Catatan Kaki-Hari Jum’at, 9 September 2022, semua berjalan seperti biasa, seperti hari-hari pada umumnya. Siulan burung, sepoi angin, dan seruak-seruak pohon yang kian hari kian menipis; menemani rutinitas padat peluh kampus berkejaran dengan waktu. Hampir tak ada yang berbeda, atau bahkan hampir dibuat menjadi tak ada yang berbeda, sebelum salah satu mahasiswa ditemukan tergeletak jatuh dari lantai 3 kamarnya.

Subuh waktu itu Ramsis (Asrama Mahasiswa) tempat dia tinggali masih gelap, selain bahwa lampu neon memang tidak tersentuh sejak lama, mataharibelumjuga menyingsing ke langit pagi. Terlihat dari balik remang, seorang gadis berjalan tertatih ke kamarnya dari arah WC yang berada di ujung lorong. Dengan tubuh yang sedikit lagi kehabisan energi, dia paksakan kakinya berjalan selangkah demi selangkah. Pagi nanti baru rencana dia akan ke Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) bersama teman angkatannya untuk memeriksa; sebab habis 5 hari berharap sembuh sendiri dari gejala demam berdarah, tak juga kunjung menjumpa. Namun sayang rencananya gagal, sebab hari itu bukan lagi kasur Puskesmas tempatnya diperiksa, melainkan Rumah Sakit dengan selang kabel menempeli hampir seluruh tubuhnya.

Fitri, gadis itu terjatuh tepat setelah dia melewati beberapa langkah dari depan pintu kamarnya. Kakinya yang dirasa tidak lagi berpijak menghempaskan tubuhnya ke lantai 2, yang tahu-tahu pas sadar, dia telat menyelamatkan diri melewati pagar pembatas kamar, yang tidak memiliki pagar pembatas. Tangan kanannya patah, bagian telapak kaki robek, dan lebam-lebam memenuhi daerah kepala. Kondisi Fitri tampak buruk, namun lebih buruk lagi ketika dia menolak untuk melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit Unhas, karena tidak memiliki dana banyak untuk kesehatan yang mahal.

***
Fitri adalah mahasiswa akhir angkatan 18 Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin. Dia adalah kawan yang dengan sengaja saya kenal di pengaderan fakultas 4 tahun lalu. Kepribadiannya yang menyenangkan, membuat saya masih sering saling sapa di fakultas jika bertemu muka. Kami tidak pernah memiliki pembicaraan yang mendalam, namun sekena yang saya tau Fitri adalah penerima beasiswa Bidikmisi sama seperti saya.

Beberapa hari sebelum musibah menempa, saya mengingat dia mengupload story ucapan selamat ujian kepada kawannya. Dia bahkan tipis-tipis memberi doa kepada dirinya untuk dalam waktu dekat juga menyelesaikan masa studi. Saya tidak tau apakah Fitri sama seperti saya dan teman-teman saya; namun membicarakan akan memakai pakaian apa ketika wisuda, akan semenyenangkan apa berfoto ria bersama keluarga, rasa-rasanya adalah perbincangan semua mahasiswa akhir. Saya yakin, bahwa saya, atau Fitri, atau mahasiswa akhir lainnya, menanti begitu dalam akhir perkuliahan sebagai waktu-waktu baik dalam hidup. Membahas dengan senang pertemuan yang beriringan dengan perpisahan, dan bukannya kehilangan.

Belakangan kemudian saya tau bahwa Fitri adalah anak pertama di keluarganya, dan pekerjaan ibunya hanya sebagai pembantu masak-masak di kampung. Hidup dengan ekonomi yang mencekik, kabarnya Fitri tumbuh dengan Neneknya. Kedua orang tuanya tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di Makassar, namun sayang  ketika berkesempatan untuk ke Makassar bukan kebahagiaan yang menantinya, melainkan tubuh ringkih putri pertamanya yang dia jemput untuk kembali pulang.

Tak terbayang bagaimana perasaan sakit yang dirasakan kedua orang tua Fitri. Anak yang menjadi harapan besar keluarga, harus disaksikan tidur tak berdaya di kasur Rumah Sakit. Seorang anak yang kehilangan orang tuanya barangkali bisa disebut anak yatim atau anak piatu. Namun tidak ada penyebutan yang bisa menggambarkan situasi orang tua yang kehilangan anaknya, saking tidak tergambarkannya perasaan sakit itu. Terlebih ketika dengan pasrah orang tua Fitri menyetujui untuk melepaskan selang-selang yang bertengger di tubuh Fitri, setelah dokter menyatakan Fitri mengalami kematian batang otak.

Kematian tidak ada yang tau, dan hampir kita semua mengerti bahwa hidup adalah perjalanan takdir yang telah diatur. Namun ini lain, kehilangan Fitri jelas adalah kelalaian. Kelalaian mengapa pagar pembatas yang semestinya ada, tapi tidak ada, dan juga mengapa lampu lorong yang seharusnya ada, tapi tidak ada. Kecelakaan yang menimpa Fitri barangkali terlihat seperti musibah mandiri. Namun di luar dari itu, ini adalah kelalaian dan jelas kelalaian.

Ini kemudian makin terang, setelah kami (red: Catatan Kaki) menyusuri mengenai pengelolaan aset Unhas di Rektorat Unhas. Dalam sebuah wawancara bersama Direktur Penanggung Jawab Aset Unhas, dia mengatakan;

Kita akui sedikit ada masalah di kita, dimana ada penghalang yang sudah jatuh kemudian terlambat kita perbaiki, itu saya akui. Itu saya juga baru tau, jujur saja. Tapi kita juga sudah berikan penghalang sementara sambil kita berusaha memperbaiki, karena itu kan perbaikannya tadi sudah saya bikin anggarannya. Perbaikan 1 gedung saja, lebih dari 200 juta untuk perbaikan railing (pagar).

Pengakuan tidak akan mengembalikan nyawa, dan pemakluman atas musibah yang terjadi menimpa Fitri tidak lebih dari sekedar celetukan omong kosong naif, yang tidak dapat memperbaiki apapun. Saya menyesal menaruh kecurigaan begini; namun mengapa harus mengorbankan nyawa dulu lalu pengelola aset Unhas perbaiki? Ini bukan hanya soal Fitri, kejadian Unhas memakan nyawa karena kurangnya perawatan aset pernah terjadi sebelumnya, bahkan masih hangat. Kasus meninggalnya dosen muda Unhas akibat kecelakaan karena trafficjump yang begitu tinggi, di jalan lurus antara Fakultas Ilmu Budaya dan simpang tiga Fakultas Hukum dan Rumah Sakit Pendidikan Unhas, adalah kejadian awal tahun ini, kan? Lalu sekarang Fitri? Entah besok siapa lagi yang jadi korban.

Padahal dana aset tidak main-main jumlahnya; 200 juta, dan 200 juta sudah sangat berlebih sekali. Lalu mengapa begitu sulit untuk memperbaiki, toh perbaikan pagar pembatas tidak juga mengeluarkan biaya sebanyak itu. Masih ada sisa, tenang saja, semua pihak akan kebagian. Tapi ini masalah nyawa, dan ini jelas bukan persoalan Fitri sakit lantas jatuh. Permasalahannya adalah, mengapa pagar pembatas diperbaiki tepat setelah melayangkan satu nyawa?

Lalu lagi-lagi, bukannya merasa bersalah atas kelalaian yang murni hasil ketidakpeduliannya, pihak aset Unhas malah mengakhiri kematian Fitri dengan pernyataan;

Kemarin diambil alih oleh universitas itu yah, dengan kita mengajukan permohonan maaf dan kita berikan ala kadarnya dana bela sungkawa, dan fasilitas yang bisa diberikan bisa sampai ke rumah duka. Nda usah saya sampaikan biayanya, tapi dua kali tim ke sana dan bundanya sudah menandatangi surat keteranganlah, atau apa istilahnya bahwa tidak keberatan karena memang anaknya sakit.

Mungkin ini terkesan subjektif, tapi sekalimat “Nda usah saya sampaikan biayanya, tapi dua kali tim ke sana,” adalah pernyataan menyebalkan. Mengapa begitu sulit untuk mengakui kesalahan dan tidak menjadikan uang sebagai satu-satunya tameng penyelesaian masalah. Semurah itukah kehilangan? Sekecil itukah keluarga almarhumah bagi pihak Unhas? Atau apakah Unhas benar-benar tidak peduli atas kelalaian pengelolaan asetnya, yang melayangkan satu nyawa? Melihat ini semua, rasa-rasanya saya ragu atas dana bela sungkawa yang dikirim dua kali oleh tim Unhas. Kali saja hanya dana, sedang bela sungkawanya hanya tulisan pena penuh formalitas.

Namun tidak hanya berhenti dengan wawancara bersama Direktur Aset Unhas, kami juga menemui Mahasiswi Fakultas Keperawatan angkatan 17 yang memberikan pertolongan pertama pada Fitri. Dia menceritakan runut kejadian yang didapatinya di hari ketika Fitri jatuh;

Rencananya mau dibawa ke Rumah Sakit langsung, tapi si adek yang jatuh menolak karena tidak punya BPJS, dia takut kalau membayar mahal karena tidak punya BPJS. Jadi dia dibawa saja ke kamar, istirahat dan saya dapat pas jam sembilan. Jadi jam sembilan kebetulan habis dinas malam di Rumah Sakit. Jadi pulang dari dinas saya cek kondisinya, saya sempat bertanya bilang “Tidak mau ke rumah sakit? Nda adajikah yang sakit, apata yang sakit?” Terus dia bilang,“Tanganku sakit sama bagian kaki.”(Entah) Tangan kiri ehh (atau) tangan kanan, katanya patah pas dibawa ke Rumah Sakit.

Kalau dari kondisinya memang saya lihat lebam, kemudian yang kaki kanan bagian telapak itu robek, jadi saya sempat bersihkan terus perban. Jam sebelas saya coba tensi, dan tensinya memang rendah, 80/40 saya dapat. Nah disitu saya bilang, langsung saja ke Rumah Sakit siapa tau bisaji maksudnya ditangani dulu, begitu. Nah jadi ada lagi temannya yang datang satu orang, si adik yang jatuh bilang “Bisaka dipinjamkan BPJS” nah itu ndak saya tau BPJS siapa itu dia pinjam. Pokonya pinjam saja.

Rentan waktu yang lama, dari ketika subuh jatuh, lalu diberi pertolongan pertama pada jam 9, lalu dibawa ke Rumah Sakit pada jam 11 lewat. Terang menjelaskan bahwa penanganan yang lambat menjadi salah satu hal yang mengakibatkan kita kehilangan Fitri. Ini bukan Fitri yang salah karena menolak untuk dibawa ke Rumah Sakit sebab tidak memiliki BPJS. Latar belakang keluarga yang tidak berpunya, lalu ditambah tidak memiliki uang sebab bidikmisi hanya membiayai sampai semester 8, cukup jelas untuk membuat Fitri merasa terbebani dengan situasinya.

Ini kemudian sejalan dengan pernyataan teman kamarnya, Mahasiswi Ilmu Sejarah angkatan 17; Karena dia tau kalau merepotkan, maksudnya, dia tau latar belakang keluarganya yang nda mampu untuk bayar rumah sakit, ditambah lagi dia nda punya jaminan kesehatan.

Siapa yang ingin berlama-lama dengan sakit? Sakit demam, flu, atau batuk saja menyiksa, apalagi dengan Fitri yang sudah sakit 5 hari sebelumnya dengan gejala Demam Berdarah dan Tipes, lalu jatuh dari lantai 3 kamarnya ke lantai 2, dengan luka di tangan, kaki, dan lebam di daerah kepala. Ini jelas, bahwa tentu Fitri adalah orang yang paling ingin ke Rumah Sakit, lebih dari siapapun. Namun, bisakah dia ke Rumah Sakit tanpa memikirkan biaya pengobatannya? Bisakah dia menyalahkan orang-orang di sekitarnya sebab hanya mendorong Fitri untuk ke Rumah Sakit tanpa benar-benar bisa mengerti bahwa Fitri adalah orang yang tidak berpunya, yang memiliki orang tua di kampung dengan hanya sebagai pembantu masak-masak saja. Kehidupannya di kampung sangat mencekik, lalu bagaimana mungkin dia membiarkan dirinya menambah kecekikan keluarganya dengan memeriksa ke Rumah Sakit tanpa jaminan kesehatan?

Pasrah, berserah, dan menyerah. Hanya itu barangkali yang bisa menggambarkan kondisi Fitri. Namun siapa yang bisa benar-benar mengerti ketidakinginan Fitri; apakah iya Fitri menolak ke Rumah Sakit bukan karena dia tidak ingin sembuh? Apakah ada orang yang menikmati kesakitan bahkan dengan gejala Tipes dan Demam Berdarah yang serius? Rasa-rasanya semua pernyataan yang mengatakan bahwa keterlambatan penanganan yang diberikan Rumah Sakit adalah akibat dari ketidakinginan Fitri ke Rumah Sakit, perlu ditinjau terlebih dahulu; sebab tidak semua kata tidak, benar-benar bermakna tidak.

***
Hari ini terhitung sudah 36 hari semenjak kematian Fitri, dan sampai saat ini belum ada satupun media atau pernyataan resmi yang menceritakan secara runut kejadian yang menimpa Fitri hari itu. Saya bahkan hampir-hampir muak dengan pemakluman kehilangan; seperti semua sudah terjadi, ini takdirnya. Tolong, kematian Fitri adalah hasil kelalaian. KELALAIAN. Kekompleksan masalah yang terkait atas kematian Fitri pun tidak main-main, beberapa kali kami menyusuri pelataran Ramsis demi menemui Cleaning Service dan tukang potong rumput yang menemukan Fitri terjatuh, namun seperti dihilangkan atau mungkin sengaja menghilang; tapi tidak ada satu pun yang berhasil kami temui. Lalu menyusul juga pergantian pengurus Ramsis yang dilakukan secara cepat dan tepat oleh pihak aset Unhas, sehingga tidak ada satupun pengurus Ramsis yang mengelola di hari kematian Fitri yang mampu ditemui.

Hawa ketakutan memenuhi lingkaran pengelola Ramsis, termasuk para Cleaning Service yang menyatakan bahwa dia tidak tau apa-apa; padahal pertanyaan kami hanya “Siapa yang menemukan Fitri ketika jatuh?”. Sejumlah asumsi, simpang siur kebenaran, dan ketertutupan beberapa pihak atas kronologi kejadian yang menimpa Fitri, hampir-hampir berjalan beriringan dengan kepergian gadis baik itu.

Fitri, potret gadis minimalis dengan senyum ceria itu mungkin saja tidak lagi akan pernah kita temui di Fakultas. Mungkin kita bisa bercengkrama dan tertawa kembali bersama teman-teman lain tanpa keberadaanya, mungkin kita bisa kembali berpikir untuk lulus cepat dan memeroleh gelar cum laude tanpa celetukannya yang kadang-kadang tiba saja ada. Namun saya yakin, ada saat-saat dimana kita merasa penuh sesal atas musibah yang terjadi pada Fitri. Kita ingin marah, namun tidak memiliki tempat untuk menumpahkannya. Kita berusaha menikmati kehilangan dengan menutup rapat-rapat semua hal yang memantiknya. Namun, kehilangan tidak pernah benar-benar hilang, dia selalu ada, kan?

Saya yakin bahwa bukan hanya saya merasa seperti ini, hampir barangkali teman, keluarga, atau bahkan kenalan-kenalan Fitri merasa persis atau bahkan lebih menderita, dari apa yang saya gambarkan. Seperti perasaan sesak yang selalu saja ada, seperti ada sesuatu yang hampa di dalam sana. Namun, apakah menutup rapat kematian Fitri adalah pilihan yang tepat?

Rasa-rasanya kita harus berpikir jauh ke depan, bagaimana jika kejadian serupa akan kembali menimpa Fitri-Fitri lain di Ramsis sana?Apakah lagi-lagi kita akan mengakhiri kematian sebagai sesuatu yang takdirnya memang begitu? Atau apakah kita tetap kokoh dengan ketertutupan dengan pikiran, bahwa “Kalau kebenarannya saya ungkap, mau bagaimana? Toh tidak akan mengembalikan Fitri juga.” Tulisan memang bukan titah, dan saya pun juga bukan Tuhan, tapi setidaknya… setidaknya kita bisa meminimalisir kehilangan Fitri-Fitri yang lain; kita bisa meminimalisir orang-orang yang merasakan sesak sebab kehilangan seorang teman yang berjuang bersama-sama di rantuan dari awal kuliah-seperti kita yang kehilangan Fitri; kita bisa meminimalisir orang-orang yang kehilangan rangkulan, pegangan, kebahagiaan, sama seperti kita kehilangan Fitri; kita juga bisa meminimalisir para orang tua yang menitipkan harapan besar pada anaknya yang pulang-pulang bukan gelar sarjana menyambut, tapi peti mayat. Tidakkah kesemuanya itu patut menjadi pertimbangan?

Pada akhirnya, kita masih akan kehilangan. Pun kelak, jika terungkap kebenaran dibalik kematian Fitri, kita juga masih akan kehilangan. Tapi menjadikan kehilangan sebagai cara mendustai kebenaran, sepertinya itu adalah situasi yang berbeda, kan?


Penulis : Nani
Editor : Lullaby_boy

Previous MALANG YANG MALANG
Next Menyoal Pengunduran Diri Tujuh Guru Besar, Ketua Senat Mahasiswa FEB: Ini Gejala Struktural

1 Comment

  1. Anonim_V
    October 17, 2022
    Reply

    Terima Kasih catatan kaki, semoga tetap konsisten membuat tulisan-tulisan ke depannya

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *