REKLAMASI PULAU LAE-LAE KARPET MERAH UNTUK PARA INVESTOR


Catatankaki.org-Sore hari di bawah ramainya awan, Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi (HIMAJIE) FEB-UH menggelar diskusi publik bertajukkan “Penolakan Reklamasi dan Pengakuan Ruang Hidup Masyarakat Pulau Lae-Lae” pada Selasa (28/3/2023). Diskusi yang berlangsung di Student Centre FEB-UH ini berusaha menilik perjuangan masyarakat Pulau Lae-Lae dalam menolak reklamasi yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan.

Diskusi yang dimulai pada pukul 16.20 WITA ini menghadirkan Hasbi Assidiq dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar sebagai pembicara. Ia membuka diskusi dengan mengatakan bahwa sebelumnya untuk pembangunan reklamasi CPI tahun 2016 mereka menggusur puluhan kepala keluarga untuk membangunnya “Itu yang harus dikorbankan atas nama reklamasi,” ujar Hasbi.

Menurutnya, laut yang seharusnya dapat diakses oleh siapa saja dan dimiliki oleh publik, justru diprivatisasi dan dikomersilkan. Proyek reklamasi Pelabuhan Makassar New Port (MNP) ia jadikan sebagai contoh bagaimana pemerintah dengan mengatasnamakan pembangunan dan investasi melanggengkan pengerukan pasir di kawasan nelayan Kodingareng, sehingga merusak ekosistem laut yang berada di sana.

“Belum memberikan akses pemulihan (lingkungan) di Kodingareng, pemerintah malah ingin menambah kawasan wisata lain,” ungkapnya. Ia sendiri beranggapan bahwa tindakan reklamasi terang saja merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Diskusi publik yang dihadiri oleh puluhan orang ini akhirnya masuk pada sesi tanya jawab. Moderator dari diskusi inilah yang mula-mula melemparkan pertanyaan. Ia menanyakan apa upaya pemerintah dari waktu ke waktu dalam melaksanakan reklamasinya. Hasbi menjawab hal ini dapat dicermati sejak keberadaan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Makassar pada tahun 2015 yang mengakomodir kepentingan investasi. Dimulai pada saat itulah zonasi tambang pasir dibuat dengan mengesampingkan wilayah tangkap nelayan.

Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Sulawesi Selatan dibuat tahun 2018 untuk kepentingan zonasi tambang pasir laut yang kemudian terjadi pada tahun 2020 di wilayah tangkap nelayan tradisional Pulau Kodingareng. Selanjutnya ia juga menambahkan bahwa terbitnya RZWP3K tahun 2022 – pasca pengesahan UU Cipta Kerja – merupakan regulasi yang diintegrasikan dengan RTRW Sulsel yang menyebut terang reklamasi pesisir Pulau Lae-lae yang akan dilakukan. Hasbi menilai regulasi-regulasi ini memberi kemudahan bagi investasi. “Karpet merah untuk para investor,” pungkasnya.

Lebih lanjut menurutnya Pemprov dalam hal ini Gubernur memiliki kewenangan untuk menentukan Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup yang menilai apakah suatu rencana usaha/kegiatan layak direkomendasikan atau tidak.

Setelah itu Hasbi menyinggung ketidakadilan yang ada pada rencana reklamasi pulau Lae-lae. Ia berpendapat bahwa pemerintah harusnya netral dan tidak membawa konflik kepentingan. “Tidak fair ketika Pemprov yang memiliki kepentingan untuk mengembangkan pariwisata sementara dia juga yang memiliki kemampuan untuk menguji kelayakan lingkungan hidup,” Ucap Hasbi.

Zulaefi, salah satu peserta diskusi menanyakan apa titik kompromi Ketika kekuasaan dan kepentingan negara diperhadapkan dengan masyarakat Lae-lae. Hasbi menerangkan kebutuhan primer semestinya harus didahulukan Ketika kepentingan pemerintah dibenturkan dengan kepentingan masyarakat Lae-Lae. Ia merasa kepentingan Pemprov untuk membuat kawasan pariwisata tidak lebih primer bila dibandingkan dengan mata pencaharian dan tempat tinggal masyarakat Lae-Lae. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa hukum yang adil adalah hukum yang bisa memberikan perlindungan kepada warga yang dirampas haknya.

Kemudian Hasbi mengatakan Pemerintah tidak bisa dengan semena-mena menggusur masyarakat Lae-Lae lalu menjanjikan pekerjaan di bidang pariwisata, sebab kerja-kerja nelayan berbeda dengan pariwisata, butuh waktu bagi mereka untuk membiasakan diri. Tak hanya itu, kondisi sosial dan budaya pun dapat berubah berkat penggusuran. “kalau pemenuhan hak warga tak dilakukan pemerintah, maka pembangunan itu untuk siapa?” ungkapnya.

Di akhir diskusi Hasbi mengingatkan sebelum reklamasi dieksekusi pada bulan Mei, masyarakat dan mahasiswa masih memiliki waktu untuk menentukan sikap dan ikut bersolidaritas dengan masyarakat Pulau Lae-Lae dalam menolak reklamasi serta perampasan ruang hidup mereka. “Tugas kita itu sesederhana menentukan sikap. Menentukan kita berada di posisi yang mana,” pungkasnya.


Reporter: Fajar Nur Tahir & Abdul Hakam Hidayat

Previous Selamat Hari Ibu, Mak
Next TOLAK PENGESAHAN PERPPU CIPTA KERJA MAHASISWA UNHAS MENGGELAR AKSI

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *