Mak,
aku rindu masakannya mamak
aku rindu ikan mujair yang mamak goreng dengan minyak jelantah
aku rindu sambal yang biar berapa kali mamak jelaskan resepnya
akan tetap aku lupa
aku memang tidak pintar masak mak
Juga sedikit banyak suka lupa.
Dulu,
tiap pulang sekolah
mamak sering hidangkan itu
di atas meja makan
tentu saja aku lahap dengan rakus mak
karena di sekolah energiku habis
gara-gara main terus.
Padahal mamak selalu bilang:
“Belajar yang betul ya nak,
Supaya kamu bisa jadi orang.”
Apa boleh buat mak
kejar-kejaran lebih asyik buatku.
Tapi,
bukan cuman ikan mujair goreng
sama sambal yang entah apa resepnya
dan juga nasi panasnya mamak
yang bikin aku kuat
buat main bola
seusai pulang sekolah.
Sekadar telur dadar saja
sudah amat sangat lezat buatku mak
rasanya selalu pas
beda kalau aku yang bikin
pasti hambar atau terlalu asin,
tidak pernah di antara keduanya.
Mak,
mamak ingat tidak kebiasaan mamak
yang sering bikinkan aku teh
kalau aku pulang
sehabis main sore-sore?
Tehnya sempurna mak.
Manisnya gula yang mamak taruh
tidak bikin rasa tehnya luruh,
hangat airnya juga pas mak,
tidak pernah bikin lidahku melepuh.
Sekarang
aku tidak minum teh lagi mak.
Aku sekarang minumnya kopi,
soalnya tanpa gula juga masih enak.
Sayangnya sekarang lidahku sering melepuh mak.
Oiya mak
Hari ini itu hari ibu mak
Selamat ya mak
Ini aku bawa kado buat mamak
maaf ya mak kalau terlambat
tapi apa boleh buat
aku dulu belum mampu untuk
kasih mamak kado ini.
Oiya,
sebelum kado ini aku kasih ke mamak,
bapak sempat berpesan supaya
aku menyampaikan salamnya
ke mamak
diam-diam ternyata
bapak rindu sama mamak.
Lucu kan mak?
Orang sekeras bapak ternyata punya perasaan.
Siapa yang menyangka kalau bapak bisa rindu seseorang padahal dulu dia preman.
Luka sabetan di badan orang-orang sekampung dulu kan asalnya dari dia punya parang.
Bisa-bisanya dia rindu mamak.
Tapi tidak sampai disitu saja mak.
Maaf kalau aku baru cerita ini ke mamak.
Jadi begini mak.
selain bisa merindukan seseorang
ternyata bapak juga bisa cemburuan.
Iya mak.
Bapak pernah cemburu gara-gara mamak ngobrol sama penjual sayur yang kata bapak terlalu lama ngobrolnya.
Sumpah mak.
bapak cemburu sama penjual sayur mak!
Konyol, kan?
Nah,
gara-gara cemburu,
aku dibawa ke suatu tempat sama bapak
aku tidak tahu tempat itu sebelumnya,
yang pasti di sampingku waktu itu ada
pohon mangrove mak.
Aku sama bapak duduk di atas jembatan tepat di sebelah pohon mangrove. Di situ gelap sekali mak.
Sama sekali tidak ada lampu
selain itu, rumah warga juga jauh
tapi untungnya bapak bawa senter
mungkin karena bapak sudah tahu.
Yah,
cuman itu yang kuingat soal tempatnya.
Sesampainya disana
bapak tiba-tiba menangis mak.
Aku kaget.
Aku tidak tahu harus apa.
Duduk berdua saja ini baru pertama kalinya.
Dari situlah aku paham
kalau preman juga punya perasaan mak.
Setelah menangis beberapa saat,
secara tiba-tiba lagi
bapak menghunuskan parangnya
dan meletakkannya di antara kami berdua
habis itu bapak bertanya sama aku: “Mamakmu selingkuh kan? Iya kan?!”
Aku masih kecil waktu itu mak.
Aku tidak tahu apa itu selingkuh,
jadi aku bilang:
“tidak tahu, pak”
terus bapak tiba-tiba marah:
“Jawab saja dengan jujur! Mamakmu selingkuh kan sama si tukang sayur. Sudahlah, jawab saja dengan jujur!”
Bapak lalu mengambil parang yang tergeletak di antara kami berdua, lalu mengarahkannya tepat di depan mataku: “Nak, kalau kau tidak mau jujur. Bapak bakal membunuh diri bapak sendiri sekarang!”
Setelah mengatakan itu, bapak menimbang-nimbang parang yang ada di tangannya:
“tidak. Bukan cuma bapak saja. Kau juga. Kau juga bakal bapak bunuh kalau kau tidak mau jujur sama bapak!”
Habis itu aku menangis mak.
Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku menangis.
waktu aku jatuh dari sepeda, aku tidak nangis mak. Waktu berkelahi dengan temanku juga aku tidak pernah menangis.
Waktu Mamak ditampar sama bapak aku juga tidak menangis. Kenapa aku tidak nangis mak?
Padahal mamak ditampar mak.
Mamak ditendang juga sama dia.
Mamak dicekik.
Mamak dibanting kesana-kemari. Padahal mamak menangis. Kenapa aku tidak mak?
Kenapa aku malah diam di sudut-sudut rumah kita yang kecil?
Kenapa aku malah memeluk lututku mak?
Padahal aku seharusnya memeluk mamak.
Sudahlah.
Setelah melihatku menangis, bapak juga ikut menangis dan memelukku. Parangnya pun kembali ia sarungkan kemudian berdiri dan meninggalkanku sendiri
Beruntung waktu itu aku masih bisa pulang. Itu semua berkat lampu rumah warga yang remang-remang. Walaupun sialnya kakiku berdarah hingga sampai di rumah karena menginjak beling.
Ya,
begitulah ceritaku mak.
Ternyata
preman juga punya perasaan mak.
Oiya
ini aku bawakan hadiah buat mamak
di hari ibu ini.
Aku letakkan di samping nisannya mamak ya.
Maaf mak
kalau aku bikin kuburan mamak jadi kotor begini.
Aku tidak tahu kalau
menggorok kepala manusia
bakal mengeluarkan darah
sebanyak ini.
Tadinya
aku kira manusia darahnya
tidak terlalu banyak.
Apalagi manusia bajingan
kayak bapak.
Oiya,
mamak tenang saja mak.
Bapak pastinya sudah ikhlas.
Mau tidak mau.
Suka tidak suka.
bedebah yang satu itu
harus ikhlas.
lagipula dia juga kan yang memisahkan kepala dan badannya mamak?
Author: San lee
No Comment