Berminggu-minggu lamanya aku menyisihkan separuh uang jajanku untuk membeli tiket pertandingan sepakbola di kotaku. Aku tak mungkin melewatkan pertandingan ini. Laga ini telah dinantikan banyak orang. Di mana-mana laga ini dibicarakan. Belakangan aku bercerita banyak hal dengan bapak berkat laga ini. Aku menceritakan bagaimana keseharianku di pergaulan dan juga sekolahan, tapi lagi-lagi tidak jauh dari sepakbola, sebab yang dibahas di dua tempat berbeda itu juga sama, tidak lain dan tidak bukan, laga derbi.
Tiket terbeli. Tak lupa juga jersei tim yang kudukung nanti. Keluaran terbaru dan pastinya orisinil, maklumlah, tim yang kudukung berasal dari kotaku sendiri, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan hingga paham caranya menyisihkan uang. Jadi, rasa-rasanya kurang pantas saja jika aku setengah-setengah mengeluarkan uang.
Aku tiba di stadion sehabis magrib. Puluhan ribu makhluk yang bentukannya sama denganku mengisi penuh tribune stadion. Darahku mendidih, semangatku berkobar. Belum pernah aku merasa sehidup ini. Atmosfir stadion telah membakar sukmaku sedemikian rupa, hingga akhirnya aku menuangkan diri sepenuhnya ke dalam riuhnya laga sepakbola. Penantian panjang pun berakhir, peluit pertanda dimulainya pertandingan akhirnya berbunyi.
***
Darahku mendidih, benar-benar didih. Tim yang kudukung kalah. Sebagian kecil manusia yang mendukung pemenang bersukacita, sebagian besar lain gelisah, menderita, lalu bersumpah serapah. Atmosfir stadion pun berubah. Persaingan merubah wujudnya menjadi perseteruan. Aku sendiri ikut menderita. Darahku mendidih, tak pernah sedidih ini. Seumpama tim ini ibuku, aku telah melihat ia ditikam tiga kali dengan mata kepalaku sendiri, di rumahku sendiri, dan yang bisa kulakukan saat itu hanya memberi dukungan, tepat di pojok ruangan. Ibu sebenarnya cukup memberi perlawanan, tapi tiga tikaman yang menyasar badannya tetap membuatnya tumbang.
Situasi semakin tak terkendali. Seseorang memaksa masuk ke lapangan, ia berhasil. Satu demi satu mengikut jejaknya, hingga seorang yang tadi hilang ditelan kerumunan yang tumpah ruah di atas hijau rerumputan. Aku sempat berpikir, apakah yang mereka lakukan diperbolehkan? Persetan, memang inilah yang seharusnya kau lakukan bila melihat ibumu ditikam tiga kali di rumah sendiri. Aku pun bergabung ke dalam kerumunan.
Ribuan orang berdesakan, berusaha meraih para pemain yang tertunduk kepalanya. Yang berhasil berhadapan dengan para pemain, mengusap punggung mereka. Ada juga yang membelai kepala mereka, sembari mengucapkan kata-kata penyemangat. Yang tak mendapatkan kesempatan untuk menyalurkan spirit kepada para pemain yang kalah telak, meluapkannya dengan cara berlarian ke sana-kemari.
Gerakku impulsif. Aku betul-betul tak paham dengan apa yang kulakukan. Berlari-lari kesana kemari, mengitari sekujur lapangan sembari menyorakkan kekecewaan. Aku tak paham, tapi lega. Aku pikir sudah semestinya darah yang mendidih ditumpahkan persis seperti ini. Aku masih berlari ketika benda tumpul menghantam punggungku dengan telak, lebih telak dari kekalahan ibu. Aku terhempas begitu jauh ke atas rumput. Napasku tersangkut, siku kananku nyeri, sepertinya darah yang mendidih tadi benar-benar keluar dari situ.
Aku mencoba menoleh ke arah hantaman tadi. Ada seseorang, tidak, ada banyak orang, banyak sekali. Mereka berhamburan kesana kemari. Kebanyakan dari mereka berlari seakan-akan dikejar, tidak, bukan seakan-akan tapi benar-benar dikejar. Satu per satu yang dikejar berjatuhan, ada yang dihantam baton, ada pula yang ditendang sepatu laras. Aku pikir yang menghantam punggungku tadi mungkin saja sepatu laras.
