trotoar jalan Unhas tidak berperspektif ramah difabel. Menurut dia, Unhas punya pekerjaan rumah membenahi infrastruktur yang tidak aksesibel. “Bangunan fisik tidak aksesibel,” ujar Lala, sapaan akrabnya.

Tapi, Lala bersyukur karena tenaga pendidik dan staff di Unhas peduli terhadap difabel. Ia mudah mengurus beasiswa, Sistem Kelola Pembelajaran (Sikola) yakni sistem pembelajaran daring atau online Unhas yang dapat dibaca oleh pembaca layar difabel netra. Digitalisasi buku untuk akses bacaan difabel netra juga membantu.

Nur Syarif Ramadhan–Ketua Yayasan Perdik (Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan) punya pandangan lain. Dia mengatakan Unhas mulai memperhatikan difabel lantaran dosen Unhas yang mayoritas lulusan kampus luar negeri mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang cukup tentang hak-hak difabel. “Di sana mereka bertemu dengan difabel dan mengakomodasi kebutuhan difabel. Dari situ mulai terbangun perspektif inklusif,” ujar Syarif.

Menurut Lala, hal mendesak yang mestinya segera dibenahi Unhas, ialah ram (bidang miring). Dia menyebutkan terdapat banyak gundukan dan tangga. Hal itu sangat menyulitkan aksesibilitas difabel, terutama bagi pengguna kursi roda. “Karena difabel netra bisa naik tangga. Tapi kalau pengguna kursi roda apa mau diangkat lagi,” ujar mahasiswa jurusan ilmu politik itu.

Lala menyatakan Unhas semestinya tidak perlu menunggu mahasiswa difabel masuk di Unhas, baru kemudian memperbaiki infrastruktur dengan perspektif difabel. Ia berencana berkeliling di tiap fakultas dengan kursi roda untuk menunjukkan betapa tidak aksesibelnya kampus terutama pada difabel pengguna kursi roda.

Senada dengan Lala, Yoga Indar Dewa, Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sulawesi Selatan mengungkapkan sebagai badan publik, Unhas sudah semestinya mudah diakses difabel. Pernyataan Yoga juga diperkuat dalam UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 18 Tentang Hak Aksesibilitas dan Pasal 19 Tentang Hak Pelayanan Publik.

Selain itu, Yoga juga menjelaskan setiap dosen harus punya perspektif memenuhi hak difabel. Menurutnya, penting memberikan edukasi bagi pada dosen yang memiliki egoisme keilmuan. Egoisme yang ia maksud ialah tidak menerima difabel di jurusan tertentu dengan alasan keterbatasan.

“Egoisme keilmuan sama saja dengan menjadikan ilmu kaku. Saya harap dosen bisa lebih terbuka dan menerima keberagaman difabel untuk pengembangan pengetahuan,” ungkapnya.

Hal lain yang menjadi sorotan Yoga ialah tentang dosen yang akan mengajar difabel. Dosen tersebut harus memahami difabel. Ia mencontohkan persoalan yang biasanya hadir pada difabel tuli. Bila mahasiswa tersebut tidak memiliki JBI (Juru Bahasa Isyarat), maka dosennya harus mengetahui cara komunikasi difabel tuli.

“Jangan sampai yang penting masuk kelas, punya absensi bagus dan sudah dapat nilai bagus. Itukan (hanya) formalitas,” tegas pria kelahiran Tahun 1998 itu.

Formalitas yang demikian, sambung Yoga, memungkinkan kampus mendapatkan akreditasi yang baik karena memiliki mahasiswa difabel. Namun, aspek pendidikan malah kurang didapatkan mahasiswa difabel.

Pernyataan Yoga terkait pengaruh inklusifitas kampus terhadap akreditasi kampus dibenarkan oleh Wakil Rektor Bidang Kemitraan, Inovasi, Kewirausahaan dan Bisnis (WR 4), Adi Maulana.

