Catatankaki.org-Apakah Universitas—yang dipenuhi akademisi dan intelektual kritis—telah alergi terhadap kritik dan mual-mual ketika berhadapan dengan gerakan pelajar[1] yang notabene berasal dalam tubuh yang sama?
Begitu kira-kira pertanyaan dan kesimpulan sementara yang segera mengepul di kepala hamba ketika menyaksikan sebuah cuplikan pidato salah satu rektor di Un1v3sit4S tEr3a1k dI 1nd0Ne5ia T1muR berseliweran di linimasa media sosial. Keraguan segera muncul. Tanpa panjang lebar, hamba mencoba menontonnya secara utuh. Semuanya demi terhindar dari bias dan menempuh jalan yang objektif.[2]
Alamak! Delapan jam durasinya.
Berhati-hati hamba memaju-mundurkan progress bar, mencari dimana gerangan pidato itu berkumandang. Cukup lama saya mencari dan akhirnya mendapati pidato beliau dimulai pada pukul 1.11.06. dan berakhir pada 1.49.18, sekitar 38 menit beliau ini berseloroh aneka macam topik. Namun, lima menit terakhirlah yang menyita perhatian hamba dan mungkin orang di luar sana.
Setelah menontonnya, seketika pertanyaan dan kesimpulan hamba di awal serasa diafirmasi. Institusi pendidikan tinggi ini sedang tidak baik-baik saja. Ia diserang! bukan oleh kelompok anarko ataupun Semaun. Bukan itu. Universitas Hasanuddin per hari ini sedang mengalami gejala umum yang ditimpa oleh mayoritas perguruan tinggi di manapun mereka berada.
Seolah Unhas memiliki dua wajah yang sama-sama busuk tapi hakikatnya kontradiktif, satu wajahnya menampakkan sisi Neoliberalismenya dan wajah lainnya tampak menggambarkan Feodalisme akut. Atau, jangan-jangan keduanya sebenarnya adalah pranata yang saling mendukung satu sama lain?
Sebelum melanjut, hamba rasanya perlu mengaddress diri sebagai pelajar biasa. Tidak berafiliasi dengan kelompok-kelompok yang disorot di atas. Jangankan ikut gabung atau sekadar kongkow bareng mereka, berangkat ke kampus demi kepentingan organisasi skala himpunan saja hamba sudah malasnya minta ampun. Apalagi ini, kelompok yang agaknya mengambil alih tupoksi dan kinerja BEM Universitas, eh, tunggu dulu, memangnya Unhas punya BEM?
Sekali Lagi Tentang Neoliberalisme Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi memang menjadi satu di antara sekian banyak institusi yang merasakan keberadaan neoliberalisme dalam beragam bentuk. Penegasan neoliberalisme ini umumnya ditandai dengan kemunculan landasan legal-formal berupa aturan yang mengisyaratkan minimalisasi peran negara, dalam hal ini paling mencolok adalah pemanfaatan dana negara untuk pendidikan yang berkurang.[3]
Perubahan manajemen tata kelola perguruan tinggi yang menganut prinsip New Public Management (NPM) turut menjadi tanda kuat perubahan ke arah neoliberalisasi. NPM sendiri merupakan upaya menjadikan layanan publik semakin mirip dengan layanan bisnis dan meningkatkan efisiensinya menggunakan model yang digunakan oleh sektor swasta.[4]
Selain itu, transformasi di ranah kultur akademik dan kerja produksi pengetahuan yang pada dasarnya mencerdaskan kehidupan bangsa justru menjelma sebagai proses serba kompetitif dengan stress sebagai makanan sehari-hari.[5] Fenomena ini bukan hanya terjadi pada para akademisi semata, merasakan stress juga turut dialami oleh mahasiswi/a yang sedang dalam masa studi.[6]
Ketiga paparan di atas bukanlah penjelasan konkret mengenai praktik neoliberalisme perguruan tinggi yang menghantarkan kita pada pemahaman menyeluruh mengenai realitas “struktur sosial paling ilmiah” di muka bumi ini. Ketiganya hanya gambaran sederhana. Karena seyogyanya efek neoliberalisme lebih daripada yang terbayangkan.
Mungkin di Indonesia kasus ini adalah hal baru. Namun, apabila kita menggali literatur akademik mengenai relasi industri dan kampus, hal ini sebenarnya bukan lah sesuatu yang baru. Jauh sebelum istilah neoliberalisme sendiri mengemuka di tahun 1980-an. Seabad lebih sebelumnya, tepatnya tahun 1918, seorang sosiolog cum ekonom, Thorstein Veblen pernah memeringati perkara ini secara mendetail melalui iklim akademik di Amerika Serikat sebagai preseden.[7]
Yang perlu disadari adalah dampak dari neoliberalisme bukan hanya menyasar pada buruh akademik dan sistem kelola universitas semata seperti yang banyak diterangkan oleh para pengkaji. Masyarakat yang bergelut di dalamnya seperti tenaga pendidik, tenaga kontrak (outsourcing), penjaja kantin, pedagang, hingga mahasiswi/a berbagai jenjang pun merasakan dampak serupa baik secara implisit maupun eksplisit.
Unhas, Otonomi dan Sengkarut
Intrusi neoliberalisme utamanya pada sektor perguruan tinggi di kawasan Asia Tenggara barulah terasa pasca krisis moneter di tahun 1997. Di Indonesia lebih wadidaw lagi, ia disambut oleh reformasi politik di tahun 1998.[8] Kebebasan pasca cengkeraman otoritarianisme membuat “segalanya” bebas masuk memenuhi lanskap sosial bangsa ini, dan di tahun 2000 proyeksi neoliberalisme mulai kadung digalakkan, empat Universitas terlibat dengan menyandang status BHMN. Komitmen lebih serius dalam mewujudkan neoliberalisasi perguruan tinggi kemudian diambil pada 2012 dengan terbitnya Undang-Undang No. 12 Tentang Perguruan Tinggi.
Singkat cerita Unhas riding the wave dengan memantapkan dirinya pada tahun 2017.[9] Lalu, disinilah semua itu bermula. Pembangunan aneka unit bisnis dan rajutan kerjasama multipihak dengan tujuan beragam (umumnya sih pasti mencari cuan) marak dilakukan oleh Unhas setelah kukuh menjadi perguruan tinggi berbadan hukum. Di sisi lain, kenaikan uang kuliah tunggal dan penambahan porsi jalur mandiri non subsidi yang rawan korupsi itu[10] menjadi upaya Unhas dalam merengkuh pemasukan. Memeras mahasiswi/a sepertinya adalah rumus umum dari neoliberalisme perguruan tinggi.
Feodalisme Kekinian
Pelajar yang sadar tidak tinggal diam. Mereka berserikat, menggalang kekuatan antar sesama, dan terus mendengungkan perlawanan terhadap satu musuh bersama: neoliberalisme. Praktik mengorganisir diri dalam barisan gerakan pelajar bukan lah sesuatu yang baru dalam sejarah perlawanan neoliberalisme perguruan tinggi. Bahkan keterlibatan dosen dan masyarakat kampus lainnya dalam berserikat merupakan fenomena yang wajar.[11]
Kalau di Unhas dosennya justru antipati sama gerakan :p
Respon udik seperti yang dikemukakan dalam pidato Rektor Unhas beberapa hari yang lalu bukan lah cerminan tepat dalam menanggapi gelombang gerakan pelajar yang masif belakangan di Unhas. Posisi pimpinan mestinya mengutamakan dialog dan diskusi dalam menghadapi gerakan tersebut, sembari introspeksi diri terhadap aneka luaran kebijakan yang justru merugikan berbagai pihak. Bukannya memberi kecaman yang tidak berdasar, menuduh sana-sini.
Apa yang telah dilakukan sang Rektor hanya meneguhkan prinsip otoriter yang berkelindan erat dengan neoliberalisme. Dalam uraiannya, Smyth (2017) mengungkapkan bagaimana kecenderungan universitas yang telah terpapar neoliberalisme kerap menutup diri dari yang namanya debat dan saling kritik sebagai laku umum dalam kehidupan akademik. Terangnya, ia bilang begini:
The notion of universities as places of sustained social critique and debate has been superseded and supplanted with the notion of them being places that are responsive to the ‘knowledge economy’ and the ideas of transparency and accountability that bringwith them a fetish for ‘recordation’— meaning bookkeeping and the official recording of evidence.[12]
Semua direduksi dalam nomenklatur ekonomi. Narasi Universitas sebagai magistrorum et scholarium hanya ungkapan belaka yang tinggal sebagai sejarah. Dan Unhas, dengan wajah neoliberal dus feodalnya telah menunjukkan tanda-tanda yang bisa ditebak akhirnya: kampus adalah pabrik, yang agak elite sedikit.
Sebagai penutup hamba cuman mau berpesan:
“Pak Rektor yang kucinta, ada baiknya engkau mendengarkan para stafmu untuk tetap membaca pidato yang disediakan, bukannya memperkeruh suasana berujung memperlihatkan bentuk feodalisme kampus yang kesekian kalinya. Kan bapak sendiri yang bilang kalau kita (baca: Unhas) mesti memoles citra sedemikian rupa. Eh, btw, keluarga besar Universitas Hasanuddin yang bapak maksud dalam pidato itu siapa yah? Rekan bisnis gitu? Ehe.”
[1] Penulis memilih menggunakan istilah pelajar ketimbang mahasiswa demi menghindari segmentasi bercita rasa eksklusif yang kerap meminggirkan kalangan “bukan mahasiswa” dalam agenda gerakan sosial selama ini. Meski begitu, istilah “gerakan pelajar” pada titik tertentu dapat memicu masalah sejenis.
[2] Cuih! Jujur saja hamba jengah pakai term ini, objektivitas kerap menghalangi pengungkapan kebenaran mutlak dan tentunya meminggirkan mereka yang selama ini tertindas.
[3] Terdapat usulan menarik mengenai masalah ini. Ketimbang memangkas dana pendidikan untuk perguruan tinggi, mengapa Negara tidak memotong dua pertiga anggaran militer mereka untuk disalurkan pada perguruan tinggi. Sebab pendidikan harus dipandang sebagai hak, sedangkan tetek-bengek militer itu jauh darinya. Lihat selengkapnya di Henry Giroux. (2014). Neoliberalism’s War On Higher Education. Harmarket Books.
[4] Peter Fleming. (2022). Dark Academia: Matinya Perguruan Tinggi, (terj. Dhianita Kusuma Pertiwi). Footnote Press.
[5] Alpesh Maisuria & Svenja Helmes. (2020). Life for the Academic in the Neoliberal University Routledge.
[6] Silah simak bab 8 tentang “The Student Experience” dalam Rob Watss. (2017). Public Universities, Managerialism and the Value of Higher Education. Palgrave Macmillan. Hal 259 – 295.
[7] If the higher learning is incompatible with business shrewdness, business enterprise is, by the same token, incompatible with the spirit of higher learning…On the other hand, the higher learning and the spirit of scientific inquiry have much in common with modern industry and its technological discipline. Thorstein Veblen. (1920). The Higher Learning in America: A Memorandum on the Conduct of Universities by Business Men. B. W. Huebsch. Hal. 75-76.
[8] Inaya Rakhmani. (2019). Reproducing Academic Insularity in a Time of Neo-liberal Markets: The Case of Social Science Research in Indonesian State Universities. Journal of Contemporary Asia, DOI: 10.1080/00472336.2019.1627389
[9] Kodrat Setiawan. (2017). Unhas Resmi Jadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, diakses dari https://nasional.tempo.co/read/836559/unhas-resmi-jadi-perguruan-tinggi-negeri-badan-hukum
[10] Rektor Universitas Udayana, I Nyoman Gde Antara ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada 2023 ini dengan kerugian sekitar Rp105,39 miliar, setahun sebelumnya Rektor Universitas Lampung, Karomani juga turut digelandang petugas karena kasus menerima suap. Keduanya merupakan contoh konkret bagaimana praktik neoliberalisme memiliki efek begitu brutal bagi kehidupan intelektual.
[11] Malcolm Noble dan Cilia Ross. (2019). Now Is The Time for Co-operative Higher Education, Dalam M. Noble & C. Ross. (2019). Reclaiming the University for The Public Good: Experiments and Futures in Co-operative Higher Education. Palgrave Macmilan.
[12] John Smyth. (2017). The Toxic University: Zombie Leadership, Academic Rock Stars and Neoliberal Ideology. Palgrave Macmillan. Hal 78.
Author: Genteng Bocor
Ilustrator: Febryanti
No Comment