Terkapar di atas rerumputan membuatku teringat akan cerita bapak. Tempo hari bapak mengaku pernah menjadi pemain sepakbola pada pertandingan-pertandingan antar kampung. Posisinya sebagai penyerang. Ia mengatakan dengan bangga bahwasanya ia adalah penyerang terhebat di kampung pada zamannya, ratusan gol telah berhasil ia cetak, katanya. Bahkan klub sepakbola profesional di kotaku mulai melirik kemampuan bapak saat itu. Itu semua benar-benar terjadi sampai suatu kejadian menghentikan lirikan si klub. Bapak cidera berat karena ditekel dengan keras oleh pemain lawan. Bapak bilang itu karena si penekel takut satu lapangan dengannya, di samping itu bapak juga beranggapan kalau si lawan iri dengan kemampuannya. Bapak menceritakan semua itu dengan antusias, ia bahkan sama sekali tak terlihat menyesal ataupun bersedih dengan kejadian yang membuatnya cidera. Tak jarang bapak menceritakan kisahnya sambil tertawa, dan sudah pasti aku akan ikut tertawa, tawa bapak menular soalnya.
Aku tersenyum ketika mengingat cerita bapak. Senyum yang punya warna dan benar-benar tulus. Entah mengapa, aku sendiri tak paham. Namun, senyum tulusku pudar warnanya ketika sebuah baton diayunkan ke kepalaku. Telingaku seketika berdengung seakan-akan ribuan lebah berputar-putar di dalam daun telingaku. Pandanganku kabur, entah kemana. Aku juga merasakan lelehnya darah di sekitar pelipisku. Badanku beberapa kali turut dihantam baton, meskipun rasa sakitnya dengan terpaksa harus kuacuhkan karena telingaku belum usai dengungannya, pandanganku tak kunjung kembali ke tempat asalnya, dan lelehan darah yang tadi kini berkumpul menjadi genangan darah.
Kesadaranku seketika hilang lalu kembali. Aku tak tahu berapa lama. Yang pasti ayunan baton tadi sudah tak ada. Aku dengan susah payah mengumpulkan seluruh tenaga dan berusaha bangkit, tak peduli seberapa besar rasa sakit yang menusuk-nusuk tubuhku, aku harus pulang ke rumah. Aku sudah berjanji dengan bapak untuk pulang ke rumah tepat setelah pertandingan usai. Bapak pasti sudah menunggu dengan raut muka yang kesal karena kekalahan klub kesayangannya. Bapak tidak ikut menonton di stadion, tak punya uang katanya, dan sudah ada aku yang mewakili dia, lagipula masih ada tv tetangga.
Aku yang dengan susah payah menyeret kaki, dilalui oleh banyak orang yang berlari seperti dikejar anjing gila. Mereka terlihat menutup hidung, mulut, dan mata mereka, karenanya lari mereka tak terarah. Batuk demi batuk terdengar menggaung, teriakan histeris menyertai dan lebih nyaring dari gaungan batuk. Aku tak paham dengan apa yang terjadi, tapi sepertinya hidung, mulut, dan mataku paham, karena ketiganya terasa perih. Sekelilingku mulai penuh dengan asap pekat berwarna putih. Perihnya makin menjadi. Hidungku dengan terang-terangan menolak asap itu masuk ke dalam tubuh, tapi apa daya, asap itu dengan lihai menerobos masuk. Mulutku terasa getir, tenggorokanku gatal. Pandanganku kembali ingin kabur, namun terperangkap ke dalam danau air mata yang terbentuk tanpa aku sadari.
Aku mempercepat kakiku menuju pintu keluar, pintu yang dituju ribuan orang lainnya. Keinginan kami semua sepertinya sama, ingin menyelamatkan diri dari kepungan asap pekat berwarna putih. Kakiku dalam beberapa saat bergerak maju dalam bentuk langkah, sesaat lain dalam bentuk lompatan, sesaat lainnya hanya dalam bentuk seretan yang payah. Akan tetapi, kolaborasi bentuk itu berhasil menghantarkan aku kedepan gerbang keselamatan, tidak, tidak sampai di depan, bahkan gerbang itu tidak kelihatan. Yang terlihat hanya kerumunan, dan aku di tengah-tengah kerumunan itu, berhimpit-himpitan. Semua orang dengan susah payah saling mendorong dan saling menarik. Semuanya sama-sama berharap untuk melalui gerbang terlebih dahulu. Jerit demi jerit menggema di telingaku, betul-betul ramai, betul-betul memusingkan. Tak hanya itu, tangis bayipun turut pecah dalam kerumunan, ya tuhan.
Asap pekat berwarna putih tadi akhirnya menghampiri. Menambah panik kerumunan yang ada. Jerit-jerit tadi secara perlahan digantikan suara batuk, yang tak tergantikan hanya tangis bayi. Apa yang dialami oleh hidung, mulut, dan mataku pun semakin parah. Kini paru-paruku mulai terasa seperti ada yang mencekik. Tenggorokanku begitu perih seakan-akan dimasukkan arang dengan paksa. Mataku sudah tidak dapat melihat lagi. Aku tersedak sekaligus terdesak. Didesak oleh asap pekat berwarna putih. Didesak menuju jurang maut. Tidak, lebih tepatnya dengan sengaja dibuang ke jurang maut.
“Maafkan aku, Bapak. Maafkan aku, Ibu”.
Author: Lou Cypher
No Comment