“Akreditasi Internasional sangat menitikberatkan apakah satu universitas itu memberikan fasilitas bagi penyandang disabilitas. Itu semua dinilai, kampus tidak mungkin mendapat akreditasi internasional bila tidak menyediakan fasilitas-fasilitas yang bukan hanya sarana fisik ya, tetapi juga sistem yang aksesibel,” ujar Adi Maulana.

Melihat infrastruktur yang tidak ramah difabel, Ishak Salim, Ketua Yayasan PerDIK periode 2016-2021 menjelaskan disabilitas bukan perihal seseorang tak bisa mandiri bepergian. Tapi, perancang infrastruktur yang membuat difabel tidak mendapatkan akses yang layak. “Makanya orang inggris pakai istilah dissable people, jadi maksudnya orang yang ditidakmampukan,” jelasnya.

Unhas mulai membenahi diri dengan membentuk Pusat Disabilitas (Pusdis) pada 22 Juni 2023. Lewat Surat Keputusan Rektor Unhas nomor 05613/UN4.1/KEP/2023. Pusdis yang berkantor di gedung Pusat Studi Lingkungan Hidup Unhas dibawahi langsung oleh WR 4.

Gagasan ini muncul setahun yang lalu saat Ishak Salim dan Rektor Unhas, Jamaluddin Jompa, menjadi Dewan Penasihat Riset Partnership for Australia-Indonesia Research (PAIR). Ishak membahas pentingnya prinsip-prinsip Inklusi disabilitas diterapkan di Unhas.

“Unhas harus leading di Indonesia timur. Kalau di barat itu sudah ada beberapa Universitas yang bahkan sudah 10 tahun menerapkan beginian,” Ujar Ishak yang juga menjadi Kepala Pusat Disabilitas Unhas.

Menurut dia, pergerakan disabilitas yang menguat mengambil peran bagaimana isu disabilitas bisa masuk Unhas, salah satunya, melalui Yayasan PerDIK. Organisasi ini melakukan advokasi berbasis riset. Dari situ beberapa riset kolaboratif Unhas dan PerDIK berjalan melalui program PAIR Selain PerDIK, ada 14 organisasi difabel di Sulawesi Selatan yang juga menyuarakan isu ini. Di samping itu, Ishak juga melihat penetapan UU No 8 tahun 2016 tentang disabilitas, membuat perbincangan tentang disabilitas semakin ramai.

Adapun, Nabila May Sweetha kerap menyuarakan isu disabilitas dalam kuliah umum yang ia ikuti walaupun topik kuliah umum itu sama sekali tidak membahas difabel. Tujuannya agar Unhas punya perhatian serius terhadap difabel.

Difabel Intelektual Tak Lolos Ujian

Unhas telah membuka jalur afirmasi disabilitas pada Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) untuk calon mahasiswa baru (camaba) angkatan 2023. Dalam prosesnya, terjaring lima calon mahasiswa baru yang kemudian mengikuti wawancara di Rektorat Unhas pada hari Senin (24/07).

Hasilnya salah seorang dari kelima camaba itu dinyatakan tidak lulus. Ia bernama Ririn, seorang difabel intelektual. Saat itu Ririn diwawancarai Wakil Dekan (WD) I Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Mardi Adi Armin. Saat dikonfirmasi, WD I FIB itu mengatakan salah satu alasan tidak lulusnya Ririn dikarenakan ia kurang lancar dalam membaca. “Dia (Ririn) mampu membaca tapi butuh waktu untuk membaca satu kalimat,” ujarnya.

Hasil wawancara Ririn, kata Mardi, berada di kategori kurang dari kategori tinggi, sedang, dan kurang. “Jadi dia (Ririn) ada di kurang, tapi posisinya maksimal. Jadi batas antara kurang dan sedang,” ujar Mardi.

Hal berbeda disampaikan Ishak. Ia menilai keadaan difabel intelektual memang begitu adanya. Bila menggunakan standar nondisabilitas untuk mewawancarai disabilitas intelektual, maka hasilnya pasti yang bersangkuta tidak akan lulus.

“Mestinya menggunakan standar disabilitas intelektual. Artinya disabilitas intelektual ini secara teoritik maupun program ada cara belajarnya. Mereka dalam bahasa Inggris disebut Learning disability sehingga mereka punya perbedaan dalam belajar,” terangnya.

“Jadi kalau menggunakan standar kemampuan membaca dan menyatakan kalau dia tidak bisa membaca dia tidak lulus. Itu artinya tidak berubah dong perspektifnya karena masih menggunakan able people ketimbang dissable people,” sambungnya.

Ishak mengungkapkan Unhas telah melewatkan pengalaman mahal lewat tidak lulusnya difabel intelektual seperti Ririn. “Kalau kita menerima disabilitas intelektual, Pusat Disablitas dan Fakultas jadi belajar bagaimana menghadapi mahasiswa dengan disabilitas intelektual. Nah, itu mahal sekali bisa punya pengalaman begitu,” kata dia.

Ihwal able people, kata Ishak tidak tepat disematkan terhadap difabel. Padahal, difabel selama ini ia lihat bukan sebagai individu tidak mampu, melainkan dibuat atau dipandang tidak mampu. Celakanya, sebagian orang memakai kaca mata sesuai standar able people. “Begitu dissable people ingin menggunakan rancangan yang dibuat able people ya sudah tidak cocok,” tuturnya.

Menurut Ishak hal tersebut menunjukkan Unhas masih integratif menerima difabel, namun meminta difabel menyesuaikan dengan sistem yang ada. “Kalau inklusif ya menerima difabel sekaligus menyesuaikan kondisi difabelnya dengan sistem pendidikanmu. Jadi sistem yang mengikuti bukan difabelnya.”

Ia sendiri menyayangkan dalam pengambilan keputusan kelulusan Ririn, Unhas tidak melibatkan disability expert. Menurutnya disability expert ini dapat memberikan pertimbangan agar terhindar dari bias able people.

Sementara itu, Yoga Indar Dewa yang sempat duduk di bangku sekolah luar biasa (SLB) mengatakan pengalaman literasi yang kurang membuat difabel kesulitan dalam menyesuaikan standar yang ada di perguruan tinggi.

“SLB itu kurikulumnya lebih rendah dari sekolah umum. Nah setelah mau masuk kampus, difabel dituntut untuk punya keterampilan berfikir tingkat tinggi. Logikanya bagaimana?” ujar mahasiswa jurusan sosiologi UNM angkatan 2019 itu.

Ishak salim menyatakan berencana membangun kesadaran pentingnya disabilitas kepada publik. Ishak akan mengkampanyekan disabilitas dengan mengenalkan keragaman disabilitas, mengajak fakultas ataupun program studi untuk menyiapkan ruang yang aksesibel secara fisik dan digital.

Selain itu, ia juga beranggapan semestinya Unhas lebih aktif dalam mencari difabel yang ingin kuliah dan lebih membukakan lagi akses di jalur SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi) dan SNBT (Seleksi Nasional Berbasis Tes).

Ia akan memantau difabel yang bersekolah di sekolah umum dan di SLB. Tujuannya agar informasi pendaftaran di perguruan tinggi dapat dengan mudah sampai pada difabel. Ia juga berencana membuat program khusus untuk difabel yang akan memasuki perkuliahan berupa pemberian gambaran tentang perkuliahan.

“Apalagi kita tahu betul kurikulum SLB itu tidak kompetibel dengan kurikulum kampus.”

Tak jauh beda dengan Ishak, Nur Syarif Ramadhan mendorong para difabel masuk di jalur tes seperti SNBT. Tujuannya supaya difabel yang akan kuliah di sana punya kemandirian yang kuat.

Penulis: Abd Sulaeman

***

Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.

Previous PRI SULSEL SOROTI REFORMA AGRARIA "PALSU" JANJI NAWACITA JOKOWI
Next Hambat Mobilisasi dan Sebabkan Macet, Mahasiswa dan Masyarakat Terganggu Palang Parkir PKM

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *